Imam Salehudin, Universitas Indonesia; Kanti Pertiwi, Universitas Indonesia, dan Nur Dhani Hendranastiti, Universitas Indonesia
Dahulu, sebuah televisi bisa berumur belasan hingga puluhan tahun. Namun, sekarang bisa menggunakan sebuah televisi yang dilengkapi fungsi canggih hingga lima tahun sudah cukup bagus.
Begitu juga produk fashion/fesyen. Mungkin banyak di antara kita yang masih mendapati pakaian-pakaian orang tua kita masih layak pakai hingga saat ini.
Tren industri yang menghasilkan barang produksi yang lebih singkat, membuat produk cepat usang dan tidak tahan lama dikenal dengan istilah planned obsolescence. Hal tersebut beriringan dengan gaya hidup konsumtif yang didorong oleh iklan dan tren barang baru, meninggikan tumpukan sampah dan memperparah beban lingkungan. Lebih dari itu, pola konsumsi ini menambah ketergantungan kita pada produksi yang sering kali tidak berkelanjutan.
Hingga akhirnya lahir seruan antitesis bernama degrowth yang mempertimbangkan bahwa kesejahteraan sejati tidak memerlukan peningkatan konsumsi berlebih bahkan hingga merusak lingkungan. Istilah degrowth muncul pada tahun 1972.
Pertumbuhan ekonomi diukur menggunakan Produk Domestik Bruto (PDB), yang menghitung nilai produk barang dan jasa yang dihasilkan di dalam perekonomian suatu negara pada periode tertentu. Dorongan pertumbuhan ekonomi dan konsumsi tinggi pada masyarakat modern saat ini dikenal dengan slogan more consumption, more happiness.
Hal ini kemudian menciptakan konsumsi yang berlebihan pada beberapa negara. Namun, terdapat konsumsi yang tidak tercukupi pada belahan dunia yang lain atau bahkan ketimpangan di dalam satu negara.
Karena bertujuan mencapai pertumbuhan ekonomi dan konsumsi tinggi, tren ini mengorbankan kesejahteraan alam, manusia, dan masyarakat dikarenakan konsumsi sumber daya yang berlebihan. Oleh karena itu, degrowth berargumen bahwa pertumbuhan ekonomi harus lebih dalam penetrasinya atau inklusif dengan memasukkan kesejahteraan manusia dan lingkungan sebagai komponen penting kalkulasinya.
SDG 12: Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab
Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak 2015 sudah menyadari bahaya industrialisasi modern dengan meluncurkan Sustainable Development Goals (SDGs).
Salah satu poin utama SDG 12 adalah tentang “Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab” dengan fokus pada pengurangan jejak ekologis melalui pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan dan meminimalkan limbah.
Kami menilai SDG 12 sangat selaras dengan konsep degrowth yang mendukung pengurangan konsumsi serta restrukturisasi ekonomi untuk memprioritaskan kesejahteraan manusia dan lingkungan daripada mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa batas.
Alih-alih memaksimalkan output, pendekatan degrowth ini mendorong pola produksi dan konsumsi yang etis dan berkelanjutan guna mengurangi beban sumber daya dan menekan limbah.
Untuk menerapkan prinsip SDG 12 dan konsep degrowth, penting untuk memahami bagaimana konsumsi berlebihan yang berdampak negatif pada lingkungan dan kesehatan masyarakat. Di Indonesia, kami ingin mengangkat dua contoh nyata kasus konsumsi berlebih dan bagaimana implementasi degrowth dapat bermanfaat.
Kedua kasus ini menunjukkan perlunya kebijakan dan edukasi yang mendorong konsumen untuk memilih pola konsumsi yang lebih bertanggung jawab dan berkelanjutan, sejalan dengan upaya degrowth untuk mengurangi dampak negatif dari konsumsi yang berlebihan.
Kasus 1: Minuman Berpemanis Dalam Kemasan
Riski (18 tahun), di umurnya yang masih tergolong belia harus mengalami gagal ginjal. Penyakit itu muncul akibat pola makan buruk seperti kebiasaan mengonsumsi teh dan kopi kemasan yang tinggi gula. Salah satu teh kemasan yang beredar luas di masyarakat mengandung hingga 42 gram gula per botol, melebihi batas konsumsi harian yang direkomendasikan oleh tenaga kesehatan.
Kasus Riski menekankan perlunya kesadaran akan bahaya konsumsi gula berlebih di kalangan remaja di Indonesia. Tidak hanya gagal ginjal, konsumsi berlebihan minuman berpemanis kemasan juga berisiko terhadap obesitas, diabetes tipe 2, hipertensi, serta penyakit jantung di Indonesia.
Akses yang mudah dan murah jadi penyebab tingginya penyebaran risiko-risiko tersebut kepada anak-anak dan remaja. Kondisi ini diperparah dengan rendahnya literasi tentang bahaya konsumsi gula yang tinggi.
Selain risiko kesehatan, produksi kemasan plastik minuman manis juga berdampak negatif bagi lingkungan, menyumbang jejak karbon besar dan mencemari ekosistem laut.
