Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Inkonsistensi Aturan Fintech Tumpulkan Sasaran Inklusi Keuangan

Foto : dok. pribadi
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA -Berubah-ubahnya aturan yang diterbitkan regulator bagi penyelenggarafinancial technology(fintech)diyakini menjadi sentimen negatif buat pertumbuhan industri tersebut. Tanpa ekosistem yang baik,fintechyang pertumbuhannya tertahan, ujungnya justru membuat target inklusi keuangan sebesar 75% pada 2019 sulit digapai.

Padahal menurut peneliti Indef Andry Satrio Nugroho,fintechsaat ini merupakan senjata utama Indonesia untuk bisa mencapai tingkat inklusi yang diharapkan. Seperti diketahui, saat ini tingkat masyarakatbankablenusantara, terlebih di daerah-daerah, masih tergolong rendah.

Sedikit informasi, berdasarkan data Findex, pada 2017 baru 49% orang dewasa yang mempunyai akses ke sistem finansial formal. Di sisi lain, 69% populasi yang belum mendapatkan akses perbankan sebenarnya telah menggunakansmartphonedan bisa terakses langsung kefintech.

"Kalau misalnya ada aturan yang bertrabrakan, pertama ini memengaruhifintech. Kedua,fintechini tidak bisa bekerja optimal untuk melakukan inklusi keuangan yang sedang digiatkan sekarang di Indonesia," tuturnya kepada wartawan, Selasa (14/8).

Pandangan ini disampaikan Andry menanggapi adanya surat pernyataan penyelenggarafintechyang bocor ke publik. Dalam draft surat pernyataan tersebut, beberapa aturan yang diwajibkan penyelenggarafintech, justru bertentangan dengan aturan dalam POJK Nomor 77 Tahun 2016 sendiri.

Di antaranya terkait tingkat biaya ekonomi pendanaan, alias suku bungafintechyang hendak dibatasi agar tidak lebih tinggi dari perbankan, perusahaan pembiayaan, koperasi maupun Lembaga keuangan mikro. Padahal dalam POJK 77 Tahun 2016, jelas-jelas dinyatakan, OJK sebagai otoritas tidak mengatur soal batas maksimal bunga kredit dalamfintech lending.

Kemudian, penyelenggarafintechjuga tidak diperkenankan mengenakan denda atau kewajiban finansial lainnya terhadap penerima pinjaman, dengan jumla akumulatif bersih melebihi 20% dari nilai pokok pinjaman. Masih dalam draft surat penyataan yang harus disepakati penyelenggarafintech, disebutkan soal kewajiban melaporkan informasi detail soal nasabah penunggak kredit ke dalamdatabasePusat Layanan Informasifintechyang dibangun oleh para penyelengaranfintechsendiri dan dilaporkan ke OJK.

Selanjutnya, penyelenggarafintechjuga harus melaporkan ke OJK indentitas dari seluruh pihak yang melakukancollectionatau penagihan paling sedikit tiga bulan sekali. Hal lainnya yang juga cukup janggal, draf tersebut juga tegas melarang penyelenggarafintechmempekerjakan orang-orang yang pernah terpidana dalam lima tahun terakhir.

Andry melihat, adanya aturan yang belum jelas tersebut, membuat iklim inovasifintechtergerus. Apalagi, regulasi mengenai bunga ini jelas berseberangan dengan apa yang tertuang dalam POJK.

"Kalau misalnya ada pembatasan bunga, itu terasa kontradiktif dengan POJK sendiri. Tentu ke depannya kalau tidak ada sinergi antata kebijakan itu, ke depan itu justru pemain yang ingin mengembangkanfintechjadi ragu-ragu," imbuh Andry.

Terkait soal adanya pengaturan bunga ini, ekonom dari Universitas Indonesia (UI), Eugene Mardanugraha menilai, kondisi tersebut akan mengubah posisifintechdan perbankan. Ia menjelaskan, sejauh ini, fintech dan perbankan sifatnya saling melengkapi.

Fintech membantu perbankan menyalurkan kredit dalam bentukmicro loandan perbankan pun menjadi tempat untuk menaruh danafintech.Namun, jika ada pembatasa bunga,micro-loanpun akan menjadi pasar bagi perbankan. "Posisinya jadi berkompetisi. Soalnya kan bunganya udah sama," ucapnya,

Menurut Andry, ketimbang membuat aturan yang membuat iklim industrifintechtidak kondusif dan inkosisten, ia menyarankan regulator untuk mengatur apa yang belum terakamodasi bagi penyelenggarafintech. Contohnya, aturan mengenaisingle identityagar bisa mengetahui calon nasabahnya secara lebih detail.

Selain itu, diperlukan juga aturan yang memfasilitasi penyelenggarafintechbekerja sama dengan perbankan. Pasalnya tidak dapat dimungkiri, banyak perbankan yang kini menaruh dananya difintechuntuk kemudian disalurkan dalam bentukmicro-loan.

"Butuhnya regulasi yang seperti itu, bukan regulasi yang bertolak belakang dengan regulasi lainnya," tegas Andry.

Dengan adanya aturan yang ketat dari POJK Nomor 77 Tahun 2016 saja beserta turunnany dalam surat edaran, saat ini baru 1fintech lendingyang memperoleh izin permanen dari OJK. Padahal totalfintech lendingyang terdaftar sudah sebanyak 63 penyelenggara.

Saat dikonfirmasi,Direktur Kebijakan Publik Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) Ajisatria Suleiman memastikan, draft pernyataan tersebut bukan berasal dari pihaknya. Hingga saat ini pun, poin-poin yang ada dalam surat tersebut bukan merupakan draft maupun keputusan dari rapat asosiasi. Pihaknya sendiri hingga saat ini masih berdiskusi dengan OJK terkait hal ini.

"Namun, konsumen,lenderataupunborrower, sebaiknya dapat bebas memilih sendiri suku bunga yang diminati sesuai profil risiko dari produk-produk yang ada," tukasnya, Selasa (14/8).

Di sisi lain, pihak OJK masih belum memberikan komentar maupun konfirmasi terkait surat pernyataan penyelenggara tersebut. Ketua Dewan Komisioner OJK, Wimboh Santoso, menyatakan akan mengecek informasi tersebut.

Sebelumnya, Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi mengakui, aturan mengenaifintechmemang akan kerap berubah seiring dengan perkembangan terkini. Namun, semuanya akan selalu dikoordinasikan dengan AFTECH.

Mengenai bunga sendiri, ia memastikan, pihaknya tidak akan mengatur soal bungafintech lendingdan menyerahkan besaran bunga fintech kepada mekanisme pasar."Tidak akan kami atur. Karena kenapa? Yang namanya bunga, itu biar ditentukan olehsupply and demand. Asas demokrasi," ucapnya. ant

Komentar

Komentar
()

Top