Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Dia yang Membantu Pengibaran Merah Putih Pertama di Surabaya

Foto : Koran Jakarta/Selocahyo

Saksi Hidup - Moekari (93 tahun) adalah satu-satunya orang dari sekitar 200 anggota Tokubetsu Keisatsu Tai yang masih hidup. Moekari menjadi saksi hidup pengibaran Merah Putih pertama di Surabaya.

A   A   A   Pengaturan Font

Moekari menuturkan, pada 18 Agustus 1945 diadakan rapat besar di markas Tokubetsu Keisatsu Tai, dan terjadi perdebatan sengit antara M Jasin yang kala itu menjabat pembantu instruktur dan sejumlah petinggi Jepang. "Saya sempat tanya ke Pak Jasin 'kenapa semua siswa PETA, Heiho, dan Keigun Butai bisa pulang, tapi kita tidak boleh cuti?' Jawabnya singkat kita akan perang, kamu takut mati? Saya jawab 'tidak takut Pak'. Bagus sambut Pak Jasin. Dalam hati, wah perang tenan iki, tapi jarno wong mati urusane Gusti Allah," kata Moekari. Selanjutnya, seluruh anggota Tokubetsu Keisatsu Tai diperintahkan menyiapkan persenjataan dan amunisi untuk menghadapi kemungkinan terburuk.

Saat itu, walau telah merdeka, Indonesia tidak memiliki apa-apa, pamong praja (pemerintahan) tidak punya pemimpin karena Nippon sudah kalah, negara belum memiliki tentara untuk menghadapi ancaman. Tanggal 19 Agustus 1945, Jasin memerintahkan pengibaran Bendera Merah Putih untuk pertama kali di Surabaya dan Moekari diminta untuk mempersiapkannya. "Karena bingung, saya tanya, yang dikibarkan merah putih bulat atau yang panjang Pak? Dijawab tegas, merah putih panjang. Saat itulah pertama kali Merah Putih berkibar, kami merasa terharu sekaligus bangga. Namun, pimpinan Jepang yang lihat langsung marah dan menampar teman saya yang bertugas mengibarkan.

Tindakan itu justru mengobarkan semangat kami. Dengan sigap, kita semua langsung mengelilingi tiang bendera dan memasang kawat berduri sehingga Nippon tidak jadi mendekat," terangnya. Moekari yang telah ditinggal pergi sang istri, Soekarti, pada 2012 lalu tersebut, mengaku ikhlas hidup sederhana dalam zaman yang telah maju seperti sekarang. Dia berharap, generasi sekarang memahami bahwa kemerdekaan Indonesia bukanlah hadiah dari pihak mana pun.

Malangnya, pria yang harus berjalan dengan bantuan tongkat penyangga karena kehilangan kaki kiri dalam sebuah pertempuran di Madiun itu tidak menerima tunjangan cacat. Pria yang tinggal ditemani seorang anak perempuannya itu hanya hidup dengan jatah uang pensiun polisi dan tunjangan veteran. Dia mengaku pihak kepolisian Jepang pernah berkunjung dan terkejut saat melihat kondisi perekonomiannya yang pas-pasan. Sempat ditawari untuk ikut ke Jepang, tapi dia menolak. selocahyo/N-3


Redaktur : Marcellus Widiarto

Komentar

Komentar
()

Top