Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Ketegangan AS - Tiongkok

Indonesia Jangan Berdiri di Atas Dua Perahu

Foto : PHILIPPINE COASTGUARD/AFP

APARAT FILIPINA PANTAU KAPAL TIONGKOK | Personel penjaga pantai Filipina berada di atas kapal mereka, BRP Cabra memantau kapal Tiongkok yang berlabuh di Sabina Shoal, Laut Cina Selatan yang diklaim oleh Manila, terletak sekitar 135 kilometer (73 mil laut) di sebelah barat pulau Palawan, Filipina.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Sebagai penggagas Gerakan Non-Blok, Indonesia diminta mulai membangun dan memperkuat posisinya dalam konstelasi dan rivalitas politik global. Hal itu bisa dicapai melalui kemandirian ekonomi, dengan membangun industri manufaktur, industri pertanian, dan industri teknologi. Saat ini, Indonesia tertinggal jauh dalam membangun kemandirian ekonomi.

Pengamat hubungan internasional dari Universitas Brawijaya (UB), Malang, Adhi Cahya Fahadayna kepada Koran Jakarta, Kamis (15/12) sangat menyayangkan posisi Indonesia yang belum bisa membangun ekonominya secara mandiri sehingga tidak bisa bersikap tegas dalam persaingan antara dua raksana ekonomi, AS dan Tiongkok.

"Sikap yang tegas di tengah kondisi yang tidak menentu ini justru sangat penting. Namun kalau sikap Indonesia tidak jelas dan kurang konsisten malahan akan ditinggalkan oleh negara-negara yang mendominasi kawasan. Sikap tegas ini harus diwujudkan dengan keberpihakan Indonesia dalam isu-isu global dan mulai mengambil peran untuk menyelesaikan persoalan di kawasan Asia Pasifik dan Asia Tenggara," kata Adhy.

Ekonom STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko mengingatkan pentingnya kemandirian ekonomi agar Indoensia bisa leluasa bersikap dalam politik global, terutama dalam persaingan antara AS dan Tiongkok.

Menurut Aditya, hubungan dagang antara kedua negara saja tidak cukup. Selama tidak ada konflik menyangkut kedaulatan wilayah, hubungan perdagangan yang intens tidak menjadi masalah. Masalah baru muncul jika menyangkut kedaulatan wilayah.

Lihat saja hubungan Tiongkok dan Filipina. Begitu Ferdinand Marcos Jr terpilih menjadi Presiden Filipina, Tiongkok langsung merangkulnya. Tiongkok berharap hubungan dengan Filipina di bawah pimpinan Marcos Jr bisa menjadi "era emas baru". Selama ini pun, Tiongkok sudah bedagang dan berinvestasi secara besar-besaran di Filipina. Namun hubungan kedua negara menjadi memanas setelah sejumlah kapal-kapal Tiongkok berkerumun dalam zona ekonomi eksklusif Filipina di Laut Tiongkok Selatan.

Harus Berbenah

Begitu juga dengan Indonesia, selama ini hubungan perdagangan dengan AS dan Tiongkok baik-baik saja. Tetapi nanti jika ada perselisihan menyangkut kedaulatan wilayah, bisa dipastikan Indonesia tidak siap meski sudah memiliki pesawat F16 karena perlu waktu untuk bisa memaksimalkan fasilitas yang ada di pesawat tersebut. Hubungan ekonomi yang terjalin baik antara Indonesia dan negara sahabat selama ini, dalam sekejap bisa putus jika terjadi konflik wilayah.

Indonesia tidak bisa bersikap imbang antara Tiongkok dan AS, bisa ke kiri dan bisa ke kanan tergantung siapa yang mau membantu. "Indonesia tidak bisa berdiri di ats dua perahu, suatu saat pasti akan tercebur ke laut jika ada ombak. Kita harus berada di batu karang yang kita bangun sendiri. Semakin tinggi batu karang yang kita bangun, kita akan semakin kuat," kata Aditya.

Melihat situasi politik global saat ini, Indonesia tentunya tidak berharap berpihak ke salah satu pihak. "Tidak sesederhana itu, intinya Indonesia harus berbenah. Kita tidak bisa bertahan sebagai negara berdaulat kalau kita tidak bisa menjadi negara yang kuat secara ekonomi. Kita tidak pernah berbenah diri karena kepentingan politik partai mendahului kepentingan politik nasional," katanya.

Semua orang berlomba-lomba ingin menjadi pedagang, semua orang ingin menjadi calo. Tidak perlu kerja keras tetapi menerima fee. Ini jelas mematikan daya saing nasional.

Orang yang bekerja keras membangun industri, tidak menikmati hasilnya. Padahal di negara-negara lain, investor selalu dianakemaskan. Di Indonesia malah dihambat. Akhirnya semua orang menjadi pedagang, lebih enak. Modalnya cuma satu, menempel ke penguasa untuk memperoleh fasilitas.

Menurutnya, bisa dibilang kemudahan berbisnis di Indoesia masuk kategori mengkhawatirkan. Ini bukan hanya soal peringkat kemudahan berbisnis atau Ease of Doing Business (EoDB), tetapi soal biaya siluman yang menciptakan ekonomi biaya tinggi.

Begitu juga, e-commerce yang ada saat ini, barangnya sebagian besar impor. Kemudian pemiliknya orang asing, yang membangun aplikasinya orang asing. Indonesia hanya menjadi konsumen. "Orang lain sudah ke Planet Mars, kita sepeda dan peniti saja masih impor, keterlaluan," kata Aditya.

Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi mengatakan, Indonesia harus tetap memegang prinsip politik luar negeri yaitu "bebas aktif". Dengan berpegang pada prinsip ini Indonesia bisa bersikap lebih poporsional dalam menyikapi persoalan global.

Indonesia juga perlu memegang kesepakatan bersama yaitu multilateralisme, dengan demikian Indonesia tetap bisa menjalin kerjasama dengan negara manapun termasuk dengan AS dan Tiongkok. Dengan politik bebas aktif, dan melaksanakan multilateralisme justru bisa mendorong pertumbuhan investasi AS dan Tiongkok di Indonesia

"Dengan begitu Indonesia justru bisa menjalankan posisi strategis dalam mewujudkan tatanan dunia yang aman. Walaupun, posisi ini berat, tetapi Indonesia harus melakukan itu agar tidak terjebak pada konflik yang justru merugikan Indonesia,"ucapnya.

Kekuatan Ekonomi Rakyat

Sementara itu, Peneliti Mubyarto Institute, Awan Santosa mengatakan, Indonesia harus mandiri secara ekonomi dengan percaya kepada kekuatan ekonomi rakyatnya sendiri.

"Ekonomi Indonesia mesti dibangun dan lapangan kerja lebih banyak diciptakan menggunakan investasi ekonomi rakyat baik melalui koperasi maupun Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang bermitra strategis dengan BUMN, BUMD, BUMDes, dan perusahaan swasta nasional,"tegas Awan

Oleh karena itu lanjut Awan, Indonesia dapat mengurangi utang luar negeri dan memangkas dominasi investasi asing yang selama ini menjadi penyebab ketergantungan kepada negara donor.

Ekonom Celios, Bhima Yudisthira mengatakan, Indonesia perlu memperbesar porsi investasi dalam negeri untuk mengimbangi dominasi investasi dari negara negara yang punya kepentingan terhadap kue ekonomi Indonesia.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top