Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2024 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Senin, 10 Okt 2022, 00:04 WIB

Indeks Harga Pangan Dunia Terus Merosot Dalam Enam Bulan

Foto: Sumber: FAO - KORAN JAKARTA/ONES

» Cuaca buruk terus membatasi prospek hasil di negara-negara produsen utama.

» Konsumsi sereal dunia pada 2022/2023 diperkirakan melampaui produksi.

ROMA - Badan Pangan Dunia, Food and Agriculture Organization (FAO) mencatat indeks harga pangan dunia terus merosot selama enam bulan berturut-turut hingga September lalu yang mencapai titik terendah sepanjang masa. Merosotnya indeks tersebut selain karena dipicu invasi Russia ke Ukraina, juga karena kekhawatiran akan cuaca buruk yang melanda beberapa negara produsen.

FAO pada pekan lalu menyebutkan indeks harga yang melacak komoditas pangan paling banyak diperdagangkan secara global, rata-rata 136,3 poin pada posisi September 2022 atau turun dibanding posisi Agustus 137,9.

Sejak Maret 2022, indeks harga pangan dunia telah jatuh dari posisi saat itu 159,7. Penurunan terakhir didorong oleh penurunan harga minyak nabati sebesar 6,6 persen bulan ke bulan, sedangkan peningkatan pasokan dan harga minyak mentah kontribusinya lebih rendah terhadap penurunan indeks.

Harga gula, susu, dan daging semuanya turun kurang dari satu persen, mengurangi tekanan inflasi.

Sebaliknya, indeks harga sereal FAO naik 1,5 persen bulan ke bulan pada September, dengan harga gandum naik 2,2 persen karena kekhawatiran atas kondisi panen kering di Argentina dan Amerika Serikat (AS), sementara ekspor Uni Eropa menguat dan meningkatnya ketidakpastian atas akses ke pelabuhan Laut Hitam Ukraina setelah November.

Sementara itu, harga beras melonjak 2,2 persen, sebagian karena kekhawatiran atas dampak banjir besar baru-baru ini di Pakistan.

Dalam perkiraan pasokan dan permintaan sereal yang terpisah, FAO menurunkan perkiraannya untuk produksi sereal global pada tahun 2022 menjadi 2,768 miliar ton dari sebelumnya 2,774 miliar ton. Jumlah tersebut, 1,7 persen di bawah perkiraan produksi untuk 2021.

"Perkiraan produksi biji-bijian kasar global yang lebih rendah merupakan bagian terbesar dari pengurangan keseluruhan bulan ini, karena cuaca buruk terus membatasi prospek hasil di negara-negara produsen utama," kata FAO seperti dikutip dari Antara.

Melampaui Produksi

Konsumsi sereal dunia pada tahun 2022/2023 diperkirakan akan melampaui produksi sebesar 2,784 miliar ton, yang menyebabkan proyeksi penurunan stok global sebesar 1,6 persen dibandingkan dengan tahun 2021/2022 menjadi 848 juta ton.

Kondisi tersebut akan mewakili rasio stok terhadap penggunaan 29,7 persen atau turun dari 31,0 persen pada 2021/2022 tetapi masih relatif tinggi secara historis.

Menanggapi kemerosotan itu, Kepala Departemen Ekonomi Center for Strategic International Studies (CSIS), Fajar B. Hirawan mengatakan, penjelasan dari indeks tersebut pastinya harus melihat faktor musiman yang memang biasa terjadi di beberapa negara, khususnya Indonesia.

Musim panen padi misalnya berlangsung setelah Maret, karena rata-rata musim tanam pada November hingga Maret. Namun, hal itu bergantung pada curah hujan dan fenomena-fenomena lainnya. Indonesia pun tahun ini tampaknya diselimuti oleh fenomena La Nina yang yang cenderung basah dan banyak hujan. Kondisi tersebut tampaknya dialami juga oleh beberapa negara di wilayah Asia, terutama negara produsen pangan.

"Kita harus tetap waspada terkait krisis pangan ke depannya, khususnya yang diakibatkan oleh perang Russia-Ukraina serta fenomena El Nino (kekeringan) yang terjadi di wilayah Eropa,"tegas Fajar.

FAO dan lembaga pangan lainnya harus mengantisipasi krisis pangan sejak dini, khususnya di wilayah-wilayah yang mengalami kekeringan.

Secara terpisah, peneliti ekonomi dari Center of Reform on Economics (Core), Yusuf Rendy Manilet mengatakan penurunan indeks pangan menunjukkan masih pentingnya terus melakukan langkah mitigasi.

"Terutama bagi negara-negara yang menggantungkan beberapa komoditas pangannya dari impor untuk mempersiapkan jika kondisi geopolitik antara Russia dan Ukraina semakin memburuk," katanya.

Apalagi, konflik geopolitik ke depan bukan hanya dipengaruhi oleh Russia dan Ukraina, tetapi juga konflik geopolitik antara Korea Utara dan Korea Selatan yang juga bisa menyeret Jepang.

"Kondisi ini tentu akan mendorong ketidakpastian yang berpotensi muncul dan akan mempengaruhi harga pangan terutama dalam beberapa bulan ke depan,"tandasnya.

Redaktur: Vitto Budi

Penulis: Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.