Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Dia yang Membantu Pengibaran Merah Putih Pertama di Surabaya

Foto : Koran Jakarta/Selocahyo

Saksi Hidup - Moekari (93 tahun) adalah satu-satunya orang dari sekitar 200 anggota Tokubetsu Keisatsu Tai yang masih hidup. Moekari menjadi saksi hidup pengibaran Merah Putih pertama di Surabaya.

A   A   A   Pengaturan Font

Cerita perjalanan kemerdekaan Indonesia penuh dengan darah dan air mata, harta, serta nyawa. Meski sejarah masa lalu tak mungkin terulang, generasi sekarang sebagai penerus wajib mengetahui dan menghormati pengorbanan para pendahulu.

Pertempuran di Surabaya yang menjadi mercusuar gerakan perlawanan bagi daerah- daerah lain dalam mempertahankan kemerdekaan, tak bisa dilepaskan dari peran pasukan berani mati bentukan Jepang, Tokubetsu Keisatsu Tai, yang kemudian disebut Pasukan Polisi Istimewa (kini Brigade Mobil/Brimob). Pihak Jepang sengaja merancang Tokubetsu Keisatsu Tai untuk menghadapi pasukan sekutu yang akan datang. Di bawah komando Muhammad Jasin, Tokubetsu Keisatsu Tai adalah satu-satunya pasukan Indonesia yang saat itu diakui keberadaannya oleh dunia dan turut berjuang dalam pertempuran 10 November 1945.

Pasukan ini berperan melucuti senjata tentara Jepang, yang kemudian digunakan untuk mempertahankan kemerdekaan yang akan dirongrong oleh Belanda dan sekutunya. Moekari (93 tahun) adalah satu-satunya orang dari sekitar 200 anggota Tokubetsu Keisatsu Tai yang masih hidup. Pria yang menderita cacat pada kaki ini mewarisi ilmu militer Jepang, dalam pendidikan keras yang dijalani di pusat pelatihan di Jalan Coen Boulevard (sekarang Jalan Polisi Istimewa) pada tahun 1944. "Waktu itu saya masih bekerja sebagi mandor di galangan kapal Nomura, perusahaan milik Jepang di Gresik. Saat membaca pengumuman dibuka pendaftaran pasukan khusus kepolisian, saya langsung tertarik," ujar Moekari saat ditemui di Asrama Brimob, Jalan Gresik, Surabaya, baru-baru ini.

Pasukan Berani Mati Pria asal Desa Beru, Kecamatan Wlingi, Kabupaten Blitar, ini mengatakan meski pihak Jepang menyebut tugas utama nanti sebagai pasukan berani mati, namun itu tidak terlalu menakutkan. Dari pengalaman saat pasukan negara matahari terbit itu masuk Indonesia, Jepang tidak melakukan penyerangan terhadap polisi Belanda yang beranggotakan warga pribumi. "Saat Jepang datang, tentara dan polisi Belanda asli ketakutan, seragamnya dilepas dan langsung melarikan diri. Namun, anggota polisi Belanda yang asli orang kita dibiarkan oleh Jepang. Kami yang menjalani pendidikan Tokubetsu Keisatsu Tai juga tenang-tenang saja karena waktu itu tidak ada ancaman, tidak mengira akan dimanfaatkan melawan sekutu," tuturnya.

Dia mengisahkan seusai menjalani seleksi terpilih 200 orang dari 500 peminat yang mendaftar. Setelah menjalani pendidikan selama satu tahun, para lulusan baru itu masih harus melanjutkan Sinto Kioreng atau pendidikan militer Setelah Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada 15 Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu yang berlanjut dua hari kemudian dengan Proklamasi Kemerdekaan oleh Soekarno- Hatta. Namun, keterbatasan sarana komunikasi dan sosialisasi membuat banyak warga Indonesia yang belum mengetahui perkembangan itu, termasuk Moekari dan rekanrekannya satu pasukan. Akibatnya, hingga tanggal 18 Agustus 1945, belum ada masyarakat atau instansi yang berani secara terang-terangan mengibarkan Sang Saka Merah Putih. "Saya saja tahu dari radio hanya ucapan bagian terakhir Soekarno-Hatta yang terdengar jelas, maklum radio zaman itu," kenangnya.

Moekari menuturkan, pada 18 Agustus 1945 diadakan rapat besar di markas Tokubetsu Keisatsu Tai, dan terjadi perdebatan sengit antara M Jasin yang kala itu menjabat pembantu instruktur dan sejumlah petinggi Jepang. "Saya sempat tanya ke Pak Jasin 'kenapa semua siswa PETA, Heiho, dan Keigun Butai bisa pulang, tapi kita tidak boleh cuti?' Jawabnya singkat kita akan perang, kamu takut mati? Saya jawab 'tidak takut Pak'. Bagus sambut Pak Jasin. Dalam hati, wah perang tenan iki, tapi jarno wong mati urusane Gusti Allah," kata Moekari. Selanjutnya, seluruh anggota Tokubetsu Keisatsu Tai diperintahkan menyiapkan persenjataan dan amunisi untuk menghadapi kemungkinan terburuk.

Saat itu, walau telah merdeka, Indonesia tidak memiliki apa-apa, pamong praja (pemerintahan) tidak punya pemimpin karena Nippon sudah kalah, negara belum memiliki tentara untuk menghadapi ancaman. Tanggal 19 Agustus 1945, Jasin memerintahkan pengibaran Bendera Merah Putih untuk pertama kali di Surabaya dan Moekari diminta untuk mempersiapkannya. "Karena bingung, saya tanya, yang dikibarkan merah putih bulat atau yang panjang Pak? Dijawab tegas, merah putih panjang. Saat itulah pertama kali Merah Putih berkibar, kami merasa terharu sekaligus bangga. Namun, pimpinan Jepang yang lihat langsung marah dan menampar teman saya yang bertugas mengibarkan.

Tindakan itu justru mengobarkan semangat kami. Dengan sigap, kita semua langsung mengelilingi tiang bendera dan memasang kawat berduri sehingga Nippon tidak jadi mendekat," terangnya. Moekari yang telah ditinggal pergi sang istri, Soekarti, pada 2012 lalu tersebut, mengaku ikhlas hidup sederhana dalam zaman yang telah maju seperti sekarang. Dia berharap, generasi sekarang memahami bahwa kemerdekaan Indonesia bukanlah hadiah dari pihak mana pun.

Malangnya, pria yang harus berjalan dengan bantuan tongkat penyangga karena kehilangan kaki kiri dalam sebuah pertempuran di Madiun itu tidak menerima tunjangan cacat. Pria yang tinggal ditemani seorang anak perempuannya itu hanya hidup dengan jatah uang pensiun polisi dan tunjangan veteran. Dia mengaku pihak kepolisian Jepang pernah berkunjung dan terkejut saat melihat kondisi perekonomiannya yang pas-pasan. Sempat ditawari untuk ikut ke Jepang, tapi dia menolak. selocahyo/N-3


Redaktur : Marcellus Widiarto

Komentar

Komentar
()

Top