Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Fatamorgana Berantas Korupsi

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Moh Nurul Huda

Robert Killgrad (1991) dalam bukunya Controlling Coruption pernah mengatakan, "Coruption is one of the foremost problems in the developing world and it is receiving much greater attention as wereach the last decade of the century. Ini termasuk di negara berkembang seperti Indonesia. Korupsi masih menyisakan beragam ironi yang tak kunjung tuntas. Tidak salah apabila Taufik Abdullah (1989) mengatakan, prostitusi adalah kejahatan the oldest profession. Maka, tidak berlebihan bila korupsi adalah kejahatan as old as the organization of power. Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia sebenarnya selalu berkembang.

Berdasarkan sejarah perundang-undangan untuk menanggulangi dan memberantas tindak pidana korupsi, terhitung sejak pertama istilah korupsi diperkenalkan mulai Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM/06/1957 sampai saat ini, sudah ada sembilan perundangan. Bahkan, dengan kelahiran Komisi Pemberantasan Korupsi, korupsi tak semakin menurun, tetapi justru meningkat.

Berdasarkan data media sepanjang tahun 2004 sampai 2017, tindakan hukum melalui operasi tangkap tangan (OTT) telah menghasilkan 75 kasus dengan 244 tersangka. Tak hanya sampai di situ, tindakan hukum melalui OTT pada tahun 2018 juga meningkat signifikan. Pada tahun itu, KPK menghasilkan 30 kasus dan 180 orang tersangkut kasus korupsi. Maraknya kasus korupsi dari tahun ke tahun tentu memprihatinkan banyak kalangan. Sebab, skandal korupsi yang telah menjadi extra ordinery crimes, membutuhkan solusi yang luar biasa agar upaya pemberantasannya tidak sia-sia.

Roscoe Pound (1870-1964) dalam teori "Hukum sebagai Perekayasa Sosial" menyebutkan, salah satu fungsi hukum suatu negara untuk pengontrol kehidupan sosial. Dengan kata lain, hukum akan menjelma menjadi alat rekayasa sosial, sehingga kejahatan yang awalnya masif terjadi, ruang geraknya dipersempit. Masalahnya, dengan melihat tindak pidana korupsi saat ini, kasusnya terus membengkak. Ini memperlihatkan, hukum bekerja secara tidak efektif dan efisien. Buktinya, korupsi tak semakin menghilang, malah meningkat.

Korupsi memang tak akan pernah habis untuk diperbincangkan. Ia bak primadona yang menyeret beragam pihak untuk bermain di dalamnya. Apalagi ketika melihat banyaknya pejabat publik yang tertangkap KPK. Secara psikologis ini seolah memberi angin segar kepada masyarakat karena dendamnya mulai terobati. Berdasar pada kenyataan itulah, KPK dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya semakin mendapat apresiasi dari berbagai pihak. Sebab kinerja memberantas para mafia korupsi semakin baik.

Sistematis

Hanya, seperti yang telah diungkapkan, pemberantasan tindak pidana korupsi, sesungguhnya merupakan kepincangan hukum karena tidak bisa membuat pelaku jera. Korupsi justru semakin merajalela. Karena itulah, diperlukan langkah sistematis yang mampu menghambat laju pergerakan korupsi agar tak semakin meninggi. Pendeknya, pergerakan hukum sesungguhnya masih menggunakan tindak pidana klasik yang hanya terjerambab dalam proses penindakan. Padahal, proses penindakan dengan segala skemanya masih menyisakan ironi berupa beban terhadap negara.

Biaya penanganan korupsi dari proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, putusan pengadilan, dan pemenjaraan koruptor memerlukan biaya sangat tinggi. Bahkan, satu kali penanganan tindak pidana korupsi memerlukan biaya sekitar 250 sampai 500 juta. Ini hanya untuk melakukan proses tindak pidana itu sampai pelaku dipenjara. Karena itulah, salah satu tujuan pemberantasan korupsi berupa penyelamatan kerugian negara tidak kunjung bisa dituai, namun justru menyebabkan negara semakin rugi.

Sejenak melalui penggambaran ini, pada gilirannya menyebabkan Bambang Tri Bawono (2018) mengatakan bahwa pemberantasan korupsi saat ini seperti fatamorgana hukum. Sebab upaya pemberantasan semakin banyak digelar, namun justru hanya memberikan penambahan kuota pelaku korup, beban kerugian finansial, serta moralitas terhadap negara.

Melalui kenyataan pahit ini, Bambang Tri Bawono juga menambahkan bahwa sistem hukum harus berorientasi pada proses pencegahan dari pemenjaraan. Senada dengan itu, Ahli Kriminologi Herbert L Peker dalam bukunya The Limits Of The Criminal Sanction juga menuturkan bahwa tindak pidana modern melalui proses pencegahan sesungguhnya lebih memiliki dampak yang lebih luas dibanding penindakan.

Dengan demikian, proses penindakan yang lebih berpatron pada proses pemenjaraan merupakan tindakan terakhir, setelah proses-proses pencegahan tidak bisa dilaksanakan. Sebab dalam paradigma penegakan hukum yang dibangun oleh Lawrence M Friedman, proses penegakan hukum harus memenuhi struktur, substansi, dan budaya hukum.

Substansi hukum yang lebih berorientas pada proses pencegahan juga harus diselaraskan dengan budaya dan struktur hukum yang memadai. Sebab jika tidak terjadi keselarasan antara sistem hukum dan subsistem hukumnya, akan terjadi tumpang tindih. Terakhir tidak terwujudnya keinginan hukum.

Lewat orientasi pencegahan tindak pidana korupsi, tentu akan memberikan dampak yang lebih luas karena tidak menimbulkan kerugian berkelanjutan. Maka, apabila pencegahan itu dilaksanakan, hanya akan terfokus pada pengawasan, peringatan, dan pemecatan dengan tidak hormat. Ketika ketiga tindakan itu tidak bisa dilakukan, baru menggunakan proses terakhir berupa penindakan dan pemenjaraan.

Penulis Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang

Komentar

Komentar
()

Top