Hindari Depresi, Pasien Kanker Perlu Perawatan Nyeri yang Benar
Dr I Gusti Ngurah Akwila Dwiyundha, Sp. An-TI, Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif Pain Clinic RS Pondok Indah – Pondok Indah tengah menerangkan tema nyeri pada pasien kanker dalam media briefing di Jakarta pada hari Senin (11/11).
Foto: Haryo Brono/Koran JakartaJAKARTA - Nyeri merupakan keluhan yang paling banyak dialami pasien. Nyeri dapat mengganggu fisiologis dan psikologis, bahkan penurunan kualitas hidup. Manajemen nyeri yang tepat sangat dibutuhkan oleh pasien, tak hanya untuk meredakan rasa nyeri tetapi juga untuk meningkatkan kualitas kehidupannya.
Nyeri adalah bentuk ketidaknyamanan, baik sensori maupun emosional, yang berhubungan dengan risiko atau adanya kerusakan jaringan tubuh. Klasifikasi nyeri berdasarkan lama waktunya dibagi dua: yakni nyeri akut dan nyeri kronis.
“Nyeri akut merupakan nyeri yang timbul secara mendadak dan cepat menghilang, sedangkan nyeri kronis merupakan nyeri yang timbul secara perlahan-lahan, biasanya berlangsung dalam waktu cukup lama,” ujar dr. I Gusti Ngurah Akwila Dwiyundha, Sp. An-TI, Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif Pain Clinic RS Pondok Indah – Pondok Indah dalam media briefing di Jakarta pada hari Senin (11/11).
Nyeri banyak dialami oleh pengidap kanker. Lebih dari 50 persen pengidap kanker stadium awal hingga stadium menengah mengalami nyeri selama perjalanan penyakit kanker mereka. Sedangkan 90 persen pengidap kanker mengalami nyeri selama perjalanan penyakitnya.
Nyeri pada pengidap kanker dapat berasal dari beberapa sumber. Pertama adala sel kanker. Sel-sel abnormal tumbuh dan merusak jaringan di sekitarnya. Sel ganas yang terus membesar juga dapat menyebabkan tekanan pada saraf, tulang, atau organ sehingga menimbulkan rasa nyeri. Kanker yang sudah menyebar ke organ lain seperti tulang, juga dapat menimbulkan rasa nyeri luar biasa
Kedua bersumber dari efek samping pengobatan. Nyeri dapat muncul akibat efek samping pengobatan kanker seperti kemoterapi, radiasi, pembedahan, dan konsumsi obat-obatan. Meski dapat membunuh sel kanker, terapi kanker juga dapat menimbulkan efek samping berupa munculnya nyeri kanker. Kondisi ini terjadi karena adanya gangguan pada saraf di sekitar lokasi tumbuhnya sel kanker.
Ketiga adalah kondisi medis lainnya yang tidak terkait langsung dengan kanker. Nyeri yang dirasakan pengidap kanker berbeda-beda, tergantung pada berbagai faktor seperti lokasi kanker dan penyebab kankernya.
Selain itu, pada pengidap kanker, lokasi nyeri bisa jadi berbeda dengan sumber nyerinya. Misalnya, pada kasus kanker payudara yang menyebar ke tulang. Kondisi ini dapat menyebabkan nyeri tulang meskipun sel keganasan aslinya berada di payudara.
Tingkat keparahan nyeri yang dialami pun dapat berbeda antara satu orang dengan yang lainnya, ada yang merasakan nyeri ringan, sedang, maupun nyeri yang sangat hebat. Jika nyeri akibat kanker sangat parah, penderitanya dapat mengalami kecemasan maupun depresi.
“Oleh karena itu, manajemen nyeri kanker yang tepat sangat dibutuhkan. Memahami dan mengidentifikasi sumber nyeri yang tepat, penting dalam perawatan dan manajemen nyeri,” terang Yudha.
