Rabu, 20 Nov 2024, 01:00 WIB

IMF: Perang Tarif Dapat Merusak Ekonomi Asia

Krishna Srinivasan Direktur IMF Asia-Pasifik - Tarif balasan yang saling berbalas mengancam akan mengganggu prospek pertumbuhan di seluruh kawasan.

Foto: istimewa

Pertumbuhan ekonomi global diperkirakan sebesar 3,2 persen untuk tahun 2024 dan 2025.

CEBU – Dana Moneter Internasional atau The International Monetary Fund (IMF), pada hari Selasa (19/11), memperingatkan tarif balas dendam impor dapat merusak prospek ekonomi Asia, meningkatkan biaya, dan mengganggu rantai pasokan meskipun IMF memperkirakan kawasan tersebut akan tetap menjadi mesin utama pertumbuhan ekonomi global.

“Tarif balasan yang saling berbalas mengancam akan mengganggu prospek pertumbuhan di seluruh kawasan, yang menyebabkan rantai pasokan menjadi lebih panjang dan kurang efisien,” kata Direktur IMF Asia-Pasifik, Krishna Srinivasan, pada sebuah forum di Cebu tentang risiko sistemik.

Dikutip dari The Straits Times, pernyataan Srinivasan muncul di tengah kekhawatiran atas rencana Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump, untuk mengenakan tarif sebesar 60 persen pada barang-barang Tiongkok dan setidaknya pungutan sebesar 10 persen pada semua impor lainnya.

Tarif dapat menghambat perdagangan global, menghambat pertumbuhan di negara-negara pengekspor, dan berpotensi meningkatkan inflasi di Amerika Serikat, sehingga memaksa Federal Reserve AS untuk memperketat kebijakan moneter, meskipun prospek pertumbuhan global suram.

Pada bulan Oktober, Uni Eropa juga memutuskan untuk menaikkan tarif kendaraan listrik buatan Tiongkok hingga 45,3 persen, yang memicu pembalasan dari Beijing.

Ekonomi Global

Prospek Ekonomi Dunia terbaru IMF memperkirakan, pertumbuhan ekonomi global sebesar 3,2 persen untuk tahun 2024 dan 2025, lebih lemah dari proyeksi yang lebih optimis untuk Asia, yang berada di angka 4,6 persen untuk tahun ini dan 4,4 persen untuk tahun depan.

"Asia sedang mengalami periode transisi penting, yang menciptakan ketidakpastian yang lebih besar, termasuk risiko akut meningkatnya ketegangan perdagangan di antara mitra dagang utama," kata Srinivasan.

Ia menambahkan ketidakpastian seputar kebijakan moneter di negara maju dan ekspektasi pasar terkait dapat memengaruhi keputusan moneter di Asia, mempengaruhi arus modal global, nilai tukar, dan pasar keuangan lainnya.

Sementara itu, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyebut pengenaan tarif terhadap beberapa produk impor, seperti Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) dan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) yang dilakukan pemerintah dikhawatirkan dapat menimbulkan perang dagang.

Ketua Komite Perdagangan Luar Negeri/Pengembangan bidang Perdagangan Apindo, Budihardjo Iduansjah, menyampaikan pemerintah perlu mewaspadai balasan dari negara lain yang mendapat pengenaan tarif itu.

"Kami khawatir itu bisa memicu perang dagang sebenarnya. Kita banyak pengenaan tarif, misalnya dari negara apa, kita tarifin," ujar Budihardjo.

Pengenaan tarif, tambah Budihardjo, pada dasarnya bertujuan melindungi pasar dalam negeri. Akan tetapi, hal ini juga bisa menjadi bumerang bagi Indonesia.

Selain itu, Budihardjo juga menekankan perihal penguatan pasar dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan Tanah Air sehingga mengurangi impor. Penyerapan produk dan tenaga kerja lokal perlu ditingkatkan.

"Harus bikin banyak pabrik di Indonesia. Itu yang bertahun-tahun yang dilakukan Tiongkok.Semua produsen mengisi pasar dalam negeri, baru ekspor," katanya.

Kementerian Perdagangan (Kemendag) menggunakan otoritas yang dimiliki untuk melindungi dan menyelamatkan industri dalam negeri melalui pengenaan BMAD dan BMTP atau safeguard.

Redaktur: Marcellus Widiarto

Penulis: Selocahyo Basoeki Utomo S

Tag Terkait:

Bagikan: