Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Diplomasi "Kapal Perang" Akhiri Ratusan Tahun Isolasi Jepang

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Di bawah pemerintahan Tokugawa, Jepang melakukan isolasi diri untuk membebaskan budaya mereka dari pengaruh luar. Diplomasi "kapal perang" oleh AS, memaksa Jepang menyerah dan membuka diri bagi orang luar.

Sebelum menjadi bangsa maju dan modern seperti sekarang, Jepang pernah mengisolasikan diri selama ratusan tahun mulai dari 1633 hingga 1854. Kebijakan dengan nama Sakoku atau arti harfiah "negara terkunci" adalah kebijakan untuk mengatur agar orang asing tidak memasuki Jepang dan orang Jepang pergi ke luar negeri, dengan ancaman hukuman mati.
Kebijakan tersebut ditetapkan ketika Keshogunan (Edo Bakufu) Tokugawa berada di bawah pimpinan Tokugawa Iemitsu atau ketiga shogun dari dinasti Tokugawa yang memerintah dari 12 Agustus 1604 - 8 Juni 1651. Ia mengeluarkan sejumlah dekrit dan kebijakan yang dikeluarkan pada periode 1633-1639.
Sebelum mengisolasi Jepang dari dunia luar, Tokugawa berjasa bagi kaisar. Tokugawa Ieyasu, dianugerahkan dengan gelar shogun oleh Kaisar pada 1603 karena dapat menyatukan Jepang dan mengakhiri era perang konstan antara daimyo atau penguasa feodal. Kekuasaannya meninggalkan warisan masyarakat yang relatif stabil dan damai yang berlangsung lebih dari dua abad.
Penguasa feodal, baik yang mendukung atau menentang Tokugawa, sebagian besar dibiarkan di tempat. Namun, mereka dibuat untuk bersumpah setia kepada shogun Tokugawa, dan upaya besar dilakukan untuk memastikan daimyo atau penguasa lokal dan individu tidak membentuk aliansi di antara mereka sendiri.
Penerapan Sakoku mulai dilakukan pada abad ketujuh belas. Tujuannya untuk memisahkan masyarakat dari dunia luar. Selain mengusir orang asing, Tokugawa berusaha membatasi kontak dan perdagangan yang diatur secara ketat dengan Belanda, Tiongkok, dan Korea.
Kebijakan ini berangkat dari rasa bangga dan superioritas. Mirip dengan Tiongkok dan Korea, orang Jepang dipengaruhi oleh pemikiran Konfusianisme yang membanggakan diri dalam supremasi budaya mereka. Mereka menganggap bangsa Barat dengan sebutan biadab.
Kepercayaan lokal Jepang yaitu Shintoisme memperkuat pandangan itu. Bangsa Jepang menganggap dirinya mereka berada di atas Tiongkok dan Korea, dengan mengklaim sebagai ras yang diturunkan dari para dewa.
Kepercayaan konfusianisme tidak menyukai motif keuntungan barbar yang dianut oleh orang Barat. Mereka tidak bisa mentolerir perdagangan luar negeri, mereka juga tidak bisa mentolerir para misionaris Barat yang menyebarkan ajaran agama Kristen yang dianggap merusak cara hidup.
Ada juga alasan pragmatis lainnya. Perdagangan luar negeri dan agama asing sering menjadi dalih untuk intervensi asing langsung, atau bahkan di tangan pemberontak daimyo atau penguasa lokal. Apapun alasannya, Keshogunan Tokugawa atau Edo bakufu berhasil mempertahankan kebijakan negara tertutup.
Orang Jepang juga dilarang terpesona dalam kemajuan revolusi industri dan kegembiraan yang dikagumi di tempat lain. Selama berabad-abad, institusi Jepang tidak terganggu oleh kekuatan asing, dengan menyatakan orang asing adalah "barbar" menjadi dasar dari aturan yang sah.

Gangguan Barat
Namun, Barat tidak berhenti untuk mengganggu. Gangguan dari Barat dilakukan oleh Komodor Matthew Perry dari Amerika Serikat (AS) pada 1853 yang kemudian dikenal dengan "diplomasi kapal perang". Ia tiba di pantai Jepang dan mendorong negara itu membuka perdagangan. Wilayah Jepang diharapkan bisa menjadi tempat bagi untuk mengisi bahan bakar dan sebagai pemberhentian sementara bagi pemburu paus AS.
Komodor Perry memamerkan pada orang Jepang dengan teknologi terbaru seperti mesin uap. Ia mengatakan kepada Jepang, hanya membawa empat kapal perang, namun ia tidak ragu-ragu untuk membawa armada yang jauh lebih banyak untuk mendapatkan jawaban.
Kata-kata Perry menjadi kenyataan. Setahun kemudian, "Kapal Hitam," armada sembilan kapal yang terdiri dari tiga fregat uap, tiba di Jepang. Pada saat itu, Jepang harus memutuskan, membuka perdagangan luar negeri secara damai atau menghadapi konsekuensi mengerikan dari penolakan proposal AS itu.
Jepang tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk menghadapi kemurkaan dari "diplomasi kapal perang" Barat. Apalagi di sebelah barat negaranya, keterlibatan Tiongkok dengan Inggris dalam Perang Candu memberi pelajaran berharga betapa tidak berdayanya negara itu melawan kekuatan militer asing.
Pada 1842, Perang Candu Pertama berakhir dengan kemenangan Inggris. Negara Eropa ini mempermalukan Kaisar Qing dengan kekuatan Angkatan Laut Kerajaannya. Dampaknya negeri itu membuka pelabuhan Hong Kong untuk mereka. Episode ini semakin menguatkan keyakinan Jepang terhadap bangsa Barat, sebagai pemangsa barbar.
Pengasingan diri yang dilakukan Jepang mengalami dilema. Mereka perlu kekuatan teknologi militer untuk mempertahankan bangsanya. Namun cara itu dilakukan dengan mengimpor. Hal ini berarti melepaskan diri dari dukungan tradisional golongan garis keras yang mendukung pengasingan.
Terlepas dari bagaimana pemerintah Keshogunan menanggapi tekanan asing, Jepang tampak lemah. Akhirnya dalam tuntutan AS, pemerintah Tokugawa memilih konsiliasi, dengan menandatangani Konvensi Kanagawa pada 1854.
Diplomasi "kapal perang" memaksa Jepang meninggalkan kebijakan isolasinya.
Pada Perjanjian Harris yang ditandatangani pada 1858, membuat Jepang membuka pelabuhan untuk perdagangan dan melarang negara itu untuk menetapkan tarif. Yang paling merugikan adalah pemberlakukan ekstrateritorialitas atau pengecualian dari yurisdiksi hukum lokal di negara tersebut.
Contoh dari ekstrateritorialitas adalah, orang asing yang melakukan kejahatan di Jepang akan diadili oleh pengadilan asing dan oleh hakim asing, menentang dan mengabaikan hukum setempat.
Perjanjian serupa akan ditandatangani dengan kekuatan Barat Inggris, Prancis, Belanda, dan Russia. hay/I-1

