
Hati-Hati Kelola APBN di Tengah Melemahnya Daya Beli
Budi Frensidy Guru Besar Keuangan dan Pasar Modal dari Universitas Indonesia (UI) - Faktor yang mendorong Goldman Sachs memangkas rating, di antaranya risiko fiskal Indonesia yang semakin meningkat seiring adanya berbagai insentif yang ditawarkan Pemerint
Foto: antaraJAKARTA - Pemangkasan rating oleh Goldman Sachs terhadap pasar saham dan obligasi Indonesia dinilai akan berdampak kurang baik terhadap perekonomian Indonesia dalam jangka pendek. Seperti diketahui, bank investasi asal Amerika Serikat (AS) itu, memangkas peringkat sejumlah aset investasi mereka di Indonesia, utamanya yang ada di pasar saham dan surat utang.
Goldman Sachs memotong peringkat saham Indonesia dari overweight menjadi market weight, sedangkan di pasar obligasi, mereka juga menyesuaikan peringkat untuk surat utang negara (SUN) tenor 10 tahun hingga 20 tahun menjadi netral dari sebelumnya termasuk disukai.
Para analis Goldman Sachs menilai risiko itu berpusat pada kekhawatiran atas kondisi ekonomi, setelah Pemerintah mengumumkan serangkaian langkah termasuk realokasi anggaran serta perluasan kebijakan perumahan untuk keluarga berpenghasilan rendah, yang diproyeksikan akan dapat memperburuk defisit. Strategist Goldman Sachs, Timotius Moe menyebutkan dengan laba perusahaan yang lebih rendah dan likuiditas sistem perbankan yang ketat menjadi tekanan tambahan kepada pasar.
“Penundaan yang tidak biasa anggaran bulanan Indonesia pada Januari membuat para investor mengajukan pertanyaan tentang keadaan keuangan pemerintah,” kata Timotius. Menanggapi hal itu, Guru Besar Keuangan dan Pasar Modal dari Universitas Indonesia (UI) Budi Frensidy mengatakan pemangkasan rating oleh Goldman Sachs terhadap pasar saham dan obligasi Indonesia, dalam jangka pendek akan berdampak kurang baik. “Dalam jangka pendek, prospek tentunya kurang baik,” kata Budi saat dihubungi Antara, di Jakarta, Selasa (11/3).
Menurutnya, faktor yang mendorong Goldman Sachs untuk memangkas rating, di antaranya risiko fiskal Indonesia yang semakin meningkat seiring adanya berbagai insentif yang ditawarkan Pemerintah. Dia pun merekomendasikan agar pemangku kebijakan harus lebih berhati-hati dalam mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di tengah melemahnya daya beli masyarakat, menurunnya jumlah kelas menengah,
serta stagnasi rasio pajak. Guru Besar dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Imron Mawardi, menjelaskan bahwa pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk kebijakan global. Salah satunya adalah kebijakan perdagangan Donald Trump, yang tidak hanya berdampak pada hubungan dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan Kanada dan Meksiko saja, tetapi juga memicu reaksi keras dari negara-negara lain, seperti negara-negara Eropa.
“Jika AS menerapkan tarif tertentu, negara lain yang merasa dirugikan akan cenderung membalas dengan kebijakan serupa. Investor merasa khawatir dengan berbagai kebijakan tersebut, karena berpotensi mempengaruhi kinerja perusahaan- perusahaan di Indonesia,” katanya. “Makanya, banyak investor melakukan aksi jual meskipun saham tersebut secara fundamental sebenarnya masih cukup baik. Akibatnya, banyak harga saham terkoreksi dan terlihat lebih murah, meskipun kondisi fundamentalnya tetap kuat,” kata Imron.
Sentimen negatif juga datang dari dalam negeri, seperti kasus korupsi di sektor-sektor penting. Sentimen itu meningkatkan ketidakpercayaan pasar, sehingga mendorong aksi jual dan menyebabkan nilai saham turun hingga ke level 6.400-an dari sebelumnya yang sempat mendekati level 7.000. “Dalam jangka waktu sekitar dua minggu terakhir, faktor global memang lebih dominan. Namun, ada juga faktor domestik yang berperan,” ungkapnya.
Cenderung Negatif
Dalam kesempatan terpisah, pengamat kebijakan publik Fitra, Badiul Hadi menilai keputusan Goldman Sachs jika dilihat secara seksama memang tidak terlepas dari kebijakan fiskal pemerintah. Misalnya pemberian insentif ekonomi dapat meningkatkan beban fiskal negara, yang pada gilirannya dapat memengaruhi keseimbangan anggaran.
“Dalam jangka pendek kebijakan Goldman Sachs ini dapat cenderung negatif, menurunkan kepercayaan investor asing sehingga lebih hati hati menanamkan modal di Indonesia dan modal asing yang selama ini berperan besar di pasar saham dan obligasi Indonesia bisa keluar lebih cepat (capital outflow),
menyebabkan tekanan pada nilai tukar rupiah dan volatilitas pasar,” kata Badiul. Seiring dengan meningkatnya risiko fiskal, investor akan meminta imbal hasil (yield) lebih tinggi untuk menutupi risiko tambahan, sehingga beban bunga utang pemerintah bisa meningkat dan ini akan menekan APBN. “Dalam jangka panjang pemerintah perlu menyeimbangkan insentif yang diberikan dengan langkah langkah peningkatan pendapatan, dan efisiensi belanja negara,”katanya.
Redaktur: Vitto Budi
Penulis: Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte Ditangkap Interpol
- 2 Didakwa Lakukan Kejahatan Kemanusiaan, Mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte Ditangkap
- 3 Peran TPAKD Sangat Penting, Solusi Inklusi Keuangan yang Merata di Daerah
- 4 Luar Biasa, Perusahaan Otomotif Vietnam, VinFast, Akan Bangun Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum hingga 100.000 Titik di Indonesia
- 5 Satu Peta Hutan, Menjaga Ekonomi Sawit dan Melestarikan Hutan
Berita Terkini
-
Tantang Bayern Muenchen di Perempat Final, Inzaghi: Inter Akan Buktikan
-
Joshua Kimmich Segera Perpanjang Kontrak di Bayern
-
Lesakkan Dua Gol ke Gawang Benfica, Raphinha Sejajarkan Diri dengan Ronaldo Nazaria di Barcelona
-
Liverpool ‘Kehabisan Keberuntungan’ Lawan PSG
-
Singkirkan Leverkusen, Kompany: Hasil Ini Tidak Tentukan Musim Bayern Muenchen