Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kebijakan Perdagangan

Hentikan Kebijakan Mematikan Petani

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Pemerintah diminta menghentikan kebijakan yang mematikan petani nasional, tapi justru berpihak pada kepentingan petani asing.

Untuk itu, pemerintah sebaiknya membatalkan pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) 10 persen pada tebu petani, dan segera menaikkan tarif impor gula.


Kebijakan yang berpihak kepada petani sendiri akan mendorong peningkatan produktivitas pangan nasional sehingga tidak lagi bergantung pada impor, sekaligus mendukung cita-cita kedaulatan pangan.


Anggota Pokjasus Dewan Ketahanan Pangan, Ahmad Yakub, mengatakan pemerintah harus bertindak sesuai dengan kepentingan petani tebu. Sebab, selama ini petani merupakan kekayaan nasional dan kelompok mayoritas yang memberikan manfaat besar bagi perekonomian bangsa.


"Kita mesti menyadari bahwa bangsa ini bisa makan karena petani dan lapangan pekerjaan yang masih terbuka luas di sektor pertanian.

Jadi, segala bentuk kebijakan pemerintah mesti berpihak kepada petani," katanya saat dihubungi, Rabu (12/7).


Menurut Yakub, kebijakan pemerintah yang menekan nasib petani, seperti penerapan Harga Eceran Tertinggi (HET) mesti segera diakhiri.

Sebab, HET bias pada kepentingan penduduk perkotaan semata, tapi mengabaikan konsekuensi yang harus ditanggung petani, yakni merosotnya harga pembelian di tingkat petani.

Bahkan, petani masih dipungut PPN sebesar 10 persen.


Dengan HET gula 12.500 rupiah per kilogram (kg) membuat harga beli di petani merosot menjadi 9.100 rupiah/kg atau di bawah biaya produksi, apalagi jika dikenakan PPN, harganya jatuh di kisaran 8.000 rupiah/kg.


"Dengan kondisi ini, petani mau dapat apa? Rugi sudah pasti dan masa depan pun menjadi suram. Kehidupan petani tebu pun menjadi hancur," ujar Yakub.


Sebelumnya, sejumlah kalangan mengatakan pemerintah sebaiknya mengenakan tarif impor lebih tinggi untuk 3,5 juta gula impor, yang kini hanya kena tarif 3-5 persen atau 57 rupiah per kg, daripada mengenakan PPN sebesar 10 persen pada 1,5 juta ton produksi petani tebu Indonesia.


Kebijakan itu dinilai lebih mencerminkan keadilan bagi rakyat serta menciptakan persaingan usaha yang lebih fair dan sehat.

Meskipun dipahami saat ini pemerintah membutuhkan dana dari penerimaan pajak untuk menambal defisit APBN, perlakuan pajak tetap harus adil di antara pelaku usaha.


"Pasokan gula kita terbagi dua, dari dalam dan luar negeri. Kalau selama ini gula impor diberi kemudahan biaya, sementara milik petani tebu sendiri semakin ditekan dengan pajak, dapat menimbulkan rasa ketidakadilan," kata pengamat ekonomi dari Universitas Brawijaya Malang, Adi Susilo.


Kerugian Serius


Sementara itu, Ketua DPD Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Kabupaten Malang, Dwi Irianto, menilai pengenaan PPN tebu kepada petani bakal berdampak kerugian serius bagi petani.

"Kami petani tebu menolak pengenaan PPN 10 persen dan meminta pembebasan PPN tebu tani itu," ungkap Dwi.

Menurut dia, petani tebu di Kabupaten Malang siap mengepung Istana Negara di Jakarta apabila pemerintah tetap menerapkan PPN.


Dikabarkan, Kementerian Keuangan masih mempertimbangkan pengenaan PPN atas komoditas gula tebu yang diproduksi oleh petani.

"Kita kaji ke depan dalam waktu segera. Kita akan ketemu asosiasi gula dan petani gula. Diskusi sama Kemendag apakah sudah hitung PPN-nya atau enggak.

Mekanisme solusinya nanti supaya enggak bebankan petani," ungkap Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Hestu Yoga Saksama. YK/ahm/WP

Penulis : Eko S

Komentar

Komentar
()

Top