Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Ini Permasalahan TPST Bantargebang Dulu dan Sekarang

Foto : istimewa

Kondisi TPST Bantargebang.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Keberadaan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang di Kota Bekasi telah menorehkan sejarah tersendiri. Sampah yang tidak diolah secara total sehingga jadi gunung-gunung sampah, pencemaran lingkungan (udara, air dan tanah) makin massif, tentu berdampak pada ancaman kesehatan, keindahan, merendahkan martabat dan peradaban manusia.

"Kali Ciketing, Kali Asem dulu airnya jernih dan sejumlah ikan dan biota air hidup dengan subur. Sayangnya, kali-kali itu penuh sampah dan leachate, membuat ikan terkapar, mati. Sekarang tinggal leachate bercampur air hujan dan tinja sangat bau terus mengalir sepanjang tahun. Permasalahan itu muara dari TPST Bantargebang dari dulu dan sekarang," kata Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNas), Bagong Suyoto dalam keterangan tertulisnya yang diterima Koran Jakarta, Rabu (3/7) .

Bagong mengatakan TPST Bantargebang dioperasikan sejak tahun 1998, dengan luas 108 hektare itu kini menjadi 130,5 hektare. Lahan TPST meliputi wilayah Kelurahan Cikiwul, Ciketingudik, dan Sumurbatu Kecamatan Bantargebang, Kota Bekasi. Resmi milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Pengelolaannya Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta.

Data dari Dinas LH DKI (Desember 2023), tambah Bagong, sarana dan prasarana TPST Bantargebang, di antaranya Zona Landfill (4 zona aktif, 2 zona tidak aktif); Jembatan timbang (5 unit); Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) (100 ton/hari); Pre-treatment PLTSa (60-80 ton/hari); Fasilitas Landfill Mining dan RDF Plant (2.000 ton/hari); Instalasi Pengolahan Air Sampah (IPAS di 2 lokasi); Pengelolaan Gas Landfill: Power House.

Selanjutnya, Fasilitas Pencucian Truk; Kantor Operasional (Pusat Studi Sampah); Laboratorium Air dan RDF; 122 unit alat berat (67 Excavator Standard, 2 Excavator Long Arm, 27 Buldozer, 17 Wheel Loader, 4 Forklift, 5 Refuse Compactor); Pemadam Kebakaran; Sumur Pantau; Masjid TPST Bantargebang; Bengkel dan Parkir Alat Berat; Jalan Operasional; Saluran Pengumpul Lindi; Dinding Penahan Zona; Pagar Pengaman; Ruang Terbuka Hijau; Sarana Olahraga.

Dikatakan, pengelolaan TPST Bantargebang berdasakan Perjanjian Kerjasama (PKS) antara Pemrov DKI Jakarta dan Pemerintah Kota Bekasi. Pengelolaan TPST silih berganti antara Pemprov DKI dan swasta. Antara Agustus 1989 - 2004 Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta. Tahun 2004 - 2006 Pihak Swasta. Tahun 2007 - Nov 2008 Dinas Kebersihan Prov. DKI Jakarta. Des 2008 - Jul 2016 Pihak Swasta. Bulan Jul 2016 - sekarang Dinas Lingkungan Hidup Prov. DKI Jakarta.

Dalam pengelolaan TPST tersebut, tambah Bagong, ada addendum guna memperluas berbagai proyek dan kegiakan. Sejak tahun 2019 sampai 2021 ada 6 addendum.

Terkait dana kompensasi yang diberikan DKI kepada Pemkot Bekasi dan warga, Bagong menjelaskan dana kompensasi tersebut merupakan usulan dari Pemkot Bekasi. Kemudian dananya masuk APBD Kota Bekasi, implementasinya dilakukan oleh dinas/SKPD terkait. Proyek dan kegiatan yang anggarannya dari Pemprov DKI sekarang disebut "Bandek" (Bantuan DKI).

