Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2024 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Sabtu, 23 Nov 2024, 01:15 WIB

Daya Saing RI Sangat Lemah dalam Perdagangan Dunia

Foto: Sumber: World Trade Organization

JAKARTA– Ekspor Indonesia dalam beberapa waktu terakhir masih menunjukkan pertumbuhan meskipun tumbuhnya semakin melambat. Badan Pusat Statistik mencatat nilai ekspor Indonesia pada Oktober 2024 mencapai 24,41 miliar dollar Amerika Serikat (AS) atau naik 10,69 persen dibanding ekspor September 2024. Jika dibanding dengan Oktober 2023, nilai ekspor naik sebesar 10,25 persen.

Secara kumulatif, nilai ekspor Indonesia tahun berjalan atau periode Januari hingga Oktober 2024 mencapai 217,24 miliar dollar AS atau naik 1,33 persen dibanding periode yang sama tahun 2023. Sejalan dengan total ekspor, nilai ekspor nonmigas yang mencapai 204,21 miliar dollar AS atau juga naik 1,48 persen.

Meskipun tumbuh, namun dibanding dengan nilai ekspor negara-negara lain, khususnya negara-negara eksportir terbesar di dunia, posisi Indonesia sangat tertinggal. Berdasarkan data Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO) tahun 2023, Indonesia berada di peringkat 28 dengan nilai ekspor sebesar 259 miliar dollar AS.

Dengan nilai ekspor itu, pangsa pasar global produk ekspor Indonesia hanya 1,1 persen, tertinggal dibanding negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti Singapura di peringkat 15 dengan nilai ekspor 476 miliar dollar AS dengan pangsa pasar 2 persen.

RI juga kalah dari Vietnam, Malaysia, dan Thailand yang masing-masing bertengger di peringkat 23,26 dan 27 dengan pangsa pasar ekspor berturut-turut 1,5 dan 1,3 serta 1,2 persen.

Guru Besar bidang Ilmu Akuntansi Forensik Sektor Publik dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa) sekaligus Ketua Asosiasi Dosen Akuntansi Sektor Publik (APSAE), Dian Anita Nuswantara, yang diminta pendapatnya, mengatakan daya saing Indonesi dalam perdagangan global sangat lemah sehingga berada di urutan bawah. Sebab itu, pemerintah bersama segenap stakeholders harus melakukan perbaikan daya saing.

“Salah satu problem negara dengan populasi penduduk yang sangat besar adalah lapangan kerja. Sebenarnya ekspor dapat menjadi jalan keluar sebagai solusi penciptaan lapangan kerja. Ekspor juga menarik bagi investor. Dengan ekspor yang tinggi, investment opportunity set-nya juga tinggi. Efeknya, lapangan kerja,” papar Dian.

Menurut Dian, ekspor butuh regulasi yang mendukung. Regulasi yang mendukung daya saing dan menciptakan iklim berusaha yang sehat,termasuk memberikan kepastian hukum, menurunkan tingkat inefisiensi, dan ekonomi biaya tinggi.

“Regulasi saja tidak cukup. Sementara dari sisi manusia, masyarakat terdidik perguruan tinggi kita baru sekitar 10 persen atau bahkan kurang dari itu. Sementara lulusan SMA dan SMK/MA juga kurang dari 30 persen populasi. Itulah penyebab daya saing kita lemah dibandingkan tetangga karena IPM-nya juga rendah,” ungkap Dian.

Dalam kesempatan lain, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudisthira, mengatakan kinerja ekspor Indonesia lebih rendah dari Vietnam karena dari segi struktur ekspor Indonesia masih didominasi olahan primer komoditas.Sementara Vietnam sebagian besar ekspornya adalah barang elektronik, kendaraan termasuk EV (electric vehicle) hingga komponen energi terbarukan.

“Kalaupun Vietnam punya komoditas perikanan, mereka ekspor sudah di packaging dengan baik dan diolah sehingga nilai ekspornya tinggi,” kata Bhima.

Faktor lain, jelas Bhima, adalah biaya bisnis yang lebih mahal. ICOR (Incremental Capital Output Ratio) Vietnam 4,6 sementara Indonesia diatas 6.Artinya dibutuhkan investasi yang lebih besar di Indonesia untuk mendapat output yang sama dengan di Vietnam.

Belum lagi jika menilik persepsi korupsi Indonesia skornya juga lebih rendah dibanding negara Asean lain,” kata Bhima.

Tantangan lainnya adalah regulasi yang suka gonta ganti,ikut menambah kebingungan pelaku usaha.

Rekor Tertinggi

Di sisi kompetitor, ketika proteksionisme terus meningkat di seluruh dunia, arus perdagangan global pun beradaptasi. Meskipun menghadapi gelombang tarif, ekspor barang Tiongkok masih menunjukkan ketahanan.

Pada tahun 2023, volume ekspor Tiongkok mendekati rekor tertinggi karena harga ekspor manufakturnya turun 10 persen secara rata-rata. Secara keseluruhan, eksportir terbesar di dunia itu mengirim barang senilai 500 miliar dollar AS ke Amerika tahun lalu, meskipun kelak dapat berubah drastis di bawah pemerintahan Donald Trump.

Dikutip dari Visual Capitalist, tahun lalu, ekspor barang global berjumlah 23,8 triliun dollar AS, turun 5 persen dibandingkan dengan tahun 2022.

Secara keseluruhan, nilai ekspor turun di 20 dari 30 eksportir terbesar di dunia karena jumlah pembatasan perdagangan yang meningkat hampir 3.000 kali di seluruh dunia, sekitar lima kali lipat dari tingkat yang terlihat pada tahun 2015.

Tiongkok mengekspor barang senilai 3,4 triliun dollar AS, melampaui Amerika Serikat (AS) hampir 1,4 triliun dollar AS. Disebutkan, AS terakhir kali menjadi eksportir utama dunia adalah pada 1979, tetapi sejak saat itu defisit perdagangannya semakin melebar.

Namun, ekspor energi sebagai komoditas utama mereka sebagian besar telah bergeser dari defisit menjadi surplus selama beberapa dekade terakhir. Pada 2023, AS mencapai surplus energi bersih sebesar 65 miliar dollar AS, yang memperkuat neraca perdagangannya.

Peningkatan signifikan dalam produksi energi domestik telah melindungi negara tersebut dari guncangan harga minyak, seperti yang dipicu oleh perang Russia-Ukraina, yang berdampak parah pada ekonomi Eropa.

Jerman, negara dengan jumlah ekspor terbesar ketiga, mengalami peningkatan ekspor barang sebesar 1 persen, meskipun ekonominya sedang berkontraksi. Ekonomi yang sangat bergantung pada industri itu terutama terpukul oleh kenaikan harga minyak, karena beberapa perusahaan menghentikan produksi akibat lonjakan harga energi. Pada tahun 2023, negara itu mengekspor barang senilai 160 miliar dollar AS ke Amerika, pasar ekspor terbesarnya.

Namun, ekspor mereka ke AS akan turun hingga 15 persen jika tarif yang diusulkan Trump mulai berlaku. Sektor otomotif dan farmasi mereka akan paling terpukul, masing-masing turun 32 persen dan 35 persen.

Redaktur: Vitto Budi

Penulis: Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.