Meski banyak metode yang dapat digunakan untuk mengatasi nyeri kanker, dokter spesialis anestesiologi dan terapi intensif akan memberi penanganan sesuai dengan kondisi pasien. Terkadang dokter bisa saja melakukan manajemen nyeri kanker dengan menggabungkan beberapa metode sekaligus.
Pada pasien kanker penting dilakukan perawatan dan manajemen nyeri. Manajemen nyeri adalah sekumpulan prosedur medis yang dilakukan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri pada pasien, meningkatkan fungsi bagian tubuh yang nyeri, dan meningkatkan kualitas hidup pasien.
“Manajemen nyeri akan diberikan ketika pasien sudah merasakan nyeri yang signifikan atau berkepanjangan. Pendekatan komprehensif dan diagnostic yang akurat diperlukan untuk mengidentifikasi dan menangani sumber nyeri dengan efektif. Harapannya, pasien mendapatkan perawatan yang sesuai dan dapat memiliki kualitas hidup yang lebih baik,” jelasnya.
Manajemen nyeri dapat dilakukan dengan dua metode. Pertama manajemen nyeri farmakologi (terapi pengobatan pereda nyeri). Kedua manajemen nyeri non-farmakologi (penggunaan modalitas/teknologi medis atau prosedur tertentu), seperti stimulasi area nyeri dengan pemijatan, kompres dingin, kompres hangat, penggunaan modalitas Transcutaneus Electric Nerve Stimulation (TENS), teknik-teknik relaksasi, hingga terapi musik.
Salah satu prinsip manajemen nyeri yang digunakan untuk meredakan keluhan pengidap kanker adalah step ladder WHO. Secara garis besar, prinsip manajemen nyeri ini adalah mengatasi keluhan secara bertahap. Rute pemberian obatnya dimulai dengan cara diminum. Apabila tidak memungkinkan, barulah obat antinyeri diberikan melalui rute lain, baik melalui lubang anus maupun pembuluh darah.
“Berikut ini adalah penjelasan singkat mengenai manajemen nyeri kanker berdasarkan prinsip step ladder yang dikeluarkan oleh WHO,” papar Yudha.
Tahap 1, diberikan untuk mengatasi nyeri ringan dengan pemberian obat analgesik dari kelompok non-opioid, contohnya adalah obat OAINS (obat antiinflamasi non-steroid), aspirin, dan parasetamol. Tahap ini juga dapat dibarengi dengan pemberian obat adjuvant (terapi/obat tambahan)
Tahap 2, kika nyeri masih menetap atau memburuk, dan dapat dikategorikan sebagai nyeri sedang. Dokter akan memberikan pereda nyeri yang berasal dari kelompok opioid lemah, seperti codein atau tramadol, dengan atau tanpa pemberian parasetamol dan obat adjuvant.
Tahap 3, merupakan tahapan manajemen nyeri untuk nyeri sedang hingga berat. Dokter akan memberikan obat antinyeri dari kelompok opioid, seperti morphine, fentanyl, maupun oxycodone. Pada tahap ini, pengobatan juga dapat dilakukan bersama dengan pemberian obat dari kelompok non-opioid dengan atau tanpa pemberian terapi adjuvant. Pada dasarnya, terapi adjuvant dapat diberikan pada ketiga tahapan manajemen nyeri tersebut.
“Hal ini dilakukan untuk meredakan efek samping dari obat analgetik, meningkatkan efektivitas obat antinyeri, maupun penanganan keluhan psikologis yang terjadi bersamaan dengan timbulnya nyeri kanker,” tandasnya.
