G20 Sepakat Tingkatkan Kapasitas Energi Terbarukan Tiga Kali Lipat
BERI PENGHORMATAN I Dari kiri ke kanan: Presiden Prancis Emmanuel Macron, Presiden Indonesia Joko Widodo, Perdana Menteri India Narendra Modi, Presiden Brazil Luiz Inacio Lula da Silva, dan Presiden AS Joe Biden memberikan penghormatan kepada Mahatma Gandhi yang menjadi rangkaian kegiatan KTT G20 di New Delhi, India, Minggu (10/9).
Foto: PIB/AFP» Pemimpin G20 menyadari pentingnya mempercepat langkah-langkah yang akan membantu transisi ke sistem energi rendah emisi.
» PLTU yang tersebar di sekitar Jakarta menjadi kontributor tingginya polusi di Jakarta.
NEW DELHI - Para pemimpin negara-negara Kelompok 20 (G20), pada Sabtu (9/9), sepakat untuk meningkatkan kapasitas energi terbarukan global hingga tiga kali lipat pada 2030 sebagai satu kebutuhan untuk menghentikan penggunaan pembangkit listrik tenaga batu bara secara bertahap, namun tidak berhasil menetapkan target utama iklim.
Seperti dikutip dari The Straits Times, dua puluh negara dengan perekonomian besar di dunia itu mempunyai perbedaan pendapat mengenai komitmen untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan target energi terbarukan.
"Salah satu poin penting tersebut adalah usulan negara-negara Barat untuk melipatgandakan kapasitas energi terbarukan pada 2030 dan mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 60 persen pada 2035, yang ditentang oleh Russia, Tiongkok, Arab Saudi, dan India dalam pertemuan tingkat sherpa," kata sejumlah sumber.
Deklarasi yang diadopsi oleh para pemimpin G20 pada pertama pertemuan puncak dua hari di New Delhi tidak menyebutkan pengurangan emisi rumah kaca.
"Dikatakan bahwa negara-negara anggota akan mengejar dan mendorong upaya untuk melipatgandakan kapasitas energi terbarukan secara global sejalan dengan keadaan nasional pada 2030," katanya.
Negara-negara anggota G20 bersama-sama menyumbang lebih dari 80 persen emisi global dan upaya kumulatif kelompok tersebut untuk melakukan dekarbonisasi sangat penting dalam perjuangan global melawan perubahan iklim.
Pembicaraan mengenai perubahan iklim pada pertemuan puncak blok tersebut akan diawasi dengan ketat oleh dunia menjelang pertemuan puncak perubahan iklim PBB COP28 di Uni Emirat Arab pada akhir tahun ini.
G20 telah sepakat bahwa "keadaan nasional" akan diperhitungkan dalam penghentian penggunaan "tenaga batu bara" secara bertahap, namun tidak menyebutkan pengurangan penggunaan minyak mentah sehingga menunjukkan bahwa negara-negara seperti Arab Saudi yang kaya akan minyak akan menang dalam perundingan tersebut.
Mengenai penghentian penggunaan bahan bakar fosil secara bertahap, deklarasi tersebut mengatakan bahwa para pemimpin "menyadari pentingnya" untuk mempercepat langkah-langkah yang akan membantu transisi ke sistem energi rendah emisi. "Termasuk mempercepat upaya menuju penghentian pembangkit listrik tenaga batu bara secara bertahap, sejalan dengan kondisi nasional," katanya.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudisthira, yang diminta pendapatnya mengatakan Indonesia sebagai salah satu anggota negara G20 memang agak sulit memenuhi target yang disepakati.
Pemerintah bahkan membuat kebijakan yang kontradiktif dengan apa yang disepakati dalam forum G20. Sebab, beberapa PLTU milik PLN seperti di Cirebon sudah disepakati untuk disuntik mati, namun pembangunan PLTU di kawasan industri diberi karpet merah.
"Akibatnya, pihak investor yang berminat memberikan pendanaan menjadi ragu akan komitmen pemerintah dalam transisi energi," kata Bhima.
Di sisi lain, kata Bhima, wacana Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan kemudahan pembiayaan PLTU batu bara dalam mendukung hilirisasi industri cukup aneh. "Taksonomi hijau idealnya ketika direvisi yang masuk label hijau hanya pembiayaan PLTU yang disuntik mati, bukan mendorong PLTU baru lagi meski atas nama hilirisasi," kata Bhima.
Sementara itu, Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengatakan untuk Indonesia mencapai target ini tidak mudah. Hal yang diperlukan adalah ketersediaan pendanaan yang murah (low cost financing) sehingga pembangunan energi terbarukan menghasilkan harga listrik yang terjangkau.
