Rabu, 22 Jan 2025, 11:02 WIB

Gara Gara Trump, Harga Nikel Global Bisa Hancur. RI Harus Antisipasi

Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhisthira mengatakan, dengan Trump yang akan fokus ke energi fosil di dalam negeri AS, ini akan menjadi ancaman serius bagi masa depan ekspor nikel RI

Foto: istimewa

JAKARTA-Rencana Presiden AS, Donald Trump yang akan fokus ke energi fosil di dalam negeri AS berpotensi mengganggu harga nikel di pasar global. Karena itu sebagai produsen nikel, Indonesia harus bersiap siap terkait hancurnya harga nikel dan baterai kendaraan listrik di pasar internasional.

Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhisthira mengatakan pernyataan Trump menunjukan bahwa upaya AS untuk mempercepat elektrifikasi di sektor transportasi, untuk mendorong transisi EBT (energi baru dan terbarukan) di dalam negeri AS akan terganggu. 

"Ini membuat Indonesia harus bersiap siap terkait dengan hancurnya harga nikel dan baterai di pasar internasional, padahal RI sedang mendorong agar nikel dan berbagai barang mineral dari proses hilirisasi bisa masuk rantai pasok global khususnya ke pasar AS,"ucap Bhima pada Koran Jakarta, Rabu (22/1) menanggapi arah kebijakan Trump.

Dengan Trump yang juga mendorong produksi migas (minyak dan gas bumi) domestik AS meningkat terangnya, ini akan menjadi ancaman serius bagi masa depan ekspor nikel RI.

Oleh karena itu, untuk mitigasi ke luarnya AS dari perjanjian Paris maka disarankan Indonesia segera melakukan batasan produksi biji nikel dan juga menyetop smelter baru yang akan dibangun. Dengan cara itu bisa mendorong harga nikel internasional stabil sepanjang 2025. "Karena kalau Indonesia over supply nikel sementara AS mengurangi permintaan ini akan berdampak buruk pada harga jual nikel olahan di level internasional,"ucapnya

Selain itu, harus juga mencari patner untuk mendorong kerja sama transisi energi itu dengan Timur Tengah (Timteng), karena Timteng patner paling potensial dan telah terbukti membantu pembangunan PLTS (pembangkit listrik tenaga surya) di Waduk Cirata yang skalanya juga cukup besar. 

Lebih lanjut dipaparkannya dampak dari Donald Trump ke luar dari perjanjian Paris cukup signifikan karena akan menjadi ancaman serius bagi perjalanan komitmen pendanaan transisi energi Indonesia, salah satunya melalui

JETP (Just Energy Transition Partnership) yang terancam dibubarkan atau tidak akan berjalan mulus karena AS sebagai leading dari JETP ini ke luar dari kesepakatan.

Padahal terang Bhima, Indonesia sedang membutuhkan anggaran yang tidak kecil khususnya dari kerja sama internasional dalam rangka membangun 71 GW (giga watt) pembangkit energi terbarukan dan juga untuk mempercepat pemensiunan PLTU (pembangkit listrik tenaga uap) batubara sebagai komitmen Prabowo di dalam G20. 

"Nah, di sisi yang lain, kalau JETP tidak berjalan bisa jadi Indonesia akan kehilangan salah satu pinjaman atau donor paling besar di bidang transisi energi yang ini juga akan mengancam proyek proyek yang tengah berjalan atau tengah didanai oleh AS,"tegas Bhima

Redaktur: Muchamad Ismail

Penulis: Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini

Tag Terkait:

Bagikan: