Sabtu, 21 Des 2024, 01:15 WIB

Fokus Efisiensi dan Kenakan Tarif Impor untuk Selamatkan APBN

Pengamat Politik Sekaligus Wakil Rektor Tiga, Universitas Trunojoyo Madura (UTM), Surokim Abdussalam - Seharusnya berbagai aspirasi penolakan yang muncul baik di permukaan atau di bawah permukaan menjadi perhatian.

Foto: antara

JAKARTA – Tidak ada salahnya pemerintah membatalkan pemberlakuan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen mulai 1 Januari 2025 mengingat gelombang penolakan yang terus meluas. Lebih baik pemerintah fokus pada pemberantasan korupsi, efisiensi anggaran, dan mengenakan tarif impor tinggi terutama terhadap produk-produk pertanian untuk menyelamatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). “Seharusnya berbagai aspirasi penolakan yang muncul baik di permukaan atau di bawah permukaan menjadi perhatian.

 Pemerintah harusnya lebih sensiitif terhadap kondisi rakyat. Dampak inflasi belum reda kok malah ingin menambah beban,” kata pengamat politik sekaligus Wakil Rektor Tiga, Universitas Trunojoyo Madura (UTM), Surokim Abdussalam, Jumat (20/12). Menurutnya, meski sembako tidak terkena kenaikan, tetap saja kebijakan ini secara psikologis berimplikasi ke pasar yang akan memicu banyak kenaikan harga. Bisnis-bisnis yang bakal terdampak ini punya banyak karyawan, artinya tentu jika omzet mereka semakin anjlolk, dapat memicu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Maka pemerintah perlu ekstra hatihati dan lebih peka agar kenaikan tidak berdampak langsung dan meluas pada dunia usaha yang kemudian berdampak langsung ke hajat hidup masyarakat luas. Jika pemerintah kekuarangan dana, seharusnya fokus saja pada pemberantasan korupsi.

“Saya optimistis, kalau benar-benar jalan, anggaran yang diselamatkan akan sangat besar nilainya. Dan saya kira wacana Presiden yang minta acara-cara seremonial dibatasi juga akan signifikan menghemat anggaran, karena pengeluaran untuk itu cukup fantastis,” kata Surokim.

 Pengamat Ekonomi Salamuddin Daeng mengatakan, banyaknya pihak yang keberatan terhadap pemberlakuan tarif PPN 12 persen karena kebijakan itu akan semakin melemahkan daya beli, melemahkan konsumsi, dan melemahkan pertumbuhan ekonomi. Kritik Bank Dunia terhadap kebijakan PPN 12 persen pun tidak mendapat perhatian pemerintah. “Bank dunia mengatakan baru baru ini bahwa masalah pajak di Indonesia adalah efisiensi dalam pemungutannya yang rendah dan ketidak- patuhan.

Ini adalah indikasi korupsi luas dalam penerimaan negara,”ucap Daeng Menurutnya, pemberlakuan tarif PPN 12 persen itu murni hanya kepentingan sektoral kementerian keuangan yang ingin menambal kegagalan mereka dalam menambah penerimaan negara. “Kemenkeu melakukan langkah instan tanpa melakukan usaha yang serius dalam membenahi ke dalam kementerian,”tandas Daeng. Kemenkeu juga membuat APBN tersandera oleh utang pemerintah kepada BI. Akibatnya sekarang terjadi perlombaan antara pemerintah dan BI dalam menjual surat utang dalam menutupi utang masing masing.

Ada indikasi pelemahan rupiah dimaksudkan untuk kepentingan para eksportir komoditas Sumber Daya Alam (SDA) untuk terus mengurangi setoran riel mereka kepada negara baik dalam bentuk royalti, pajak maupun pungutan ekspor. Perusahaan komoditas memperoleh pendapatan dalam dolar namun membayar kewajiban kepada negara dengan rupiah. Pelemahan kurs bisa menjadi strategi yang efektif untuk oligarki SDA.

Sementara itu, pengamat hukum dan pembangunan Hardjuno Wiwoho mengatakan, salah satu opsi pemerintah untuk menyelamatkan APBN adalah menghentikan pembayaran bunga Obligasi Rekap BLBI yang selama ini sangat membebani. “Pembayaran bunga obligasi rekap BLBI kepada bank-bank besar yang kini terbukti sudah meraih keuntungan signifikan merupakan kebijakan yang tidak relevan lagi dan justru merugikan rakyat. “Setiap tahun kita membayar bunga obligasi rekap BLBI sementara rakyat diminta untuk menanggung kenaikan PPN. Dimana letak keberpihakan pemerintah,” kata Hardjuno.

 Pengamat Ekonomi dari STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko mengatakan, jika pemerintah benar-benar melindungi petani maka seluruh impor pangan harus di tangan pemerintah, bukan swasta. “Dan yang terpenting harus menaikkan tarif impor. Amerika Serikat yang dikenal sebagai pelopor free market economy saja mengenakan tarif terhadap pangan impor, lha kok kita malah ada yang zero tarif. Akibatnya tidak ada yang mau menanam komoditas serupa di dalam negeri karena kalah bersaing,” kata Aditya.

Petisi Minta Batalkan

Sementara itu, petisi daring (online) terhadap penolakan tarif PPN 12 persen terus bergulir. Hingga tadi malam (Jumat, 20/12), petisi bertajuk “Pemerintah, Segera Batalkan Kenaikan PPN!” telah mengumpulkan lebih dari 100.000 tanda tangan. Hal ini mencerminkan keresahan publik terhadap kebijakan tersebut.

“Petisi daring yang kini menjadi perbincangan luas di media sosial dinilai sebagai bentuk aspirasi publik yang harus didengar oleh pemerintah. Penandatangan petisi mengkritik pemerintah yang dinilai memilih langkah mudah dengan menaikkan tarif PPN tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap kesejahteraan rakyat,” tegas Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat.

 Menurut Achmad, kebijakan yang terlalu membebani masyarakat dapat menimbulkan erosi kepercayaan publik terhadap pemerintah. Ia menambahkan bahwa pemerintah perlu menunjukkan kepekaan terhadap situasi ekonomi masyarakat dengan mengedepankan kebijakan yang lebih kreatif dan adil.

Redaktur: M. Selamet Susanto

Penulis: Eko S, Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S

Tag Terkait:

Bagikan: