Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Indische Partij, Parpol Pertama di Indonesia

Foto : istimewa

(Dari kiri) Tiga Serangkai Pendiri Indische Partij yaitu Ki Hajar Dewantara, Douwes Dekker, dan Tjipto Mangoenkoesoemo

A   A   A   Pengaturan Font

Salah satu organisasi yang lahir pada era kebangkitan nasional adalah Indische Partij atau Partai Hindia. Didirikan pada 25 Desember 1912, organisasi ini sekaligus menjadi partai politik pertama di Indonesia.

Pendiri dari Indische Partij (IP) adalah mereka yang dikenal dengan nama "tiga serangkai". Mereka adalah Ernest Francois Eugene (E.F.E) Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Ki Hajar Dewantara. Partai ini menjadi organisasi orang-orang pribumi dan campuran di Hindia-Belanda.
Tjipto sendiri sebenarnya merupakan anggota dari Boedi Oetomo (BO) yang menjadi organisasi yang didirikan pada 20 Mei 1908 oleh para mahasiswa di sekolah kedokteran School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA). Organisasi itu kemudian yang bersifat, sosial, ekonomi, budaya itu bertujuan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia.
Dalam tulisan Kaum Nasionalis dalam Dunia Pergerakan terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, tampaknya Tjipto tidak puas dengan organisasi Boedi Oetomo. Organisasi yang awalnya ditujukan untuk mewadahi golongan terpelajar dari masyarakat Jawa, ia kritik sendiri. Melalui tulisannya di surat kabar De Locomotief ia menyatakan bahwa masyarakat Jawa sulit untuk maju karena dikungkung oleh feodalisme.
Masyarakat Jawa secara keseluruhan mengalami eksploitasi yang berlebihan. Hal ini menyebabkan banyaknya kemiskinan dan keterbelakangan dari sisi pendidikan dan sumber daya manusia sehingga Tjipto berpikir kolonialisme harus diakhiri. Bagi Tjipto, perjuangan sosial budaya dan ekonomi seperti yang dilakukan beberapa organisasi seperti Boedi Oetomo, Sarekat Dagang Islam, belumlah cukup.
Menurut Tjipto, cara untuk mengakhiri kolonialisme ialah dengan perjuangan politik. Hal inilah yang menyebabkan Tjipto Mangunkusumo keluar dari Boedi Oetomo yang tidak sepemikiran dengannya. Beberapa tahun kemudian ia satu pandangan dengan Dekker yang telah mendirikan Indische Partij.
Pendirian IP oleh Dekker dilatarbelakangi statusnya sebagai seorang indo atau berdarah campuran. Meski wajahnya mirip orang Belanda, ia tetap mengalami diskriminasi dibandingkan dengan orang Belanda totok atau asli.
Baginya kedudukan dan nasib para Indo bahkan tidak jauh berbeda dengan kaum Bumiputera. Indo banyak yang miskin sehingga Belanda totok memandang para Indo lebih rendah dari pada mereka. Pandangan Dekker tentang indo diungkapkan dalam buletin Bond van geneesheren (Ikatan Para Dokter) pada September 1912.
Bagi Danudirja Setiabudi, nama Indonesia dari Dekker, tidak ada pilihan bagi kaum Indo dalam mengubah nasib selain bekerja sama dengan kaum Bumiputera. Baginya, Hindia bukan hanya diperuntukkan untuk Belanda totok, namun untuk semua orang yang merasa dirinya seorang Hindia. Pandangan ini menjadi dasar dari ideologi nasionalisme yang diusung oleh IP.
Sebenarnya Dekker bisa saja bergabung dengan BO. Rumahnya yang terletak di dekat Stovia menjadi tempat berkumpul para perintis gerakan kebangkitan nasional Indonesia, seperti Sutomo dan Tjipto Mangunkusumo, untuk belajar dan berdiskusi. Bahkan BO yang merupakan organisasi nasional pertama itu, lahir atas bantuannya. Ia bahkan menghadiri kongres pertama organisasi itu di Yogyakarta. Namun menganggap organisasi itu terbatas untuk orang Jawa sehingga ia tidak banyak terlibat di dalamnya.
Sedangkan Suwardi Suryaningrat atau Ki Hajar Dewantara mengkritik pemerintah Hindia-Belanda dalam tulisan-tulisannya. Berbagai tulisan yang memuat pandangan-pandangannya tentang kehidupan masyarakat kolonial yang timpang dimuat dalam koran dan majalah seperti Het Tijdschrift dan De Expres.
Ia berpandangan bahwa dominasi golongan Belanda totok terhadap orang Indo dan Bumiputera harus diakhiri karena dilandasi oleh kesewenang-wenangan pemerintah kolonial. Dalam tulisannya tersebut, Suwardi menekankan pentingnya perjuangan politik untuk mengakhiri eksploitasi pemerintah.