Jatuhnya Tokugawa Awal Bagi Restorasi Meiji

Pembukaan Jepang dari isolasi pada 1854 ditandai dengan penandatanganan Konvensi Kanagawa, menciptakan masalah ekonomi yang signifikan. Meski mampu menahan perdagangan opium, gelombang besar permintaan sutra membuat harganya naik tiga kali lipat.
Sementara serbuan barang impor murah, seperti kapas, mendorong produsen Jepang keluar dari pasar. Memperluas pasokan uang yang dilakukan menciptakan inflasi, menimbulkan kemarahan rakyat terhadap rezim Tokugawa.
Namun, konsekuensi politik dari perjanjian yang tidak setara jauh lebih parah daripada konsekuensi ekonominya. Kegagalan Keshogunan Tokugawa untuk melindungi Jepang dari gangguan asing telah merusak legitimasinya sebagai pelindung Jepang, seperti juga tanggapannya dalam menghadapi krisis luar negeri.
Dalam berurusan dengan Komodor Perry, Keshogunan Tokugawa atau Edo bakufu telah melakukan hal yang tidak terpikirkan. Ia berkonsultasi dengan daimyo atau pimpinan daerah di bawahannya. Hal ini memperlihatkan kelemahannya yang menyebabkan banyak aktor politik penting mendorong jatuhnya pemerintahannya.
Dipengaruhi oleh kepercayaan anti-asing dan diperkuat oleh pejabat pengadilan dan daimyo anti-asing, Kaisar menolak memberikan restu atas perjanjian itu. Dengan ancaman Inggris dan Prancis yang mencari persyaratan yang lebih baik dengan paksa, Tokugawa ditekan untuk menandatangani Perjanjian Harris.
Di Choshu, sisa-sisa loyalis Tokugawa menjadi perantara aliansi dengan saingan lamanya, Keshogunan Satsuma Han. Mereka menderita akibat penembakan oleh Inggris di Kagoshima pada 1863 dengan memanfaatkan kekuatan feodal Sat-Cho mempersenjatai diri dengan teknologi dan taktik Barat. Sementara reformasi terus dihalangi oleh kepentingan konservatif.
Merasakan dan tidak dapat mengabaikan kebangkitan loyalitas pesaing di Choshu, ekspedisi kedua diluncurkan oleh Keshogunan pada Juni 1866. Namun, upaya ini menjadi kesalahan besar dan mempercepat kehancuran pemerintahan Tokugawa.
Dengan hanya empat ribu orang, pemberontak Choshu melawan pasukan yang jauh lebih besar yang dikerahkan oleh Edo Bakufu. Pasukan Keshogunan terlihat seperti koalisi tentara feodal yang tidak terorganisir dengan baik dan bersenjata buruk.
Dengan mundurnya pasukan Edo bakufu dari Choshu, penurunan kekuatan Tokugawa dapat dilihat jelas semua orang. Program modernisasi tentara didorong, tetapi hal itu sangat terlambat. Pada Desember, pasukan Koalisi Sat-Cho berbaris di Kyoto, mengambil alih Istana Kekaisaran.
Pengambilalihan itu membuat kekuasaan Keshogunan Tokugawa runtuh dengan mundurnya Tokugawa Yoshinobu, sebagai shogun kala itu. Ia secara efektif menyerahkan kembali kekuatan klan Tokugawa kepada Kaisar Meiji.
Dalam beberapa bulan, benteng terakhir kekuatan dan prestise Tokugawa yaitu Kastil Edo, jatuh ke tangan pasukan koalisi Satsuma dan Choshu.
Berakhirnya pemerintahan Tokugawa menjadi babak baru bagi kehidupan masyarakat di Jepang. Meiji-ishin atau Restorasi Meiji atau Pembaharuan Meiji yang puncaknya penyerahan kekuasaan Keshogunan Tokugawa kepada Kaisar Meiji pada 1868.
Pembaruan ini membuahkan perubahan pada institusi politik, reformasi ekonomi dan militer dan perubahan sosial, menempatkan bangsa di jalan menuju modernitas. hay/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top