Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Indeks Peduli Lingkungan

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

OLEH DR HARLIANTARA

Acara debat Pilpres 2019 putaran kedua salah satu topiknya terkait lingkungan hidup. Kedua capres telah memiliki misi terkait lingkungan. Misi Capres Jokowi, mau mencapai lingkungan hidup berkelanjutan dengan strategi pengembangan kebijakan tata ruang terintegrasi, mitigasi perubahan iklim, serta penegakan hukum dan rehabilitasi lingkungan hidup. Sedangkan misi Capres Prabowo, salah satunya menyebutkan membangun perekonomian nasional yang adil, berkualitas, dan berwawasan lingkungan.

Kedua misi perlu diukur dengan kondisi objektif saat ini yang tecermin dalam indeks global atau Indeks Perilaku Peduli Lingkungan (IPPL). Selain itu, ukuran juga perlu terkait dengan usaha konservasi lingkungan hidup. IPPL di Indonesia masih rendah. Tiga tahun terakhir masih di angka 0,57, dari angka mutlak 1.

Hal ini mengindikasikan masyarakat belum berperilaku peduli lingkungan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Indeks tersebut merupakan gabungan dari lima indeks: penggunaan listrik, perilaku membuang sampah, pemanfaatan air, konsumsi barang, dan perilaku terkait emisi karbon.

Salah satu faktor penyebab IPPL rendah adalah perilaku konsumsi masyarakat yang kurang bijak dalam pemenuhan kebutuhannya, dimana 49,3 persen berupa bahan pangan masih berasal dari luar daerah. Kondisi tersebut tentunya berdampak bagi lingkungan seperti peningkatan emisi karbon akibat sistem logistik dan transportasi bahan pangan dari daerah asal ke tempat tujuan.

Selain itu, pola konsumsi jenis bahan pangan juga masih timpang. Masyarakat hanya mengonsumsi sekitar 36,4 eprsen produk bahan pangan yang dihasilkan daerahnya sendiri. Ini terutama sayuran, tepung, dan umbi-umbian. Sebagian besar kebutuhan tepung masih impor seperti gandum atau terigu.

Indeks peduli lingkungan semakin menurun karena belum berhasil mengatasi darurat sampah plastik yang membelit Tanah Air. Pemberitaan gencar tentang penemuan bangkai ikan paus sperma (Physeter macrocephalus) di pantai Pulau Kapota, Wakatobi, yang di dalam perutnya ditemukan 5,9 kilogram sampah plastik menyentak perhatian dunia. Sayangnya, kasus tersebut belum membuat bangsa ini tergugah kesadaran kolektifnya untuk total mengatasi darurat sampah plastik.

Terkait konservasi, masyarakat luas menuntut komitmen tinggi para pemimpin bangsa agar memperluas dan menambah cagar alam ata suaka margasatwa. Sangat ironis telah terjadi degradasi dan berkurangnya jumlah cagar alam dan suaka di beberapa daerah seperti di Provinsi Jawa Barat. Secara garis besar, cagar alam Tanah Air terbagi dalam cagar alam daratan baik tanah maupun perairan darat (biasa disebut cagar alam), cagar alam laut, dan cagar alam biosfer.

Di Pulau Jawa hanya dijumpai cagar alam dan cagar alam laut. Pada era Orde Baru telah ditetapkan 237 lokasi cagar alam baik daratan maupun perairan, dengan luas keseluruhan mencapai 4,7 juta hektare. Cagar alam tersebut tersebar di berbagai wilayah.

Pengertian

Pengertian cagar alam adalah sebuah tanah atau lahan atau hutan yang dijadikan sebagai kawasan konservasi untuk melindungi dan membudidayakan flora dan fauna yang hampir punah. Cagar alam dibangun pada habitat asli. Dengan kata lain, cagar alam termasuk dalam metode insitu (konservasi yang dilakukan di alam).

Selain cagar alam juga perlu menjaga suaka marga satwa sebagai kawasan lahan, tanah, atau hutan untuk melindungi hewan-hewan yang terancam punah. Suaka marga satwa dapat dilakukan di dalam habitat aslinya atau dengan mambuat habitat buatan yang sangat mirip aslinya. Suaka marga satwa buatan terpaksa dilakukan, jika habitat asli fauna tersebut tidak dapat diperbaiki atau dalam proses perbaikan.

Indonesia memiliki 75 suaka marga satwa terdiri dari 71 di darat dan 4 di perairan atau laut. Awal 2019 gugatan terkait kondisi cagar alam telah mencuat di Provinsi Jawa Barat. Masyarakat pencinta alam dan pemerhati lingkungan di Jabar menggugat kebijakan yang mengubah status cagar alam. Masyarakat mendesak agar Surat Keputusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK 25/MENLHK Tahun 2018 segera direvisi.

Keputusan itu telah mengubah status dan fungsi kawasan Cagar Alam Kamojang dan Papandayan. Masyarakat menganggap perubahan status itu bisa dikatakan sebagai usaha untuk mencaplok kawasan cagar alam demi kegiatan bisnis dan pariwisata. Hingga kini di Provinsi Jabar terdapat 26 kawasan cagar alam dan tiga taman nasional.

Eksistensinya mesti dijaga dan dilestarikan, bukan malah didegradasi kegiatan bisnis. Apalagi jika aktivitas usaha tersebut berpotensi merusak lingkungan dan menimbulkan bencana alam seperti banjir, tanah longsor, pencemaran sungai, kebakaran hutan, atau kekeringan.

Sudah lama para pelaku bisnis mengincar kawasan cagar alam karena di dalamnya terkandung potensi energi panas bumi dan bahan tambang yang jika dieksploitasi bisa mendatangkan keuntungan besar. Selain itu, para pelaku usaha pariwisata juga tergiur karena kawasan itu bisa dirombak menjadi destinasi wisata yang sangat eksotik.

Kalau dipikir lebih mendalam, sebenarnya potensi ekonomi nilainya lebih kecil dibanding nilai konservasi yang terkandung dalam cagar alam. Bagi generasi mendatang kawasan cagar alam memiliki nilai yang sangat berharga terkait pelestarian ekosistem dan sebagai gudang ilmu pengetahuan alam.

Cagar alam merupakan kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya. Atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. Menurut ketentuan, cagar alam adalah bagian dari kawasan konservasi atau kawasan suaka alam. Maka, kegiatan wisata atau lainnya yang bersifat komersial tidak boleh dilakukan di dalam kawasan cagar alam.

Sebagaimana kawasan konservasi lainnya, untuk memasuki cagar alam diperlukan Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi (Simaksi) yang bisa diperoleh di kantor Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) setempat. Dengan dibangunnya cagar alam, maka sumber daya alam berupa flora dan fauna dapat dilindungi dengan baik.

Cagar alam secara ekologis maupun fungsi merupakan satu-satunya level kawasan yang sama sekali tidak memberikan toleransi terhadap pemanfaatan langsung. Maka, kegiatan ekonomi dan wisata tidak diperbolehkan. Sangat keterlaluan langkah kementerian yang justru mengubah dan menurunkan lebih dari 4.000 hektare luasan kawah Kamojang dan Gunung Papandayan dari fungsi cagar alam menjadi kawasan taman wisata.

Penulis Doktor Ilmu Komunikasi lulusan UNPAD Bandung

Komentar

Komentar
()

Top