Sejak 2002-2003 telah diberi kompensasi sebesar 22 miliar rupiah, pasca demo warga pada akhir 2001. Jumlah kompensasi makin besar setiap tahun. Misal, kompensasi yang disebut uang bau, dari pertama kali tahun 2005 sebesar 50.000 ribu/KK/bulan, naik 100.000 rupiah/KK/bbulan, naik 200.000 rupiah/KK/bulan dan sekarang (2003-2024) menjadi 400.000 ribu/KK/bulan. Kompensasi adalah bentuk tanggung jawab yang diterima masyarakat dan Pemkot Bekasi yang terkena dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan penanganan sampah di TPST.

Data dari Dinas LH DKI (Desember 2023) menyebutkan, Dana Kompensasi (Bantuan Keuangan) kepada Pemkot Bekasi pada 2017 sebesar 134.416.992.000 rupiah; Tahun 2018 sebesar 138.549.833.000 rupiah; Tahun 2019 sebesar 353.664.960.000 rupiah; Tahun 2020 sebesar 367.226.865.000 rupiah; Tahun 2021 sebesar 379.519.499.250 rupiah; Tahun 2022 sebesar 365.838.788.250 rupiah; Tahun 2023 sebesar 356.446.480.500 rupiah. Jumlah seluruhnya sebesar 2.095.663.418.00 rupiah.

Sedang kompensasi tahun 2024 sebesar 371.773.962.000 rupiah. Dengan dasar Perhitungan Dana Kompensasi untuk TA 2024 (Jumlah ton sampah thn 2022: 7.544,88 ton/hari) x (365 hari) x (Rp 25.000/M3) x (4.5 M3 /ton) x 120% = 371.773.962.000 rupiah.

Bagong menjelaskan pengalokasian Dana Kompensasi (Addendum PKS Tahun 2018) diperuntukkan: 1. Penanggulangan kerusakan lingkungan. 2. Pemulihan lingkungan. 3. Layanan kesehatan berupa pembangunan infrastruktur, pengadaan alat kesehatan, pengadaan obat-obatan, biaya kesehatan dan pengobatan. 4. Kompensasi dalam bentuk lain berupa bantuan langsung tunai. 5. Peningkatan Pelayanan Pendidikan.

Pengalokasian Dana Kompensasi (PKS Tahun 2021): 1. Pencegahan dan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan; 2. Pemulihan lingkungan; 3. Kesehatan; 4. Pendidikan; 5. Bantuan langsung tunai dan pertanggungan kematian (polis) bagi warga yang terkena dampak TPST Bantargebang; 6. Pengembangan dan penyediaan prasarana, sarana persampahan dan pendukung lainnya dengan tetap memperhatikan prioritas kegiatan penanggulangan dan pemulihan lingkungan; 7. Penyediaan sarana dan prasarana pengendalian badan air dari hulu ke hilir di Kali Asem dengan melakukan restorasi dan normalisasi.

Banyak proyek dan kegiatan yang mendapat pendanaan dari Pemprov DKI Jakarta. Semestinya dapat mempercepat pemulihan dan perlindungan lingkungan dan kesehatan Masyarakat sekitar TPST Bantargebang. Tetapi, faktanya kerusakan lingkungan makin memprihatinkan.

Sekarang sampah yang masuk ke TPST sekitar 7.500-7.800 ton/hari, yang diangkut oleh sebanyak 1.300 truk. Wilayah Kecamatan Bantargebang juga menampung sampah Kota Bekasi. Sekitar 1.500 ton/hari sampah dikirim ke TPA Sumurbatu. Jadi, keseluruhan sampah yang masuh Bantargebang sekitar 9.500-10.000 ton/hari, didominasi sampah plastik konvesnional.

