Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2024 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Selasa, 19 Nov 2019, 01:00 WIB

Harus Bijak Menggunakan Antibiotik

Foto: istimewa

Resistensi antimikroba atau antimicrobial resistance (AMR) merupakan salah satu permasalahan kesehatan paling mengancam populasi dunia. Tanpa adanya upaya pengendalian global, diperkirakan AMR akan menjadi pembunuh nomor satu di dunia dengan angka kematian mencapai 10 juta jiwa pada 2050.

Tingkat kematian tertinggi diperkirakan terjadi di kawasan Asia dengan 4,7 juta jiwa. Saat ini, setiap tahunnya diperkirakan kurang lebih 25 ribu orang meninggal di Eropa, 23 ribu orang di AS, 38 ribu di Thailand, dan 58 ribu bayi di India yang diakibatkan infeksi bakteri yang sudah kebal terhadap antibiotik.

Antibiotik merupakan obat yang digunakan untuk melawan infeksi bakteri pada manusia maupun hewan. Antibiotik bekerja dengan cara membasmi bakteri yang ada atau mempersulit dan menghambat pengembangbiakan bakteri. Setiap kali seseorang meminum antibiotik, beberapa bakteri akan mati. Tetapi ada beberapa bakteri lain yang akan tetap bertahan dan bermutasi dan menjadi kebal terhadap antibiotik.

Bakteri yang bertahan ini akan tetap berkembang biak dan melipatgandakan diri. Sel bakteri membelah diri setiap 20 menit, sehingga dalam delapan jam saja, sudah ada 16 juta sel bakteri yang ada di dalam tubuh. Penggunaan antibiotik yang berulang akan meningkatkan potensi resistensi antibiotik. Setiap kali antibiotik digunakan, timbul juga risiko adanya resistensi antibiotik.

Untuk itu, penggunaan antibiotik yang tidak tepat atau kurang bijak akan memperparah situasi tersebut. "Alexander Flemming penemu antibiotik pertama, Penicillin, pernah mengingatkan kalau antibiotic digunakan serampangan bisa mengakibatkan multiresistensi bakteri," kata Wayan Wiryawan dari Asosiasi Dokter Hewan Perunggasan Indonesia, saat ditemui di acara Resistensi Antibiotik: Ancaman Bencana Kemanusiaan.

Ia menuturkan, sejak 1980-an, belum ada generasi terbaru untuk antibiotik karena mengembangkan antibiotik membutuhkan riset yang cukup panjang, dana yang banyak dan pembuktian hingga obat tersebut aman digunakan. Karenanya, apabila bakteri tersebut sudah resisten terhadap antibiotik yang ada, sulit untuk menemukan antibiotik untuk melawan bakteri tersebut. Apalagi ada kemungkinan bahwa bakteri tersebut akan semakin resisten terhadap obat yang diberikan.

"Pada 1928, Flemming menemukan penicillin dan mempunyai akses untuk menyelamatkan nyawa manusia. Tetapi akses itu menjadi minim karena digunakan berlebih," timpal Purnamawati Sujud, pendiri dan dewan penasihat Yayasan Orang Tua Peduli.

Untuk itu, ia menyarankan diperlukan adanya tindakan untuk mengendalikan penggunaan antibiotik di semua sektor agar tidak kehilangan akses terhadap antibiotik dan tidak kembali ke era sebelum antibiotik ditemukan. Karena apabila infeksi bakteri dan penyakit ringan tidak bisa ditangani dan dapat berujung pada kematian.

Belum lagi, dengan adanya antibiotik yang dijual bebas sehingga masyarakat menjadi lebih mudah mendapatkannya. Padahal untuk mendapatkan antibiotik harus memerlukan resep dokter dan tidak boleh sembarangan.

"Terkadang untuk penyakit pilek, batuk, diare tanpa darah, radang tenggorokan mencari antibiotik. Padahal penyebabnya adalah virus, bukan bakteri sehingga tidak memerlukan yang namanya antibiotik," kata Purnamawati.

Antibiotik tidak akan efektif melawan infeksi virus. Penyakit infeksi virus umumnya bisa sembuh sendiri tanpa pengobatan dan penggunaan antibiotik untuk penyakit infeksi virus hanya akan meningkatkan risiko resistensi antibiotik. Ia menambahkan hanya sekitar 12 persen saja dari radang tenggorokan yang diakibatkan dari bakteri sehingga baru memerlukan antibiotik.gma/R-1

Antibiotik pada Hewan

Salah satu hal yang berpengaruh dalam resistensi antibiotik adalah penggunaan antibiotik yang umum digunakan pada hewan untuk membesarkan dan memelihara hewan ternak.


