Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Dampak Perang Dagang

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Amerika Serikat (AS) per 6 Juli 2018 telah menerapkan tarif impor produk-produk asal Tiongkok bernilai 34 miliar dollar AS, lalu ditambah lagi 16 miliar dollar AS pada Kamis pekan ini. Bahkan, Presiden AS Donald Trump akan menambah lagi hingga 500 miliar dollar AS jika Tiongkok melawan dengan memberlakukan tarif balasan.

Kebijakan AS tersebut bukan saja membuat Tiongkok bereaksi, namun hampir semua negara memasang kuda-kuda pertahanan. Sebab, AS bukan saja menerapkan tarif impor kepada Tiongkok, tapi juga ke negera-negara Eropa, Kanada, dan Meksiko. Bahkan, AS dikabarkan akan mencabut daftar ekspor Indonesia sebagai penerima Sistem Preferensi Umum atau Generalized System of Preference (GSP).

Sejumlah kalangan telah memperingatkan perang dagang akan membuat perekonomian global menyusut. Selain itu, bea impor barang lebih tinggi menjadi masalah yang bahkan lebih besar di lingkungan perekonomian saat ini, saat harga minyak naik.

Lebih dari itu, kenaikan bea produk-produk impor akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi global tertekan, sehingga upaya menstabilkan perekonomian global dan menjaga pertumbuhan berkualitas terganggu. Kondisi ini akan membuat beberapa negara berkembang terancam krisis dan negara-negara miskin kehilangan kesempatan mendapatkan bantuan.

Para ekonom memperkirakan setiap tarif impor 100 miliar dollar AS akan mengambil sekitar 0,5 persen dari perdagangan global. Kebijakan tarif AS telah menggerus pertumbuhan ekonomi Tiongkok tahun 2018 sebesar 0,1-0,3 persen, dan sedikit lebih rendah pada pertumbuhan AS.

Akibat kedua negara tersebut setidaknya bisa berdampak ke pertumbuhan ekonomi dunia hingga 0,8 persen. Sementara itu, target International Monetary Fund (IMF) sendiri sebesar 3,9 persen pada pertumbuhan ekonomi dunia. Kemungkinan besar dengan perang dagang ini akan ada retaliasi (tindakan balasan) dan lain lain. Artinya maksimal pertumbuhannya bisa sampai 3,1 persen.

Dikhawatirkan lagi, kebijakan AS berbalik arah, membuat perusahaan-perusahaan AS kesulitan mendapatkan bahan baku dan kehilangan pasar. Jika ini terjadi, AS akan resesi lebih berat dari sebelumnya.

Indonesia mau tak mau akan terkena dampak perang dagang. Untuk itu, pemerintah didesak untuk memperkuat penetrasi ke mitra dagang tradisional di tengah meningkatnya ancaman perang dagang antara AS dan Tiongkok.

Penetrasi tersebut dapat dengan meningkatkan negosiasi kerja sama dagang pasar tradisional seperti Uni Eropa dan Asia Tenggara. Indonesia cukup tertinggal dari negara lain dalam memanfaatkan pasar tradisionalnya. Dengan kata lain, selama ini Indonesia kurang gencar meningkatkan ekspor Malaysia dan Vietnam sangat telaten mengembangkan pasar ekspor.

Asal tahu saja, perang dagang membuat permintaan ekspor industri asal Indonesia melambat karena AS dan Tiongkok berkontribusi sekitar 25 persen dari total ekspor Indonesia. Sektor yang terdampak langsung mulai dari sawit, karet, tekstil, alas kaki sampai otomotif. Sementara itu, pasar Indonesia yang luas akan menjadi sasaran pengalihan impor barang Tiongkok. Banjir impor akan membuat industri dalam negeri kalah bersaing. Pertumbuhan industri diperkirakan hanya mencapai 4,3 persen atau stagnan dibandingkan 2017.

Namun, Indonesia juga jangan tinggal diam. Pemerintah perlu mulai memikirkan langkah balasan dan mendata produk-produk AS yang layak dikenai tarif serupa. Namun, konsekuensi langkah ini bisa membuat situasi memburuk. Jadi, ini dijalankan semata sebagai bargaining, sambil menyiapkan tim lobi. Bagaimanapun komunikasi perlu dilakukan. Meskipun gaya Trump sangat agresif, sesungguhnya dia seperti institusi bisnis, selalu ada ruang untuk negosiasi.

Komentar

Komentar
()

Top