Data pertambahan volume sampah ke TPST Bantargebang. Tahun 2015 rata-rata sebanyak 6.419,14 ton/hari. Tahun 2016 rata-rata sebanyak 6.561,99 ton/hari. Tahun 2017 rata-rata sebanyak 6.875,49 ton/hari. Tahun 2018 rata-rata sebanyak 7.452,60 ton/hari. Tahun 2019 rata-rata sebanyak 7.702,07 ton/hari. Artinya secara faktual terjadi peningkatan sampah Jakarta yang dikirim ke TPST Bantargebang dalam kurun 4-5 tahun cukup besar.

Jumlah volume sampah akan terus bertambah jika dibiarkan dan tidak diolah secara serius dan profesional akan menimbulkan gunung-gunung sampah, perluasan lahan dengan menggilas pemukiman warga sekitar. Pengelolaan sampah yang buruk akan menimbulkan tragedi kemanuisan dan lingkungan hidup.

Permasalahan TPST Bantargebang

Berdasarkan kajian cepat Bagong dan tim pada 2018-2019, terdapat sebanyak 24 permasalahan di TPST Banatrgebang. Kajian itu mengungkapkan permasalahan di tingkat lapangan dan solusi secara komprehensif dan berkelanjutnya. Sebagian permasalahan telah ditangani. Beberapa permasalahan dan bahaya yang akan mengancam kehidupan masyarakat dan lingkungan hidup sekitar TPST Bantargebang sekarang.

Pertama, tambah Bagong, beban volume sampah makin banyak. Kondisi per 16 Januari 2023 hampir semua zona penuh, rata-rata ketinggian 40-50 meter. Samaph yang diolah sekitar 15-20% saja dari total sampah yang masuk ke TPST. Volume sampah masuk ke TPST Bantargebang semakin banyak dan menimbulkan rasa was-was, karena bisa mendatangkan bencana.

Kedua, tambah dia, beban estetika semakin buruk. Sampah yang semakin banyak tidak dipilah, tidak diolah mengambarkan kondisi estetika buruk. Kondisi ini menunjukkan suatu peradaban kuno dan jorok, boleh jadi merendahkan martabat manusia. Jika bicara Bantargebang, maka selalu muncul "image"-nya buruk, jorok, kumuh dikaitkan dengan sampah yang amburadul.

Ketiga, beban lingkungan semakin berat. Pertambahan volume sampah sekitar 2,2 juta ton sampai 2,7 juta ton per tahun tidak diolah secara signifikan mengakibatkan terjadi pencemaran udara, air permukaan dan dalam serta tanah semakin massif. Pencemaran udara kotor disebabkan oleh operasional TPST, asap dari alat berat dan truk sampah selama 24 jam.

Pengelolaan air lindi belum maksimal pada IPAS I dan II. Apalagi ketika musim hujan, air lindi bercampur air hujan sebagian mengalir ke saluran air menuju kali Ciketing. Selanjutnya bertambah lagi, air hujan bercampur lindi dari TPA Sumurbatu dan limbah tinja IPLT Sumurbatu menuju Kali Asem, Kali Pedurenan, Perumahan Dukuh Zamrud, Perumahan Niagara, Mutiara Gading Bekasi Timur, crossing tol Jatimulya Kalimalang.

"Pencemaran air kali mulai dari Bantargebang hingga Jatimulya kini semakin massif. Warnanya hitam pekat dan sangat bau. Jelas di dalam air kali terdapat lindi dari TPST/TPA, tinja dari IPLT, limbah domestik perumahan, limbah pabrik," kata Bagong.

Pada musim hujan, tambah Bagong, gunung-gunung sampah rawan longsor. Jika terjadi longsor akan menimbulkan malapetaka menelan korban nyawa, seperti kasus sampah longsor di TPA Luewigajah tahun 2005, kasus TPA Bantargebang tahun 2006.

Keempat, tambah dia, warga sekitar Bantargebang tekor air bersih layak dikonsumsi. Sebagian uang pendapatan warga digunakan untuk beli air minum (mineral galon), keluarga kecil habis 2-3 galon per minggu, keluarga besar habis 4-5 galon per minggu. Harga air mineral isi ulang 5-6 ribu rupiah/galon, yang asli 18-20 ribu rupiah/galon. Air tanah sekitar rata-rata sudah tercemar, kadar pH nya tidak normal, bahkan ada yang tercemar logam berat.