Kesamaan Visi
Bisa dikatakan IP merupakan partai gagasan Dekker. Namun melihat jumlah Indo yang sedikit, dinilai tidak mampu untuk menciptakan sebuah gerakan yang kuat. Di Bandung sudah sejak 1899 berdiri organisasi kaum indo yaitu Indische Bond dan juga organisasi dagang atau Insulinde yang berdiri pada 1907.
Kedua organisasi yang bersifat nonkooperatif alias tidak mau bekerja sama dengan Belanda itu bertujuan untuk mengangkat derajat kaum Indo dalam bidang sosial-ekonomi dan menjalin perserikatan dengan Belanda tanpa memisahkan diri dari negara induk. Namun Dekker ingin lebih dari itu.
Dalam pidatonya dihadapan anggota Indische Bond pada 12 Desember 1911 yang berjudul Aansluiting tussen blank en bruin (Gabungan kulit putih dengan kulit sawo matang), Dekker membangkitkan semangat kaum Indo untuk memberontak dan melepaskan diri dari pemerintah kolonial.
Pidatonya tersebut dapat mempengaruhi beberapa anggota Indische Bond sehingga terbentuk Panitia Tujuh yang bertugas mempersiapkan pembentukan organisasi baru.
Pada 6 September 1912, Panitia Tujuh melakukan suatu rapat. Hasilnya terbentuk perhimpunan baru bernama Indische Partij. Selanjutnya pada 15 September 1912, tiga tokoh penting Indische Partij bergerak mendatangi kota-kota Yogyakarta, Madiun, Surabaya, Semarang, Pekalongan, Tegal, dan Cirebon.
Di setiap kota yang dikunjungi dilakukan rapat-rapat yang dihadiri oleh berbagai perhimpunan seperti Insulinde, Sarekat Islam, Boedi Oetomo, Kartini Club, Mangunhardjo dan perhimpunan Tiong Hoa Hwee Koan.
Kawan lama Dekker, Tjipto bergabung di Surabaya bersama 70 orang lainnya karena kesamaan visi. Dekker mengajak Suwardi karena kagum dengan tulisan-tulisannya di De Expres dan Oetoesan Hindia. Bahkan pada November 1912, keduanya ditarik ke Bandung untuk menjadi direktur harian De Expres. hay/I-1

Layu Sebelum Berkembang

Dalam waktu sekejap, Indische Partij (IP) atau Partai Hindia berhasil menarik simpati banyak orang. Tidak seperti Boedi Oetomo (BO), organisasi ini tidak dibatasi oleh sekat kesukuan, menerima anggota dari mana saja seperti keturunan Tiongkok, Arab, dan suku-suku lainnya.
Karena besarnya antusiasme masyarakat Hindia-Belanda terhadap IP, dalam waktu empat bulan saja mereka telah memiliki 25 cabang dengan jumlah anggota 5,775 orang.
Pada pertemuan di Bandung, Dekker menyatakan berdirinya Indische Partij merupakan pernyataan perang. Partai tersebut merupakan jalan terang melawan kegelapan, peradaban melawan tirani, kebaikan melawan kejahatan, budak pembayar pajak kolonial melawan negara pemungut pajak, Belanda.
IP juga melakukan beberapa usaha agar terjadi kerja sama antara orang Indo dan Bumiputera, seperti menyerap cita-cita nasional Hindia (Indonesia), memberantas kesombongan sosial dalam pergaulan, baik dalam bidang pemerintahan maupun kemasyarakatan, memberantas berbagai usaha yang mengakibatkan kebencian antar agama.
Selain itu juga memperbesar pengaruh pro-Hindia di pemerintahan, berusaha mendapatkan hak bagi semua orang Hindia. Sedangkan dalam pengajaran, harus bertujuan bagi kepentingan ekonomi Hindia dan memperkuat ekonomi mereka yang lemah.
Setelah kampanye propaganda berakhir, pada 25 Desember 1912 diadakan permusyawaratan wakil-wakil IP. Dalam permusyawaratan tersebut tersusunlah anggaran dasar dan pengurus partai. Selanjutnya IP yang dikenal partai non-kooperatif berusaha untuk mendapatkan legalitas dari Belanda. Pada 25 Desember 1912, para pemimpinnya menuju Istana Bogor untuk mendapatkan pengakuan dari pemerintah Hindia-Belanda agar tidak dianggap sebagai perkumpulan liar.
Dekker pun kemudian mengajukan permintaan pengakuan badan hukum. Namun pemerintah saat itu berulang kali menolak permohonan Dekker, bahkan kemudian menetapkan IP sebagai organisasi terlarang. Atas penetapan itu, akhirnya pimpinan partai memutuskan untuk membubarkannya pada 31 Maret 1913.
Pada perayaan ulang 100 tahun kemerdekaan Belanda dari Prancis, Suwardi Suryaningrat membuat tulisan yang menyindir pemerintah Hindia-Belanda yang berjudul Als ik eens nederlander Was atau Andai Aku Seorang Belanda.
Kemudian Tjipto Mangunkusumo juga menulis sebuah tulisan berjudul Kracht of Vrees? yang berarti Kekuatan atau Ketakutan?. Akibatnya, mereka berdua ditangkap oleh Belanda dan diasingkan.
Diasingkannya para tokoh Indische Partij, berakhirlah kiprah IP. Van Deventer mengibaratkan organisasi ini sebagai bayi yang gugur sebelum lahir. Artinya, partai politik itu belum dapat membuktikan kebesarannya di tengah-tengah organisasi pergerakan nasional karena telah dibubarkan.
Pengasingan Dekker dicabut pada Agustus 1917, Suwardi Juli 1918, dan Tjipto pada Juli 1914. Setibanya di Hindia-Belanda, Tjipto bergerak di bidang politik yang kemudian menjadi anggota Partai Nasional Indonesia (PNI).
Sedangkan Dekker dan Suwardi terjun ke bidang pendidikan. Mereka masing-masing mendirikan sekolah "Ksatrian Instituut" dan sekolah Taman Siswa yang berarti memperkuat barisan sekolah swasta yang sebelumnya telah dirintis oleh sekolah Muhammadiyah. hay/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top