Sabtu, 23 Nov 2024, 10:25 WIB

Genap 70 Tahun, Ini 5 Film Godzilla Kurang Terkenal yang Juga Perlu Ditonton

Film Godzilla (1954).

Foto: IMDb/Toho

Steven Rawle, York St John University

Monster hebat asal Jepang, Godzilla, berusia 70 tahun pada 3 November 2024 kemarin. Ini merupakan tanggal ketika film pertama yang menampilkan karakter tersebut dirilis. Godzilla (1954) merefleksikan upaya keras dalam mengatasi trauma pengeboman Nagasaki dan Hiroshima di Jepang, tetapi kesuksesannya menginspirasi waralaba film terpanjang dalam sejarah, dengan 37 sekuel.

Banyak film Godzilla yang dibuat oleh Toho, salah satu studio film terbesar di Jepang, mencerminkan sejarah kompleks negara tersebut sebagai korban satu-satunya pengeboman nuklir dan sebagai negara dengan ekonomi yang berkembang pesat di abad ke-20.

Dua film live-action terbaru, Shin Godzilla (2016) dan Godzilla Minus One (2023), memperbarui tema-tema ini untuk abad ini. Masing-masing mengkritik respons terhadap gempa bumi dan tsunami Tohoku 2011 dan keruntuhan Fukushima. Film-film tersebut secara nostalgia menangkap kebangkitan nasionalisme Jepang.

Dari semua 38 film, saya yakin lima film ini merupakan film Godzilla yang kurang dikenal, yang layak ditonton kalau kamu ingin maraton film monster besar.

1. ‘King Kong vs Godzilla’ (1962)

Godzilla pertama kali bertemu lawannya di Amerika Serikat (AS), King Kong, jauh sebelum pertarungan terakhir mereka dalam dua film “Godzilla vs Kong” yang diproduksi di AS.

King Kong vs. Godzilla (1962) awalnya berjudul King Kong vs. Frankenstein. Berkat gagasan dari ahli efek khusus AS Willis O’Brien, film ini masuk ke Jepang setelah studio Hollywood mengabaikannya.

Dengan mengubah Frankenstein menjadi Godzilla, film ini menjadi kritik terhadap perjanjian keamanan tahun 1960 antara AS dan Jepang. Namun, hal ini berkembang menjadi kritik pedas terhadap konsumerisme yang merajalela dalam modernisasi Jepang, dengan fokus pada upaya perusahaan farmasi besar untuk mengeksploitasi Kong demi rating.

Hasilnya adalah film layar lebar spektakuler yang memadukan tren populer dari Jepang tahun 1960-an, puroresu (gulat profesional) dan bintang-bintangnya yang sensasional. Film ini menjadi penentu film-film Godzilla tahun 1960-an lainnya, meski bukan tanpa masalah, karena menampilkan aktor-aktor Jepang berwajah cokelat sebagai penduduk pulau Polinesia.

2. ‘Godzilla vs Hedorah’ (1971)

Film Godzilla yang satu ini adalah salah satu yang paling unik. Sebagian dianimasikan dengan adegan klub malam psikedelik (efek halusinasi yang dirasakan sangat nyata dan berada di dalam pikiran manusia), film ini adalah satu-satunya film yang disutradarai oleh Yoshimitsu Banno, yang kemudian berperan penting membawa Godzilla ke Hollywood pada tahun 2010-an.

Seekor kecebong kecil jatuh ke Bumi dan tumbuh besar memakan lautan yang tercemar. Hedorah, yang mengambil namanya dari kata Jepang untuk lendir, melancarkan serangan hujan asam yang mengerikan pada manusia dan hewan. Majulah pelindung lingkungan Godzilla—yang sekarang jauh dari sekadar metafora untuk bom atom—untuk melawan monster kabut asap.

Tidak adanya kebijakan lingkungan di Jepang menjadikannya salah satu negara paling tercemar di dunia pada akhir tahun 1960-an. Dengan mengabaikan rasa hormat spiritual tradisional terhadap tanah, pengejaran kemajuan ekonomi negara tersebut mengilhami tumbuhnya kesadaran lingkungan dalam film-film Godzilla.

