Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2025 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Kamis, 13 Mar 2025, 15:52 WIB

Hutan Jadi Aset, Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan Segera Diluncurkan

Menhut Raja Juli Antoni saat memberikan sambutan pada Hari Bakti Rimbawan 2025 di Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Pancar, Bogor, Jumat (28/2/2025).

Foto: ANTARA/HO/Kemenhut RI

JAKARTA – Indonesia memiliki potensi besar dalam perdagangan karbon kehutanan karena luasnya hutan tropis yang berfungsi sebagai paru-paru dunia.

Perdagangan karbon dari sektor kehutanan adalah mekanisme jual beli kredit karbon yang berasal dari upaya perlindungan, restorasi, atau pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Hutan memiliki peran penting dalam menyerap karbon dioksida (CO?) dari atmosfer, sehingga bisa menghasilkan kredit karbon yang dapat diperdagangkan di pasar karbon.

Menteri Kehutanan (Menhut) Raja Juli Antoni mengatakan perdagangan karbon dari sektor kehutanan segera diresmikan sebagai bagian dari upaya mitigasi perubahan iklim dan percepatan ekonomi hijau.

Dikutip dari keterangannya di Jakarta, Kamis (13/3), Menhut mengatakan program ini membuka peluang besar bagi Indonesia untuk mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan serta memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat dan pelaku usaha.

“Langkah ini sejalan dengan visi Astacita yang diusung Presiden RI Prabowo Subianto dalam mewujudkan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan,” kata Menhut Raja Antoni.

Pada tahap awal, perdagangan karbon ini mencakup skema pengelolaan hutan oleh swasta (Pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan/PBPH) dan Perhutanan Sosial, dengan potensi serapan karbon yang berbeda.

PBPH memiliki potensi serapan 20-58 ton CO2/ha dengan harga USD 5-10/ton CO2, sementara Perhutanan Sosial dapat menyerap hingga 100 ton CO2/ha dengan harga mencapai 30 euro/ton CO2.

Pada 2025, potensi perdagangan karbon sektor ini diperkirakan mencapai 26,5 juta ton CO2, dengan nilai transaksi berkisar Rp1,6 triliun-Rp3,2 triliun per tahun.

Jika dioptimalkan hingga 2034, lanjut Menhut, maka potensi perdagangan karbon dari sektor kehutanan dapat mencapai Rp97,9 triliun-Rp258,7 triliun per tahun, dengan kontribusi pajak sekitar Rp23 triliun-Rp60 triliun, serta PNBP Rp9,7 triliun-Rp25,8 triliun per tahun.

Selain itu, program ini diharapkan dapat menciptakan 170 ribu lapangan kerja di berbagai lokasi proyek karbon.

Menhut menegaskan perdagangan karbon tidak hanya berfokus pada pengurangan emisi, tetapi juga berperan dalam percepatan reforestasi melalui konservasi dan strategi Afforestation, Reforestation and Revegetation (ARR).

Untuk memastikan daya saing perdagangan karbon Indonesia secara global, Kementerian Kehutanan bersama Kementerian Lingkungan Hidup telah berkoordinasi dengan Utusan Khusus Presiden untuk Urusan Iklim Hashim Djojohadikusumo.

Salah satu langkah strategis yang tengah didorong adalah penyelesaian Mutual Recognition Agreement (MRA) dengan standar internasional seperti Verra, Gold Standard, dan Plan Vivo, yang ditargetkan rampung pada Mei 2025.

Selain itu, pemerintah juga tengah merevisi Peraturan Presiden No. 98 Tahun 2021 terkait Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) guna meningkatkan efektivitas dan transparansi perdagangan karbon.

“Dengan berbagai langkah ini, Kementerian Kehutanan optimistis bahwa perdagangan karbon sektor kehutanan akan menjadi penggerak utama pembangunan ekonomi hijau, ketahanan pangan dan energi, serta penguatan komitmen Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim,” kata Raja Antoni.

Redaktur: Muchamad Ismail

Penulis: Antara

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.