Ketika antibiotik digunakan pada hewan akan menghasilkan bakteri yang resisten pada tubuh hewan dalam pencernaannya. Secara ilmiah, antibiotik menciptakan bakteri resisten pada hewan. Bakteri-bakteri ini kemudian dapat mencemari daging saat hewan dipotong atau lainnya.
"Yang berbahaya adalah kalau ada bakteri resisten khususnya di laut, karena cycle di laut berbeda dengandi daratan. Hewan di daratan bisa mengeluarkan residu antibiotik melalui kotoran, namun pada hewan laut itu akan mengendap saja di lautan," jelas Wayan.


Apalagi kebanyakan antibiotik tidak dapat hancur, selain dari kotoran hewan mengandung banyak bakteri. Karenanya jika kotoran hewan yang mengandung antibiotik dan bakteri ini digunakan sebagai pupuk kandang dan tidak diolah dengan benar, tanaman pangan yang dimakan mentah bisa menularkan kuman penyakit.


Pelarangan antibiotik pada hewan bukan berarti penggunaannya tidak aman, tetapi apabila digunakan secara luas dalam produksi makanan akan meningkatkan prevalensi resisten dan dapat mengakibatkan kegagalan pada pengobatan manusia. Semisalnya salah satu jenis antibiotik yaitu Colistin telah menjadi fokus dari para peneliti karena dengan jelas mengaitkan penggunaan colistin pada peternakan unggas dengan merebaknya resisten terhadap colistin. Sementara colistin sendiri merupakan lini terakhir antibiotik yang digunakan saat antibiotik lainnya gagal. gma/R-1

Tindakan Preventif

Resistensi antibiotik merupakan masalah yang sangat serius. Bakteri yang kebal terhadap berbagai jenis antibiotik disebut Superbugs. Orang yang terinfeksi superbugs sangat sulit disembuhkan dan terapinya membutuhkan biaya sangat mahal.


Beberapa kasus terakhir dapat menyebabkan cacat permanen, bahkan kematian. Penyakit infeksi bakteri seperti pneumonia, TBC, gonorrhoea, salmonellosis dan keracunan darah dari tahun ke tahun semakin sulit diobati dengan antibiotik. Pada TBC dikenal dengan TBC MDR (Tubercullosis multi drug resistent), di mana bakteri tuberkulosis resisten terhadap dua obat antituberkulosis yang paling kuat, yaitu isoniazid dan rifampisin.


Untuk itu, bijak dalam menggunakan antibiotik dapat membantu untuk mengurangi resisten antibiotik. Peresepan antibiotik yang tidak sesuai diagnosis, meminum antibiotik tidak sesuai dosis, jadwal dan menghentikan minum antibiotik sebelum waktunya dapat menjadi faktor resisten.
Wayan menyarankan agar jangan meminum antibiotik untuk mengobati infeksi virus dan memaksa dokter untuk meresepkan antibiotik. "Di beberapa negara sudah menyadari resistensi yang diakibatkan dari penggunaan antibiotik ini. Sehingga ada negara-negara yang melarang dan membatasi penggunaan dan pemberian antibiotik," katanya.


Ia menuturkan, agar jangan sekali-kali menggunakan resep antibiotik orang lain dan membelinya tanpa resep dokter. "Biasanya ada juga yang menyimpan antibiotik untuk berjaga-jaga jika suatu saat jatuh sakit. Itu juga jangan," tambah Purnamawati.


Selain itu, apabila pasien diberikan resep antibiotik ada baiknya jangan langsung mengiyakan apabila penyakit yang diderita bukan diakibatkan bakteri. Menurut Purnamawati, pasien harus kritis. Mencegah infeksi dengan kebiasaan mencuci tangan memakai sabun, mencuci bahan makanan mentah di bawah air mengalir dan memasak daging hingga matang, serta menjaga kebersihan lingkungan sekitar juga membantu. "Bahaya resistensi antimikroba erat kaitannya dengan perilaku pencegahan dan pengobatan," katanya.gma/R-1

Redaktur:

Penulis:

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.