Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Disabilitas dalam Politik dan Sejarah

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Dalam buku Kapitalisme Bumi Putra: Perubahan Masyarakat Mangkunegaran, Wasino (2008: 131) menulis ketentuan yang digariskan dalam Rijksblad Mangkunegaran Nomor 10 Tahun 1917. Peraturan yang dimaksud menyebutkan siapa saja yang tidak boleh diangkat menjadi kepala desa, yaitu: (1) Perempuan, (2) Orang yang belum mencapai usia dewasa, (3) Mantan kepala desa dan pejabat yang diberhentikan secara tidak hormat, (4) Para penggemar judi, pamadad, atau pecandu minuman keras, (5) Orang-orang yang dianggap kurang mampu menjalankan tugasnya sebagai kepala desa karena sakit, berusia lanjut, lemah fisik atau mental, serta alasan lain yang dinilai kurang sesuai bagi kepentingan publik, (6) Orang-orang yang pernah menerima hukuman selain denda uang dalam vonis yang dijatuhkan tanpa mengantongi grasi atau ampunan, (7) Orang yang tidak bermukim di desa bersangkutan, kecuali dalam keadaan mendesak atau darurat.

Penyetaraan

Namun demikian, penyetaraan orang gila dengan orang normal pernah termaktub dalam lembaran sejarah. Bagaimanapun, pemerintah dalam sejumlah hal pernah menyejajarkan keduanya. Ternyata sikap ini sejak lama genap mengundang atensi publik. Salah satu sasaran kritik pada waktu itu adalah apa yang digariskan dalam Inlandsche Gemeente Ordonnantie (IGOB) dan Inlandsche Gemeente Ordonnantie Buitengewesten (IGOB). Oleh sebagian kalangan, sejumlah ketentuan di dalamnya dinilai merendahkan harga diri, kehormatan, serta martabat perempuan. Berdasarkan peraturan perundang-undangan tentang desa yang terbit pada masa kolonial tersebut, kaum Hawa dikategorikan sederajat atau setingkat dengan anak-anak dan lelaki bodoh atau gila, sehingga tidak berhak menjadi kepala desa.

Kegilaan merupakan ancaman yang cukup menakutkan bagi setiap orang. Celakanya, penyakit tersebut ternyata dapat 'dipanggil' melalui ritual tertentu. Memanfaatkan mantra jaran goyang, misalnya, seorang perempuan leluasa dibuat tergila-gila atau gila (dalam arti sebenarnya). Apa yang terjadi pada kalangan suku Using di Banyuwangi, Jawa Timur, menunjukkan bahwa objek pembacaan mantra tersebut sengaja ditundukkan atau ditaklukkan. Tujuannya adalah menjadikan sasaran tiba-tiba jatuh cinta pada subjek. Dalam konteks ini, mantra jaran goyang versi tertentu berdampak lebih buruk dan besar ketimbang versi-versi lainnya.

Pada versi pertama, orientasi atas keadaan tergila-gila tertera pada larik 9-11, yang menyebutkan "kalau gila tidak gila" (Kadhung edan sing edan), "kalau sinting tidak sinting" (Kadhung gendheng sing gendheng), serta "kalau teler tidak teler" (Kadhung bunyeng sing bunyeng). Semuanya menjelaskan adanya "kondisi-antara" (kondisi di tengah-tengah), yakni kondisi antara gila dan tidak gila, antara sinting dan tidak sinting, serta antara teler dan tidak teler. (Heru S.P. Saputra, 2007: 160-161).
Halaman Selanjutnya....

Komentar

Komentar
()

Top