Menekan konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan tidak hanya mengurangi dampak kesehatan dan limbah plastik, tapi juga membuka peluang yang lebih besar dalam penggunaan tebu sebagai bahan baku bioetanol. Bioetanol merupakan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan ketimbang bahan bakar fosil.
Pemerintah sedang mempertimbangkan penerapan cukai 20% pada produk ini, yang diprediksi mampu menurunkan konsumsi minuman berpemanis hingga 17,5%.
Meski begitu, kebijakan cukai ini masih memicu polemik terkait efektivitasnya dalam mengurangi konsumsi.
Kasus 2: Fast-fashion
Fesyen cepat menjadi fenomena global sejak awal 2000an tidak terlepas dari perkembangan teknologi dan ongkos produksi yang kian murah. Industri fesyen dunia selama setidaknya dua dekade terakhir tersebut terus mendapat sorotan karena praktik yang tidak ramah lingkungan dan eksploitatif terhadap buruh. Sorotan tertuju pada brand-brand global yang memiliki rantai pasok di negara-negara dunia Selatan seperti Vietnam, India, Indonesia, dan Bangladesh.
Di balik janji manis menuju keberlanjutan, industri fesyen global masih terlibat dalam deforestasi dalam memproduksi produk-produknya.
Pekerja fesyen di Indonesia tercatat menjadi korban praktik tidak adil dari perusahaan-perusahaan global.
Lalu bagaimana dengan industri fesyen yang dimiliki dan dijalankan oleh anak negeri sendiri? Kajian mengenai fesyen berkelanjutan di Indonesia terus berkembang dari tahun ke tahun.
Beberapa studi menunjukkan bahwa Indonesia setidaknya juga punya dua masalah besar yaitu fesyen cepat dan praktik perburuhan yang cenderung eksploitatif.
Sudah ada inisiatif komunitas untuk memperkenalkan praktik-praktik seperti pasar barang seken. Namun, ini tentunya tidak dapat dijadikan sandaran untuk menanggulangi dampak dari konsumsi fesyen yang sangat tinggi secara nasional.
Sementara itu, untuk isu buruh, khususnya perlindungan untuk pekerja fesyen, kini mulai bermunculan berbagai merek fesyen lokal yang menjanjikan praktik perburuhan yang berkelanjutan.
Persoalan ini tentu membutuhkan keseriusan banyak pihak termasuk institusi pendidikan. Sekolah bisnis, misalnya, berperan untuk tidak lagi menormalisasi gagasan tentang pertumbuhan tanpa batas dengan, misalnya, mengajarkan mahasiswa bagaimana mendominasi pasar dan mengeksploitasi hasrat manusia.
Kesimpulan dan Saran
Prinsip Less is more (sedikit itu lebih baik) dalam degrowth menekankan bahwa mengurangi konsumsi berlebihan berkontribusi positif bagi kesejahteraan manusia dan kesehatan lingkungan. Dalam kasus minuman berpemanis dalam kemasan dan fast fashion, perilaku konsumsi yang tidak terkontrol menyebabkan berbagai masalah kesehatan dan lingkungan.
Konsumsi gula yang tinggi, misalnya, meningkatkan risiko penyakit kronis seperti diabetes, sedangkan fast fashion menghasilkan limbah tekstil yang merusak ekosistem. Dengan mengurangi konsumsi produk yang berlebihan dan memilih yang lebih sehat serta ramah lingkungan, kita bisa memperbaiki keseimbangan hidup.
Bagi konsumen, adopsi konsumsi bertanggung jawab dapat dilakukan dengan memperhatikan produk yang dibeli serta mengurangi ketergantungan pada produk yang berpotensi merugikan.
Menghindari minuman manis dan beralih pada minuman sehat serta membeli pakaian yang berkualitas tinggi, tahan lama, dan diproduksi secara etis adalah beberapa langkah yang bisa kita ambil.
Pilihan ini tidak hanya meningkatkan kualitas hidup tetapi juga membantu menekan dampak negatif pada lingkungan.
Pemerintah juga dapat mendukung konsumsi berkelanjutan melalui kebijakan cukai gula untuk minuman berpemanis serta regulasi terhadap produksi fesyen cepat. Selain itu, pelabelan dampak kesehatan dan lingkungan pada produk akan membentuk kesadaran masyarakat akan pentingnya mengurangi konsumsi yang tidak perlu.
Kebijakan-kebijakan ini tidak hanya menurunkan risiko kesehatan masyarakat dan dampak lingkungan, tetapi juga membantu membangun budaya konsumsi yang lebih bertanggung jawab untuk masa depan yang berkelanjutan.
Membangun kualitas kehidupan—mencakup aspek kesehatan, lingkungan, dan kesejahteraan sosial—menciptakan dampak jangka panjang yang lebih berarti daripada sekadar mengejar pertumbuhan ekonomi.
Pembangunan berbasis kualitas memungkinkan kesejahteraan berkelanjutan, yang lebih harmonis dengan kapasitas alam untuk regenerasi di masa depan dibanding pertumbuhan berbasis kuantitas.
Imam Salehudin, Assistant professor, Universitas Indonesia; Kanti Pertiwi, Assistant Professor in Organisation Studies, Universitas Indonesia, dan Nur Dhani Hendranastiti, Lecturer and Researcher, Universitas Indonesia
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.