Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pemanasan Global I Energi Tenaga Surya Harus Terus Ditingkatkan

IEA: Suhu Panas Dunia Telah Pecahkan Rekor

Foto : ISTIMEWA

IEA - Membengkokkan kurva emisi ke jalur yang konsisten dengan 1,5 derajat Celsius masih mungkin dilakukan, namun sangat sulit.

A   A   A   Pengaturan Font

PARIS - Badan Energi Internasional atau International Energy Agency (IEA), pada Selasa (24/10), memperingatkan suhu panas dunia sudah pecahkan rekor. Untuk itu, kebijakan energi harus diubah jika pemanasan global ingin dibatasi hingga 1,5 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri.

"Hal ini berisiko tidak hanya memperburuk dampak iklim setelah satu tahun mengalami suhu panas yang memecahkan rekor, namun juga melemahkan keamanan sistem energi, yang dibangun untuk dunia yang lebih dingin dengan kejadian cuaca yang tidak terlalu ekstrem," kata IEA dalam laporan tahunannya.

Seperti diketahui, sebuah kota terpencil di barat laut Tiongkok yang gersang mencatat suhu ekstrem yang mencapai lebih dari 52 derajat Celsius pada 16 Juli 2023. Media yang dikelola pemerintah, Xinjiang Daily, melaporkan pada Senin (17/7), angka tersebut adalah rekor terbaru untuk negara yang berjuang melawan cuaca yang mencapai minus 50 derajat Celsius hanya enam bulan lalu.

Menurut Xinjiang Daily, suhu di Kota Sanbao di Depresi Turpan Xinjiang melonjak setinggi 52,2 derajat Celsius pada Minggu (16/7). Suhu rekor tersebut diperkirakan akan bertahan setidaknya lima hari lagi.

Suhu itu memecahkan rekor sebelumnya, yaitu 50,3 derajat Celsius pada 2015 di dekat Ayding di depresi tersebut. Depresi itu adalah sebuah lembah luas yang terdiri dari gundukan pasir dan danau yang mengering, dengan kedalaman lebih dari 150 meter di bawah permukaan laut.

IEA menyatakan saat ini, permintaan bahan bakar fosil diperkirakan masih terlalu tinggi untuk memenuhi tujuan Perjanjian Paris yang membatasi kenaikan suhu rata-rata global hingga 1,5 derajat Celsius, atau 2,7 derajat Fahrenheit.

"Membengkokkan kurva emisi ke jalur yang konsisten dengan 1,5 derajat Celsius masih mungkin dilakukan, namun sangat sulit," katanya.

Perubahan Kebijakan

Dikutip dari Barron, IEA mengatakan tanpa perubahan kebijakan substantif di seluruh dunia, suhu rata-rata global bisa meningkat sekitar 2,4 Celsius pada abad ini.

Laporan ini muncul hanya beberapa minggu setelah KTT Conference of the Parties 28 (COP-28) yang dimulai pada November di Dubai, KTT Iklim global terbaru yang diselenggarakan oleh PBB sejak tahun 1995 yang bertujuan menstabilkan emisi gas rumah kaca dan perubahan iklim.

IEA menunjukkan beberapa perkembangan positif termasuk kebangkitan fenomenal teknologi energi ramah lingkungan seperti tenaga surya dan angin, mobil listrik, dan pompa panas.

Diperkirakan akan terdapat 10 kali lebih banyak mobil listrik di jalanan dibandingkan saat ini, dan tenaga surya secara keseluruhan akan menghasilkan lebih banyak listrik dibandingkan seluruh sistem tenaga listrik Amerika Serikat saat ini.

"Pangsa energi terbarukan secara global dapat meningkat menjadi sekitar 50 persen dari 30 persen saat ini," tambahnya.

Laporan tersebut juga mencatat investasi pada proyek pembangkit listrik tenaga angin lepas pantai baru tiga kali lebih tinggi dibandingkan investasi pada pembangkit listrik tenaga batu bara dan gas.

"Namun, langkah-langkah yang lebih kuat masih diperlukan untuk menjaga tujuan membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celsius," kata IEA, hanya beberapa hari setelah Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak atau Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) memperkirakan pertumbuhan permintaan minyak akan terus berlanjut hingga 2045.

Bagi IEA, kombinasi momentum yang berkembang di balik teknologi energi ramah lingkungan dan perubahan struktural ekonomi di seluruh dunia dapat membawa puncak permintaan global terhadap batu bara, minyak, dan gas alam pada akhir dekade ini.

Hal ini berarti pangsa bahan bakar fosil dalam pasokan energi global akan meningkat dari sekitar 80 persen saat ini menjadi 73 persen pada 2030.


Redaktur : Marcellus Widiarto
Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top