Indonesia Sulit Jadi Negara Maju pada 2045
Perekonomian Nasional
Foto: ISTIMEWAJAKARTA - Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) memperkirakan Indonesia sulit menjadi negara maju pada 2045 mendatang. Hal itu karena pertumbuhan ekonomi yang tidak stabil dan angka kemiskinan yang cukup tinggi yaitu 9,36 persen.
Dalam buku putih (white paper) bertajuk Dari LPEM bagi Indonesia: Agenda Ekonomi dan Masyarakat 2024-2029, mereka mengungkap alasan Indonesia sulit naik kelas menjadi negara maju.
Teguh Dartanto dan Canyon Keanu Can dari LPEM UI membedah sederet poin penting yang menentukan nasib Indonesia di 2045. Pada Bab 7 buku ini, mereka memulainya dengan aspek pertumbuhan ekonomi. LPEM UI menggunakan the rule of 72 untuk memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa depan.
Ini adalah rumus cepat dan populer untuk mengestimasi jumlah tahun yang diperlukan untuk menggandakan uang dari investasi pada tingkat pengembalian tahunan tertentu.
"Semakin berkembang perekonomian maka pertumbuhan ekonomi 5 persen-7 persen sangat sulit dicapai, dengan skenario pertumbuhan yang berbeda-beda tiap periode (5 persen, 4 persen, dan 3 persen) maka Indonesia tidak akan mencapai UIC di 2045," sebut LPEM.
Kemudian, aspek kemiskinan. Ini masih menjadi persoalan mendasar Indonesia, di mana angka kemiskinan tahun ini menyentuh 9,36 persen atau tak turun signifikan dari 11,25 persen di 2014.
LPEM UI khawatir obsesi berlebihan pemerintah terhadap mimpi Indonesia menjadi negara kaya di 2045 bakal mengubah orientasi kebijakan yang ada. Alokasi sumber daya dikhawatirkan hanya dipakai untuk mengejar pertumbuhan ekonomi semata melalui investasi besar-besaran di sektor padat modal.
Padahal, pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak serta merta mengurangi kemiskinan. Terlebih, jika mesin pertumbuhan dimotori sektor-sektor yang kurang melibatkan rakyat miskin.
Peningkatan Investasi
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, YB Suhartoko, yang diminta pendapatnya di Jakarta, Minggu (12/11), mengatakan faktor penting kemajuan ekonomi suatu negara sangat dipengaruhi peningkatan investasi.
Investasi dapat menghasilkan multiplier efect yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja dan pemerataan pendapatan serta kemakmuran ke depannya. "Salah satu pendukung ketertarikan para investor adalah kepastian hukum," kata Suhartoko. Kepastian hukum itu akan mempermudah perencanaan dan perhitungan biaya usaha yang pasti.
Sementara itu, ekonom Celios, Nailul Huda, mengatakan ada banyak pekerjaan rumah yang menjadikan RI sulit untuk menjadi negara maju. Hal yang utama adalah kepastian hukum untuk berbisnis.
Meskipun sudah ada omnibus law yang memangkas ratusan pasal, masih tetap sulit untuk menaikkan kepastian hukum untuk berbisnis.
"Akarnya ada di penegakan hukum korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang masih sangat jauh dari kata ideal. Meskipun sudah omnibus law, praktik KKN masih tetap dilakukan sehingga indeks persepsi korupsi Indonesia jeblok," kata Huda.
Persoalan Klasik
Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, mengatakan kepastian hukum merupakan persoalan klasik yang masih menjadi hambatan bagi investor masuk Indonesia. Meskipun investasi bukan satu-satunya cara meningkatkan pertumbuhan ekonomi, namun harus mendapat perhatian serius pemerintah.
Undang-Undang Cipta Kerja yang digadang-gadang memberikan kepastian hukum dan kemudahan berinvestasi, tetapi pada kenyataannya itu tidak berjalan mulus.
"Regulasi atau hukum harus tegas tidak hanya di redaksi atau teksnya, tetapi dalam penegakannya. Agar orang percaya dan merasa nyaman berusaha di Indonesia," ungkap Badiul.
Jika merujuk data Kementerian Investasi atau Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) realisasi investasi per September 2023 mencapai mencapai 1.053,1 triliun rupiah dari dari total target pemerintah yang tercatat sebesar 1.400 triliun rupiah. Namun begitu, belum mampu mendorong pertumbuhan ekonomi.
Secara terpisah, aktivis Kebangsaan, Widihasto Wasana Putra, mengatakan ketidakpastian hukum dapat merujuk pada perubahan-perubahan regulasi yang tiba-tiba atau penegakan hukum.
"Hal ini menciptakan risiko tambahan, tidak hanya bagi pengusaha dan investor, tapi juga rakyat kecil yang berjualan di pinggir jalan. Kenapa? Karena akrobat hukum menciptakan instabilitas sampai di akar rumput," papar Widihasto.
Redaktur: Vitto Budi
Penulis: Eko S, Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Sah, KPU Sampaikan Paslon Herman Deru-Cik Ujang Raih Suara Terbanyak Pilgub Sumsel 2024
- 2 Warga Harus Waspada, Empat Daerah Sumsel Tetapkan Siaga Darurat Bencana Hidrometeorologi
- 3 Wakil Rakyat di DPR Tidak Peka soal Penolakan Kenaikan Tarif PPN 12%
- 4 4 Laundry di Kota Semarang Gunakan LPG 3 Kilogram Tak Sesuai Peruntukannya
- 5 Paripurna DPR Setujui Pimpinan dan Dewas KPK 2024-2029, Diharapkan Profesional, Independen, dan Amanah
Berita Terkini
- Banjir Rendam Sebagian Ruas Tol Pandaan-Malang
- Gawat Semoga Tidak Seganas Covid-19, WHO Kirim Tim Ahli ke Kongo Bantu Selidiki Penyakit Misterius
- Dheky Wijaya Tegaskan Pentingnya Penerapan Pancasila dalam Penyelesaian Sengketa Organisasi Advokat
- Pasca Kebakaran 2019 Katedral Notre-Dame Paris Kembali Dibuka
- Donggala Ajak Masyarakat Lestarikan Makanan Tradisional Kaledo