TPA Burangkeng Longsor Lagi, Perlu Bantuan Pemerintah Pusat
Sampah TPA Burangkeng di Bekasi longsor sejak 7 November 2024, apalagi hujan lebat hampir setiap hari turun.
Foto: Koran Jakarta/KPNasBagong Suyoto, Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNas)
Tempat pembuangan akhir (TPA) sampah ketika tidak dikelola sesuai standar dan peraturan perundangan akan menimbulkan malapetaka lingkungan dan kemanusiaan. Seperti dialami TPA Burangkeng, beberapa kali kebakaran ketika musim kemarau dan longsor ketika musim hujan. Belum lagi tragedi truk sampah terbalik, backhoe tergelincir, dll.
Sampah TPA Burangkeng longsor sejak 7 November 2024, apalagi hujan lebat hampir setiap hari turun, potensi longsor lagi sangat besar. Untuk kesekian kalinya tumpuk sampah Zona B TPA Burangkeng longsor. Sebagian menjebol tembok arcon akibat tekanan sampah. Warga sekitar sangat khawatir dengan gunung-gunung sampah yang aburadul itu.
TPA Burangkeng dikelola oleh sumber daya manusia (SDM) tidak profesional. Sejak dioperasikan dikelola dengan sistem open dumping, yang dilarang peraturan perundangan. Keberadaan TPA Burangkeng menambah beban pencemaran lingkungan hidup, memperburuk panorama alam, mengancam kesehatan dan merugikan hak asasi manusia (HAM) warga sekitar.
Nyaris semua zona TPA Burangkeng pernah longsor. Zona yang longsor merupakan zona tambahan baru, seluas 2,2 hektar. Zona tersebut dioperasikan pada awal Januari 2024 dan pada 8 November 2024 relatif sudah penuh. Kemampuannya hanya 11 bulan. Maka mau tidak mau Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi harus melakukan penambahan lahan.
Kasus sampah TPA Burangkeng longsor sangat parah terjadi pada tahun 2021, dimana sampahnya menguruk instalasi pengolahan air sampah (IPAS) dan tempat pengomposan, gudang, dll.Sebetulnya, IPAS-nya tidak dioperasikan mengikuti standar dan peraturan perundangan. Alias IPAS alakadarnya. Dampaknya, sebagian leachate masuk ke kali dan lahan pertanian warga. Sehingga sangat merugikan petani.
Mengapa harus melakukan perluasan lahan? Karena sampah yang masuk ke zona baru tersebut tidak diolah, lahannya sangat sempit, apalagi landasan untuk menaikan sampah ke atas juga sampah sempit, maka sangat menyulitkan kerja operator.
Persoalan yang dihadapi operator dan pekerja adalah alat berat. Sekarang alat berat yang dimiliki UPTD TPA Burangkeng sebanyak 12 unit eskavator/backhoe, yang bisa digunakan hanya 9 unit. Itupun kondisinya sebagian sudah parah, dipakai untuk meng-cover pelayanan sudah kedodoran, dan tidak mampu untuk kerja perapian.
Oleh karena salah satu operator mengusulkan atau meminta kepada Bupati Kabupaten Bekasi, Dinas LH Kabupaten Bekasi dan dukungan DPRD Kabupaten Bekasi agar secepatnya melakukan pengadaan alat berat baru, yakni peremajaan 12 unit eskavator/backhoe dan 2 unit bulodozer. Peremajaan alat-alat berat sangat penting untuk meningkat pelayanan dan perapian sampah.
Pengadaan alat-alat berat tersebut bisa minta bantuan kepada Pemerintah Pusat. Bisa ke Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Lingkungan Hidup, dll dalam bentuk Dana Alokasi Khusus (DAK) bisa juga ke Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam bentuk dana kemitraan. Karena kondisinya sangat mendesak dan darurat, gunung-gunung sampah TPA Burangkeng harus ditata rapi agar tidak memperburuk kualitas lingkungan hidup.
Selain peremajaan alat-alat berat, juga dibutuhkan perluasan lahan TPA. Sepertinya, Pemkab Bekasi sudah merencanakan perluasan lahan seluas 8 hektare. Lahan kampung yang berdekatan dengan TPA akan segera dibebaskan. Namun, lahan 8 hektare itu tampaknya belum mencukupi. Karena harus menyiapkan zona baru dan pembangunan infrastruktur dan teknologi pengolahan sampah.
Jika perluasan lahan tidak dilengkapi dengan plant pengolahan sampah kapasitas menengah, besar maka akan kualahan lagi. Lahan 8 hektar jika digunakan untuk menumpuk sampah mungkin hanya mampu 4 tahun atau kurang. Karena sampah yang masuk ke TPA Burangkeng rata-rata 900 ton per hari. Sekitar 42-45% dari total sampah Kabupaten Bekasi. Sedang lainnya dibuang ke pembuangan liar, tanah kosong, drainase, sungai, pesisir dan laut Muaragembong.
Selain persoalan di atas, ada juga masalah yang harus ditangani, yakni pengambilan yang sampah dikatakan masuk tanah pihak Tol Japek II, seluas 2.500 m2. Sampah yang menimbun tanah itu sekitar 50.000 M3. Pj Bupati Bekasi sudah memerintahkan agar sampah tersebut angkat dan dipindahkan segera.
Menurut cerita seorang warga, bahwa tanah yang dibuangi sampah itu, dibeli pihak tol Japek II, dulu sudah dibayar oleh Dinas Kebersihan Kabupaten Bekasi, namun surat-suratnya belum diurus hingga selesai dan tidak transparan. Kemudian, tanah itu dibeli pihak Japek II dari orang luar. Pembayaran atau dananya pun ke orang luar. Tetapi pihak pengelola TPA yang harus mengangkat sampahnya. Siapa yang harus membiayai pengangkatan sampah tersebut?
Banyak permasalahan yang dihadapi TPA Burangkeng dari tahun ke tahun. Saya selaku Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNas) telah menyampaikan 37-41 masalah yang menyelimuti TPA Burangkeng sejak tahun 2019/2000 sampai 2024. Kini malah terulang dan bertambah.
Berikut hasil Rapid Assessment Pengelolaan TPA Burangkeng dilakukan pada 2019-2020 ditemukan sebanyak 37-41 masalah. Kajian cepat dilakukan Persatuan Pemuda Burangkeng Peduli Lingkungan (PRABU-PL), Koalisi Persampahan Nasional (KPNas), Asosiasi Pelapak dan Pemulung Indonesia (APPI) dan Karang Taruna Burangkeng. Hal ini diperkuat hasil Rapid Assessment yang dilakukan Ditjen PSLB3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI tahun 2019.
Berikut ini temuan kajian cepat, diantaranya: (1) TPA Burangkeng dikelola dengan sistem open dumping; (2) Infrastruktur jalan TPA Burangkeng buruk; (3) Tidak ada penanggungjawab jalan menuju TPA Burangkeng; (4) AMDAL TPA Burangkeng tidak jelas: (5) Sarana pencucian kendaraan belum ada; (6) Workshop/bengkel belum ada; (7) Gudang belum ada; (8) Tim Monitoring dan Evaluasi (Monev) dengan melibatkan warga belum ada; (9) Tumpukan sampah dan zona TPA semrawut; (10) Resiko sampah longsor cukup besar; (11) Kebakaran sampah pada musim kemarau.
(12) Penataan sampah dan cover-soil tidak sesuai standar; (13) TPA tidak punya infrasturktur dan sistem drainase keliling; (14) TPA tidak membangun pagar dan green-belt keliling; (15) Sampah longsor ke tanah warga; (16) Pepohonan mati; (17) Sampah dan leachate melimpas ke tanah warga; (18) Manajemen leachate dan gas-gas sampah tidak ada; (19) IPAS tidak memenuhi standar dan tidak dioperasikan (sekarang terurug sampah); (20) Sumur pantau tidak ada; (21) Pengujian laboratorium dan laporan tidak ada; (22) Leachate masuk ke sawah dan merugikan petani; (23) Kali sekitar TPA tidak diturap timbulkan bencana; (24) Jembatan menuju gerbang TPA tak terawat penuh sampah; (25) Belum ada kegiatan penghijauan; (26) TPA tidak punya taman dan RTH.
Lalu, (27) Upah karyawan TPA sangat kecil; (28) Pengobatan gratis dan mobil ambulance tidak ada; (29) Kompensasi tunai tidak ada/belum semua warga; (30) Bantuan air bersih belum memadai; (31) Partisipasi masyarakat terbatas dan semu; (32) Teknologi Pengolah Sampah sangat kecil dan tidak dimanfaatkan (kini terurug sampah); (33) Bantuan dan fasilitasi pemberdayaan masyarakat seperti untuk program 3R sampah belum ada.
Selanjutnya, (34) Bantuan sarana pendidikan dan ibadah secara rutin belum ada; (35) Pembinaan pelapak dan pemulung belum dilakukan secara permanen dan serius; (36) Manajemen tertutup dan sarat korupsi dan suap; (37) SDM mayoritas tidak professional; (38) Beberapa bangunan teurug sampah; (39) Perawatan alat berat kurang berkualitas; (40) Didominasi sampah impor, terbesar sampah plastic; (41) Pengawasan dan peneggakan hukum tidak jelas dan lemah.
Permasalahan TPA Burangkeng harus diselesaikan secara komprehensif, terpadu dan berkelanjutan. Pemkap Bekasi tidak bisa hanya mengandalkan TPA Burangkeng sebagai tujuan akhir penanganan sampah. Pendekatan yang lebih keren sekarang adalah zero landfill. Hal ini guna menguatkan sistem ekonomi sirkular.
Penanganan sampah harus mulai dari sumber sampah dengan multi-teknologi melibatkan partisipasi masyarakat secara total. Setiap desa/kelurahan harus punya satu TPST 3R atau Pusat Daur Ulang Sampah (PDUS). Hal tidak bisa ditawar-tawar lagi. Dalam konteks ini bisa minta bantuan Pemerintah Pusat.
Pengelolaan sampah harus dilakukan dengan cara-cara yang transparan, berkeadilan, pemerataan dan dengan prinsip-prinsip pemerintahan yang bersih (good governance). Jika korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) dan gratifikasi masih melekat maka jangan bermimpin akan memperbaiki pengelolaan sampah.
Jangan lupa, memotivasi, mengedukasi dan membangun kesadaran semua komponen masyarakat sangat penting. Selanjutnya memberikan isentif dan diisentif atau sanksi tanpa pandang bulu. Itu bagian dari pemantauan, pengawasan dan penegakkan hukum yang kuat, tegas, konsisten dan berkelanjutan.
Kepala Dinas LH Kabupaten Bekasi dan Kepala UPTD TPA Burangkeng harus bertindak cepat, sering turun ke lapangan dan memberi tauladan yang baik dalam pengelolaan sampah. Jangan hanya duduk di kantor ber-AC, tenang-tenang seperti tidak ada masalah.
Berita Trending
- 1 Dorong Sistem Pembayaran Inklusif, BI Hadirkan Tiga Layanan Baru BI-Fast mulai 21 Desember 2024
- 2 Desa-desa di Indonesia Diminta Kembangkan Potensi Lokal
- 3 Kenaikan PPN 12% Bukan Opsi Tepat untuk Genjot Penerimaan Negara, Pemerintah Butuh Terobosan
- 4 Pemerintah Harus Segera Hentikan Kebijakan PPN 12 Persen
- 5 Libur Panjang, Ribuan Orang Kunjungi Kepulauan Seribu
Berita Terkini
- Antisipasi Kecelakaan, Polri Siapkan Tiga Ambulans Udara Selama Nataru
- Kabar Gembira, DPRD dan Pemprov DKI Sepakat Aktifkan Kembali 105 Ribu Penerima KJP Plus
- Tingkatkan Kunjungan Wisman, Kemenpar Promosikan Bromo dan Borobudur pada Wisatawan Asal Taiwan
- Ini yang segera Diterbangkan, Pemerintah Kirim Bantuan Kemanusiaan untuk Korban Gempa di Vanuatu
- Aneh Kenapa Bisa Terjadi, PT LIB Koordinasi dengan Komdis PSSI terkait Masalah 12 Pemain PSM