Kelima, tambah Bagong, ancaman kesehatan sangat nyata. Ada 20 penyakit terbesar berdasar data UPTD Kecamatan Bantargebang tahun 2017. Penyakit tersebut, yaitu rangking pertama diduduki ISPA; Dispepsia; Demam yang tidak diketahui; Diare dan Gastroenteritis; Faringitis Akuta; Myalgia; Hipertensi Primer (esensial); Migren dan sindrom nyeri kepala; Artritis lainnya; Gastritis dan duodenitis; Diabetes Mellitus tidak spesifik; kunjungtivitis; Nasofaringitis Akuta (Common Cold); Tonsilitis Akuta; Gangguan lain pada kulit; Pneumonia; Abses; Furunkel; Karbunkel Futan; Varisela/Cacar air; Dermatitis Kontak, dan Rematisme tidak spesifik.

Keenam, lahan pemukiman warga semakin sempit, tergerus perluasan TPA dan industri. Terutama lahan sawah di sekeliling TPST sudah lenyap. Wilayah pemukiman Kelurahan Sumurbatu, Ciketingudik dicengkeram oleh pelebaran TPST Bantargebang, TPA Sumurbatu, pabrik pengolah limbah industri (B3) dan industri lainnya. Sebagian dari perusahaan tersebut tidak memiliki kelengkapan pengendalian udara, IPAL, sumur pantau, produksi melebihi yang tertuang dalam UKL/UPL.

Sejumlah warga Kelurahan Sumurbatu mengakhawatirkan kelurahan itu akan hilang dari Peta Kota Bekasi, karena wilayahnya diakupasi untuk kepentingan lain, sementara pemukiman warga hilang dan warganya menyingkir dari tanah kelahirannya. Para tetua wanti-wanti jangan sampai Kelurahan Sumurbatu tercerabut dari buminya sendiri. Diperdiksi 15-20 tahun ke depan pemukiman warga akan hilang 50-70% jika sampah tidak diolah habis.

Ketujuh, konflik sosial terbuka dan tersembunyai. Pada 1999 sampai 2009 terjadi konflik horizontal dan vertikal secara terbuka. Hampir setiap tahun terjadi demontrasi buka tutup TPST Bantargebang. Puncaknya pada Sabtu Kelabu akhir 2021 dengan ditangkapnya 26 warga Sumurbatu oleh Polres Metro Bekasi. Mereka itu pejuang dan pahlawan kompensasi, yang kini direbut Pemerintah Kota Bekasi sejak 2016/2017. Rentang waktu 2009 sampai 2023 terjadi konflik sosial itu cenderung relatif datar dan tersembunyi.

Kedelapan, tambah Bagong, terancamnya Makam Mbah Raden Kebluk. Makam ini merupakan makam tokoh pendiri Kelurahan Sumurbatu. Di sini dimakamkan para tetua dan penduduk dari Sumurbatu, Cikwul, Ciketingudik. Pemakaman itu terdesak akibat pelebaran TPST dan gunung-gunung sampah.

Permasalahan yang ditangani Pemprov DKI Jakarta sebatas cakupan lahan dalam otoritas TPST Bantargebang, sedang selebihnya berada dalam kewenangan Pemkot Bekasi. Kedua pemerintahan harus berkolaborasi dan bersinergi menangani berbagai permasalahan di atas. Pengolahan sampah harus menggunakan multi-teknologi tinggi mampu mereduksi 80-90%. Kedua, memulihkan dan melindungi alam, lingkungan serta harta martabat warga sekitar TPST Bantargebang. Ketiga, membuat greenbelt dan greening secara massif.


Redaktur : Marcellus Widiarto
Penulis : Marcellus Widiarto

Komentar

Komentar
()

Top