Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Dampak Pemanasan Global

Gelombang Krisis Berpotensi Hambat Upaya Atasi Masalah Iklim

Foto : ISTIMEWA

Demonstrasi di KTT Iklim COP27 di Mesir

A   A   A   Pengaturan Font

DAVOS - Forum Ekonomi Dunia atau World Economic Forum (WEF), Kamis (12/1), mengingatkan invasi Russia ke Ukraina, krisis energi dan inflasi, serta membengkaknya utang di banyak negara berpotensi memperlambat penanggulangan krisis iklim di dunia.

"Krisis yang datang bergelombang akan menciptakan situasi lingkungan yang sangat sulit bagi para pemimpin dunia," kata Direktur WEF, Saadia Zahidi, dalam laporannya yang dibuat menjelang Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss, pekan depan.

Menurut Zahidi, di dalam lingkungan yang sangat rapuh ini, jika ada krisis tambahan, situasinya mungkin akan sulit dikelola.

Dalam risetnya, WEF melibatkan 1.200 pejabat pemerintah, pelaku usaha dan peneliti risiko. Mereka terutama mengkhawatirkan inflasi dan lonjakan biaya hidup akan menggeser solusi iklim sebagai prioritas, disusul bencana alam dan cuaca ekstrem.

"Lebih dari 70 persen responden menilai solusi iklim yang ada saat ini tidak efektif. Kita belum berbuat banyak dalam menanggulangi krisis iklim," kata Direktur Risiko Berkelanjutan di asuransi Zurich, John Scott.

"Sejujurnya saya tidak yakin situasinya akan berubah dalam waktu dekat. Kita sekarang hidup di dunia di mana kepentingan politik dan tuntutan sains berpisah jauh," tambah Scott.

Dalam acara terpisah yang digelar Stockholm Environment Institute (SEI), Rabu (11/1), lingkar akademisi Eropa juga memperingatkan hal serupa. Robert Watt dari SEI meyakini solusi iklim akan sulit tercapai dengan meningkatnya "defisit demokrasi" di dunia.

"Riset ilmiah membenarkan kemunduran demokrasi di dunia, dengan sekitar 70 persen penduduk Bumi hidup di bawah sistem autoritarianisme," katanya.

Kemunduran Besar

Banyak negara demokratis yang bahkan saat ini berkembang menjadi lebih autokratis. Watt menambahkan, sebanyak 35 negara demokratis di dunia mencatat kemunduran besar dalam kebebasan berpendapat dan hak sipil.

Menurutnya, upaya memperkuat demokrasi di banyak negara terhambat oleh gelombang disinformasi atau kabar hoaks di media sosial. "Sebab itu, kerja sama dalam menanggulangi krisis iklim akan lebih sulit, jika masing-masing negara bisa mengarang faktanya sendiri," pungkasnya.

Peringatan serupa diungkapkan Zahidi yang menilai disinformasi hanya memperkuat polarisasi sosial, yakni ketika dua masalah "saling melengkapi satu sama lain dan menciptakan krisis baru".

Kegentingan yang disuarakan WEF setidaknya diakui Sultan al-Jaber. "Tahun ini akan menjadi tahun kritis di dalam dekade yang kritis bagi solusi iklim," kata dia kepada kantor berita UEA, WAM.

Al-Jaber berjanji akan memperjuangkan "agenda inklusif" yang menjamin "pendanaan iklim yang terjangkau dan substansial" bagi negara yang paling rentan oleh bencana iklim.

Saat WEF mengeluarkan peringatan terhadap merosotnya kepercayaan publik kepada penyelenggara negara, Uni Emirat Arab (UEA) pada Kamis (12/1) justru menunjuk seorang pengusaha minyak sebagai direktur KTT Iklim The 28th session of the Conference of the Parties (COP 28) tahun ini.

Dikutip dari Deutsche Welle, penunjukkan Direktur Abu Dhabi National Oil Company (ADNOC), Sultan al-Jaber, langsung menuai kritik. "Pemilihannya seperti menempatkan rubah untuk menjaga kandang ayam," kata Teresa Anderson dari organisasi iklim, ActionAid.

Al-Jaber, yang berjanji akan bersikap "pragmatis" bertugas menyeimbangkan kepentingan banyak negara demi dekarbonisasi ekonomi. "Utusan khusus iklim UEA itu bakal menghadapi dilema, antara mendorong kepentingan industri minyak dan impelentasi solusi iklim," kata pakar iklim di Tufts University, Amerika Serikat (AS), Rachel Kyte.

WEF melaporkan, penunjukkan al-Jaber dilakukan ketika solusi iklim kian menjauh.


Redaktur : Marcellus Widiarto
Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top