Namun, hal itu juga secara langsung mengkritik generasi muda munafik yang seakan menunjukkan rasa hormat terhadap lingkungan padahal pada akhirnya sama sekali tidak mampu melindunginya.

3. ‘Godzilla vs Biollante’ (1989)

Godzilla vs Biollante dikembangkan dari entri seorang dokter gigi ke sebuah kompetisi cerita yang bertujuan untuk menghidupkan kembali seri tersebut setelah penerimaan Godzilla yang setengah hati pada tahun 1984. Sebagian isi film ini terinspirasi oleh The Little Shop of Horrors (1986).

Setelah amukan monster di Tokyo, para ilmuwan Jepang dan perusahaan bioteknologi AS yang rakus berebut sel-sel Godzilla untuk mengembangkan tanaman atau senjata yang dimodifikasi secara genetik. Namun, setelah putrinya terbunuh dalam serangan teroris, salah satu peneliti diam-diam menggabungkan bunga mawar—yang diyakininya menyimpan jiwanya—dengan beberapa “sel-G”. Bunga mawar itu kemudian menjadi Biollante, tanaman raksasa yang bermutasi.

Meskipun masih berkaitan dengan energi nuklir—bencana Chernobyl tahun 1986 terjadi selama proses pengembangannya—film ini lebih berfokus pada bioteknologi dan perlombaan global untuk mendominasi.

Industri Jepang berubah pada tahun 1980-an—menjauh dari produksi yang mencemari lingkungan. Deregulasi menyebabkan pertumbuhan besar-besaran dalam bidang farmasi, tetapi di balik ini terdapat ketegangan yang terus berlanjut antara AS dan Jepang.

4. ‘Godzilla, Mothra and King Ghidorah: Giant Monsters All-Out Attack’ (2001)

Film ini menjadi favorit penggemar dan merupakan versi radikal yang menjelaskan asal usul monster tersebut—mempertemukan kembali Godzilla dengan dua musuh utamanya yaitu dewi Mothra dan naga alien berkepala tiga, King Ghidorah. Ini adalah satu dari sekian kali makhluk raksasa ini dibayangkan sebagai kami, roh pelindung yang biasanya menghuni tempat dan memengaruhi alam.

Peneliti Jepang, seperti Yomota Inuhiko, telah menafsirkan Godzilla dalam film ini sebagai sebuah visi tentang orang-orang yang tewas di masa perang dan rasa bersalah yang ditanggung oleh mereka yang selamat dan menikmati kemakmuran pascaperang.

Jepang telah lama berjuang untuk merenungkan peristiwa perang dunia kedua, dan hal ini juga tercermin secara kontroversial dalam Godzilla Minus One. Dalam film tersebut, mantan tentara diberi kesempatan kedua untuk melawan penjajah yang agresif, setelah kekalahan mereka oleh AS pada putaran pertama.

5. ‘Godzilla: Final Wars’ (2004)

Film edisi perayaan ulang tahun ke-50 ini, yang disutradarai oleh kreator Ryuhei Kitamura, merupakan gabungan dari semua kaij? (istilah Jepang yang berarti “binatang aneh” yang biasanya digunakan untuk menggambarkan makhluk raksasa) karya Toho. Sangat menyenangkan melihat Godzilla Jepang yang sebenarnya menghancurkan upaya terkutuk Hollywood terhadap monster itu di Gedung Opera Sydney. Meskipun demikian, film ini gagal di pasaran dan Toho tidak membuat film Godzilla lagi selama 12 tahun.

Sejarah Godzilla telah berulang kali mencerminkan perubahan selera dan keasyikan abad ini serta abad lalu. Saat bintang film terbesar di dunia kembali menghiasi layar kita dalam ‘Godzilla x Kong 3: Age of Titans’ (2025) nanti, filmografi ikon berusia tujuh puluhan ini akan semakin beragam. Ayo! Godzilla!The Conversation

Steven Rawle, Professor of Film, York St John University

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Redaktur: -

Penulis: -

Tag Terkait:

Bagikan: