Dari Satu Pengemplang BLBI Saja, Kerugian Negara Pada 2043 Mencapai Rp350 Triliun
SUROSO I ZADJULI Guru Besar Ekonomi Universitas Airlangga Surabaya - Mengapa negara bisa yang membayar bunganya? Padahal mereka yang berutang. Itu keputusan yang salah.
Foto: ISTIMEWA» Penggarong duit negara itu sudah beraksi sejak zaman Orde Baru dan hingga saat ini masih terus beraksi.
» Pemerintah harus hentikan kebijakan masa lalu yang keliru dan terbukti terusmenerus merugikan negara.
JAKARTA - Desakan kepada pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan penempatan obligasi rekapitalisasi perbankan untuk menyehatkan permodalan mereka karena kredit macet pada krisis moneter 1998 lalu semakin menguat. Kuatnya desakan untuk menghentikan pembayaran bunga obligasi tersebut karena benar-benar memeras Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Apalagi, salah satu penerima obligasi rekap adalah bank swasta yang pemegang sahamnya malah belum membayar lunas utang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), tetapi sudah mengantongi Surat Keterangan Lunas (SKL) yang kontroversial.
Tidak tanggung-tanggung, obligor penikmat bunga obligasi rekap itu jika dikalkulasi menerima obligasi rekap dengan bunga tetap (fixed rate) 11,375 persen, maka dalam setahun menerima pembayaran bunga obligasi dari negara sebesar 7,8 triliun rupiah.
Sesuai dengan ketetapan di masa lalu itu, maka penerima obligasi rekap akan mendapat pembayaran bunga obligasi dari negara hingga tahun 2043 mendatang atau selama 45 tahun. Kalau per tahun menerima 7,8 triliun rupiah, maka hingga 2043 mendatang dia mengeruk keuangan negara sebesar 351 triliun rupiah. Dasar perhitungan tersebut baru menggunakan straight line. Kalau dengan bunga majemuk maka kerugian negara jauh lebih besar.
Guru Besar Ekonomi dari Universitas Airlangga Surabaya, Suroso Imam Zadjuli, sebelumnya mengatakan pemerintah harus meninjau ulang keputusan di masa lalu yang menempatkan obligasi rekap di beberapa bank dan membayar bunganya hingga tahun 2043.
"Mengapa negara bisa yang membayar bunganya? Padahal mereka yang berutang. Itu keputusan yang salah, suasana masa lalu jangan dipakai di masa kini. Pemerintah harus tegas menghentikan kebijakan masa lalu itu. Jangan ada praktik-praktik yang merugikan negara lagi seperti APBN digunakan seperti ini, atau mengeluarkan surat lunas padahal masih jauh dari jumlah utang sebenarnya," kata Suroso.
Apalagi ada beberapa obligor yang melakukan mark up terhadap jaminannya dan melakukan buy back asetnya dengan harga lebih murah melalui bantuan pihak lain.
Pengamat Ekonomi dari STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko, juga meminta pemerintah dan aparat penegak hukum seperti KPK agar meninjau kembali keputusan pemerintah di masa lalu.
Apalagi, kata Aditya, penggarong duit negara itu sudah beraksi sejak zaman Orde Baru dan hingga saat ini masih terus melakukan perampokan uang negara, karena pemerintah tidak berani menghentikannya.
Sementara itu, Presiden sudah menyatakan niatnya memindahkan Ibu kota Negara ke Penajam, Kalimantan Timur, namun tidak memiliki dana yang cukup dari APBN sehingga mengundang partisipasi investor.
"Pemerintah mau bangun Ibu Kota tidak punya uang, tetapi ada uang buat bayar perampok BLBI. Ini tindakan yang tidak logis, bahkan tidak waras," katanya.
Korbankan Rakyat
Sementara itu, Ekonom Konstitusi, Defyan Cori, mengatakan konsekuensi dari kesalahan kebijakan BLBI dan pemberian SKL tentu berdampak pada stabilitas keuangan negara. Banyak pembangunan negara tidak berjalan karena tidak punya biaya, gara-gara membiarkan satu orang perampok yang mengorbankan 270 juta rakyat.
Dia mengusulkan untuk melakukan penyelesaian nilai ekonomi dari jumlah yang telah dikeluarkan oleh negara harus diputuskan secara kolektif bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sebab, kebijakan pemberian BLBI dan SKL-nya merupakan tindak lanjut dari Ketetapan MPR Nomor VI/ MPR/2002 tentang Rekomendasi yang berkaitan dengan perjanjian PKPS yang berbentuk Master of Settlement Agreement and Acquisition (MSAA), Master of Refinancing and Not Issuance Agreement (MRNIA), yang mana secara teknis manajemen atau pengelolaan atas kebijakan itu berada pada Presiden saat itu.
"Oleh karena itu, pertanggungjawaban atas kesalahan pemberian SKL BLBI harus proporsional dibebankan pada pengambil kebijakan BLBI, yaitu jajaran Bank Indonesia, Kementerian Keuangan di masa pemerintahan Orde Baru," katanya.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), katanya, harus mampu melakukan tindakan pro justitia pada siapa pun pejabat di tingkat teknis yang melakukan kongkalikong dengan para konglomerat atau korporasi besar yang memperoleh BLBI dan sekaligus juga diberikan SKL.
Beban rakyat yang selama ini menanggung biaya pokok dan bunga juga harus dikompensasi secara proposional, sekaligus mengembalikannya dalam bentuk tunai ke kas negara.
Redaktur: Vitto Budi
Penulis: Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Ini Solusi Ampuh untuk Atasi Kulit Gatal Eksim yang Sering Kambuh
- 2 Kenakan Tarif Impor untuk Menutup Defisit Anggaran
- 3 Penyakit Kulit Kambuh Terus? Mungkin Delapan Makanan Ini Penyebabnya
- 4 Perkuat Implementasi ESG, Bank BJB Dorong Pertumbuhan Bisnis Berkelanjutan
- 5 Jangan Masukkan Mi Instan dalam Program Makan Siang Gratis