Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2024 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Rabu, 10 Jul 2024, 11:43 WIB

Implementasi 'Carbon Capture Storage' Diragukan

Foto: ISTIMEWA

JAKARTA - Manfaat penerapan teknologi carbon capture storage (CCS) diragukan. Teknologi ini ditengarai justru melanggengkan penggunaan energi fosil sehingga menghambat transisi energi.

Padahal, CCS sejatinya merupakan salah satu teknologi mitigasi pemanasan global dengan cara mengurangi emisi CO2 ke atmosfer.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengatakan, ada aspirasi pemerintah untuk mengembangkan CCS/ CCUS, bahkan sudah terbit Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 2/2023 tentang CCUS. "Pada akhirnya ini mengenai kelayakan teknologi CCS/ CCUS sendiri dibandingkan dengan teknologi lainnya,"papar Fabby kepada Koran Jakarta, Selasa (9/7).

Fabby pesimistis CCS/ CCUS bisa mempercepat transisi energi. "Teknologi ini akan melanggengkan kebergantungan terhadap energi fosil, dan berbiaya mahal. Pengalaman proyek CCS/ CCUS di banyak negara menunjukan kalau kinerja teknologi ini di bawah tingkat yang diharapkan dan sangat mahal," tegas Fabby.

Di Indonesia, lanjutnya, dalam menjalankan CCS untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), harga CO2 layak di atas 100 dollar AS per ton.

Pernyataan Fabby itu menyusul terbitnya dua regulasi penting terkait CCS, yaitu Perpres No 14/2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon serta Permen ESDM No 2/2023 tentang Penangkapan, Pemanfaatan, dan Penyimpanan Karbon pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.

Dihubungi terpisah, Peneliti peneliti Sustainability Learning Center (SLC), Hafidz Arfandi mengatakan, secara ekonomi biaya CCS cukup besar dan dampak bergandanya relatif minim. Belum banyak proyek komersial di luar negara maju yang berhasil.

Sampai saat ini sudah ada 16 project yang digadang-gadang Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK) Migas untuk mengembangkan teknologi CCS dan masih dalam tahap uji coba. Proyek baru itu ditargetkan beroperasi 2030.

"Kalau melihat kaitan CCS dalam pemenuhan tenaga listrik sebenarnya orientasinya hanya pengurangan beban emisi dari sumber pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara, namun apakah benar titik operasi pembangkit dan titik storagenya sinkron? Perlu kajian lebih serius," tandasnya.

Namun lanjut Hafidz, yang paling mungkin dikejar saat ini lebih pada carbon utilization, misalnya pemanfaatan karbon dari industri pupuk dan kimia yang memproduksi amonia untuk menjadi bahan baku kimia turunan semisal methanol atau industri lainnya yang berkaitan, bisa juga memanfaatkan karbon dari sisa industri migas untuk proses enhanced revovery oil (EOR) dengan diinjeksi ke sumur yang tidak produktif tetapi juga perlu kajian teknis untuk memastikan feasibilitasnya.

Tantangan Besar

Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) Parulian Paidi Aritonang meminta pemerintah mewadahi kepentingan lebih luas terkait dengan aturan CCS guna menangkap peluang ekonomi, terutama sektor ketenagalistrikan.

"Indonesia menghadapi tantangan besar dalam memenuhi permintaan listrik yang terus meningkat sambil mengurangi jejak karbon. Pemerintah juga harus menjaga agar harga listrik tetap terjangkau bagi konsumen dan dunia usaha," ujarnya di Jakarta, Senin (8/7).

Hal itu dikatakannya menyusul terbitnya dua regulasi penting terkait CCS. Menurut dia, teknologi CCS memiliki potensi tidak hanya untuk menyimpan emisi karbon dari pembangkit listrik tetapi juga untuk mendukung percepatan transisi energi di Tanah Air.

Redaktur: Muchamad Ismail

Penulis: Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.