Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Emisi Karbon - Subsidi Energi dalam APBN 2022 Mencapai Rp134 Triliun

Dana Sisa Reformasi Subsidi Energi untuk Atasi Perubahan Iklim

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA- Kebutuhan dana untuk mengurangi emisi karbon sebesar 3.460 triliun rupiah atau sekitar 266 triliun rupiah per tahun hingga 2030 dinilai bisa lebih ringan kalau Pemerintah serius membangun dan memanfaatkan potensi Energi Baru Terbarukan (EBT) sebagai sumber energi utama.

Sebab, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahun rata-rata subsidi energi yang dianggarkan mencapai 130 triliun rupiah lebih. Dengan lonjakan harga minyak global, maka subsidi tahun ini bisa melonjak dari yang ditargetkan hanya sebesar 134 triliun rupiah.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu mengatakan anggaran yang tersisa dari reformasi subsidi energi akan digunakan untuk mengatasi perubahan iklim.

Menurut Febrio, setelah mereformasi subsidi energi pada 2015 lalu, anggaran subsidi energi menurun hingga 65 persen dari tahun sebelumnya. "Tentunya, penambahan ruang fiskal akan dapat digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan mitigasi perubahan iklim," kata Febrio.

Tambahan ruang fiskal itu nantinya akan melengkapi anggaran untuk mengatasi perubahan iklim lain, seperti dari insentif perpajakan, green sukuk, serta creative and blended financing. "Ini semua mengkombinasikan pendanaan APBN dan APBD yang sudah ada, serta pembiayaan internasional," kata Febrio.

Apalagi, Pemerintah saat ini telah memiliki peraturan presiden tentang nilai ekonomi karbon dan pasar karbon yang sedang difinalisasi aturan turunannya. Pemerintah juga akan mempercepat akhir masa operasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara Indonesia untuk mencapai emisi karbon nol pada 2060 atau lebih lebih cepat.

Reformasi kebijakan subsidi energi tambahnya akan dilanjutkan secara bertahap ke depan, beserta dan berbagai kebijakan dekarbonisasi, dengan harapan dapat meningkatkan kesinambungan lingkungan serta mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih berkelanjutan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan Indonesia membutuhkan dana sekitar 3.460 triliun rupiah atau sekitar 266 triliun rupiah per tahun hingga 2030 dalam rangka mengurangi emisi karbon.

Menkeu mengatakan isu mengenai transisi energi atau agenda perubahan iklim di Indonesia ini menjadi prioritas tertinggi dan telah diterjemahkan ke dalam program kebijakan.

Dia mengaku kebijakan fiskal hanya akan mampu memenuhi 34 persen dari total kebutuhan pembiayaan yang mencapai 3.460 triliun rupiah. Untuk mengurangi emisi karbon di sektor kehutanan, pemerintah membutuhkan 6,5 miliar dollar AS sedangkan di sektor energi mencapai 250 miliar dollar AS.

Oleh sebab itu, Indonesia membutuhkan kebijakan yang dapat mengundang sektor swasta dan badan usaha milik negara (BUMN) untuk berpartisipasi memenuhi kebutuhan anggaran itu. "Saya pikir menempatkan kebijakan yang tepat sangat penting. Jadi perbaiki kebijakannya," kata Menkeu.

Perubahan Iklim

Pengamat Energi, Mamit Setiawan mengatakan agar ruang fiskal ke depan lebih leluasa, maka Pemerintah harus memprioritaskan program yang terkait perubahan iklim. "Kita negara yang mempunyai potensi EBT sangat luar biasa bahkan untuk tenaga surya mencapai 3295 GW, tapi sudah ada suara pejabat Pemerintah yang ingin mengimpor listrik EBT dari Australia," kata Mamit.

Menurut Mamit, Pemerintah harus fokus mengembangkan potesi EBT yang dimiliki. Kalau potensi itu dikembangkan, tidak semuanya akan digunakan memenuhi kebutuhan listrik di Indonesia. "Tinggal kita fokus mengembangkan teknologi penyimpanan sehingga sifat listrik dari EBT tidak bersifat intermittent lagi," jelas Mamit.

Secara terpisah, pakar ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya), Bambang Budiarto mengatakan tidak dapat dipungkiri muara dari keseluruhan transisi energi berkeadilan ini memang tujuannya pengurangan emisi karbon.

Sebelumnya, Pakar Ekonomi dari Universitas Katolik (Unika) Atmajaya Jakarta, Yohanes B. Suhartoko mengatakan beban APBN saat ini tidak terlepas dari keterlambatan pemerintah melakukan diversifikasi ke EBT.

Akibat terlalu lama bergantung pada impor BBM, maka beban subsidi di APBN kian membengkak. Begitu juga dengan beberapa komoditas pangan yang harus diimpor, padahal dalam negeri bisa memenuhi kalau produktivitas dipacu.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top