Tahap 4, Tahapan ini mencakup sejumlah prosedur non-farmakologis untuk menangani nyeri yang persisten, bahkan dalam kombinasi dengan opioid kuat atau obat-obatan lain. Langkah ini mencakup prosedur Interventional Pain Management dan minimal invasive
Proses dimasuk antara lain Analgesia epidural, menyuntikkan obat analgesik melalui saraf tulang belakang, pemberian obat analgesik dan anestesi lokal intratekal dengan atau tanpa pompa, metode menyuntikkan obat langsung ke reseptor sistem saraf pusat untuk mengurangi efek samping dan dosis sistemik. Selanjutnya Prosedur bedah saraf untuk menghilangkan nyeri dengan memotong saraf tertentu di sumsum tulang belakang yang mengirimkan sinyal rasa sakit, misalnya, lumbar percutaneous adhesiolysis, dan cordotomy.
Prosedur lainnya adalah strategi neuromodulasi, terapi yang bekerja langsung pada saraf dengan mengubah aktivitas saraf melalui pengiriman stimulus (berupa sinyal listrik) pada area yang ditargetkan. Neuromodulasi paling banyak diaplikasikan untuk kasus nyeri kronis, misalnya, stimulator otak dan spinal cord stimulation), Nerve block atau memblok saraf tertentu penyebab rasa nyeri.
Prosedur ablatif, prosedur yang menghancurkan saraf di area yang nyeri. Penghancuran saraf membantu mengurangi atau menghentikan sinyal nyeri, misalnya, alcoholization, radiofrequency, gelombang mikro, cryoablation ablations, laser-induced thermotherapy, irreversible electroporation, electro chemotherapy
Selanjutnya prosedur cementoplasty, perawatan paliatif untuk kanker yang sudah menyebar (metastasis) ke tulang. Perawatan ini dapat dilakukan sendiri atau sebagai tambahan perawatan lain, seperti radioterapi.
Prosedur radioterapi paliatif, yaitu prosedur tindakan intervensi ini dilakukan dengan cara memasukkan obat, zat, atau alat ke dalam struktur tubuh atau bagian tubuh tertentu yang menjadi sumber nyeri.
Selanjutnya, obat atau zat tersebut akan memblok saraf secara tepat sasaran, menggunakan alat pemandu seperti ultrasonografi (USG) dan alat penunjang lainnya. Langkah ini efektif dalam menangani sejumlah kasus nyeri karena memiliki berbagai keunggulan.
Beberapa keunggulan dari peralatan tersebut antara lain tindakan bersifat minimal invasive, menggunakan anestesi lokal sehingga risiko lebih kecil, obat dapat ditargetkan langsung dengan panduan ultrasonografi (USG), membantu pasien dalam mengurangi dan menghentikan konsumsi obat nyeri, serta recovery atau pemulihan lebih cepat.
“Penanganan nyeri merupakan hal yang kompleks, personal, dan berbeda bagi setiap pasien tergantung kondisi kesehatan yang dimiliki. Nyeri yang ditangani secara baik, terutama nyeri kronis, mampu meningkatkan kualitas hidup pasien terutama pada pengidap kanker,” lanjutnya.
Berita Trending
- 1 Indonesia Tunda Peluncuran Komitmen Iklim Terbaru di COP29 Azerbaijan
- 2 Sejumlah Negara Masih Terpecah soal Penyediaan Dana Iklim
- 3 Ini Kata Pengamat Soal Wacana Terowongan Penghubung Trenggalek ke Tulungagung
- 4 Penerima LPDP Harus Berkontribusi untuk Negeri
- 5 Ini yang Dilakukan Kemnaker untuk Mendukung Industri Musik
Berita Terkini
- Belanda Pertama Kali Melaju ke Final Piala Davis Usai Kalahkan Jerman
- Kampanye Akbar Pramono-Rano Hari Ini di Stadion Madya GBK Senayan, 20.000 Massa Siap Dukung
- Pemkot Tangerang Normalisasi Drainase di Lokasi Rawan Banjir
- Hari Ini, Samsat Keliling Cuma Buka di 9 Wilayah
- Cuaca Akhir Pekan, Indonesia Diguyur Hujan Ringan hingga Deras Disertai Petir