Di dalam negeri yang perlu disiapkan adalah proyek energi terbarukan yang bankable, proses pengadaan pembangkit energi terbarukan yang transparan dari PLN, reguler dan dengan skala besar.
"Terakhir yang perlu disiapkan ialah dukungan pendanaan dari lembaga keuangan domestik," kata Fabby.
Kepung Jakarta
Analis Senior IESR, Raditya Yudha Wiranegara, menyatakan PLTU yang tersebar di sekitar Jakarta menjadi kontributor tingginya polusi di Jakarta. Setidaknya ada delapan PLTU yang mengepung Jakarta, seperti di sebelah timur Jakarta (PLTU Suralaya, PLTU Lontar, PLTU Banten) dan di barat (PLTU Cirebon 1 dan 2, PLTU Batang, PLTU Tanjung Jati).
Berdasarkan studi CREA dan IESR, terdapat beberapa PLTU yang dinilai memiliki dampak paling besar terhadap kesehatan, diukur dari jumlah kematian yang disebabkan serta biaya kesehatan.
"Terdapat lima PLTU teratas yang terindikasi memiliki dampak paling signifikan terhadap kesehatan, di antaranya PLTU Batang, PLTU Lontar, PLTU Cirebon 1 dan 2, PLTU Cilacap. Kita mengetahui kelima PLTU ini terhubung dengan jaringan kelistrikan Jawa-Bali yang saat ini statusnya oversupply," kata Raditya.
Lebih lanjut dikatakan jika kelak lima PLTU itu dipertimbangkan untuk dipensiunkan, seharusnya akan mengurangi polusi udara di Jakarta. Namun terdapat kekhawatiran dari PLN mengenai pensiun dini itu, apakah akan menyebabkan ketidakstabilan pada jaringan karena kebanyakan PLTU di list ini berada di sebelah barat di mana beban paling banyak di Jawa bagian barat.
"Sebab itu, perlu dipertimbangkan apabila memang dipensiunkan maka perlu diikuti kesigapan pemerintah dan PLN untuk melakukan akselerasi energi terbarukan, termasuk pembangunan PLTS," tegas Raditya.
Namun sayang, bukannya pembangunan EBT yang digalakkan, tapi tidak jauh dari lokasi PLTU batu bara yang disuntik mati, malah dibangun PLTU batu bara yang kapasitasnya lebih besar.
Sementara itu, pakta iklim yang tergabung ke dalam kemitraan JETP itu sempat berjanji untuk menyediakan dana yang dihimpun 20 miliar dollar AS atau setara dengan 306,5 triliun rupiah dari publik dan swasta selama 3-5 tahun mendatang untuk pemerintah Indonesia.
Skema pendanaan JETP itu terdiri atas 10 miliar dollar AS yang berasal dari komitmen pendanaan publik dan 10 miliar dollar AS dari pendanaan swasta yang dikoordinatori oleh Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ), yang terdiri atas Bank of America, Citi, Deutsche Bank, HSBC, Macquarie, MUFG, dan Standard Chartered.
Kemitraan JETP yang dipimpin AS-Jepang itu, termasuk di dalamnya negara anggota G7 lainnya, yakni Kanada, Inggris, Prancis, Jerman, dan Italia, serta juga melibatkan Norwegia dan Denmark.
Rencananya, himpunan dana itu bakal dimanfaatkan untuk membiayai program pensiun dini PLTU dan pembangunan pembangkit baru berbasis energi terbarukan mendatang.
Redaktur: Vitto Budi
Penulis: Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Indonesia Tunda Peluncuran Komitmen Iklim Terbaru di COP29 Azerbaijan
- 2 Sejumlah Negara Masih Terpecah soal Penyediaan Dana Iklim
- 3 Ini Kata Pengamat Soal Wacana Terowongan Penghubung Trenggalek ke Tulungagung
- 4 Penerima LPDP Harus Berkontribusi untuk Negeri
- 5 Ini yang Dilakukan Kemnaker untuk Mendukung Industri Musik
Berita Terkini
- Sampah Hasil Pendakian di Gunung Rinjani Capai 31 Ton
- COP29 Diperpanjang, Negara Miskin Tolak Tawaran 250 Miliar Dollar AS
- Belanda Pertama Kali Melaju ke Final Piala Davis Usai Kalahkan Jerman
- Kampanye Akbar Pramono-Rano Hari Ini di Stadion Madya GBK Senayan, 20.000 Massa Siap Dukung
- Pemkot Tangerang Normalisasi Drainase di Lokasi Rawan Banjir