Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Strategi Pembangunan - Kebergantungan pada Impor Jadi Penyakit Struktural

Dahulukan Bangun Sektor Riil dan Pertanian

Foto : Sumber: Badan Pusat Statistik – Litbang KJ/and
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Strategi pembangunan ekonomi semestinya mendulukan pengembangan industri sektor riil dan pertanian sebagai motor utama. Setelah itu, baru memacu sektor jasa maupun sektor teknologi, seperti ekonomi digital.

Ibarat kereta kuda, sektor riil dan pertanian adalah kudanya, yang mendorong kereta yakni sektor jasa dan teknologi informasi. Jadi, sektor riil yang di depan. Tidak bisa dibalik, kereta yang mendorong kuda.

Ekonom Indef, Achmad Heri Firdaus, mengatakan tanpa dukungan sektor riil dan pertanian yang kuat maka jasa dan teknologi infromasi tidak akan tumbuh pesat secara berkelanjutan.

"Sebab, pendapatan dari sektor rill dan pertanian merupakan sumber permintaan bagi sektor jasa dan teknologi informasi," katanya saat dihubungi, Jumat (1/3).

Menurutnya, jika sektor riil dan pertanian belum kuat kemudian langsung melompat ke jasa dan teknologi informasi malah menyuburkan impor karena tidak ada produksi dari dalam negeri. "Padahal kebergantungan yang tinggi pada impor, baik pangan, barang konsumsi, maupun bahan baku, merupakan penyakit struktural ekonomi yang mesti segera dibenahi," ujar Heri.

Heri mengatakan kalau kondisi seperti sekarang dibiarkan terus-menerus maka Indonesia bakal sulit keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah (middle income trap). "Kita akan terus jadi negara berkembang dan tidak tahu sampai kapan karena sektor riilnya lambat," kata dia.

Lokomotif Pertumbuhan

Beberapa indikator bahwa pertumbuhan sektor riil lambat dapat dilihat dari pertumbuhan sektor pertanian dan industri di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. Artinya, sektor yang menghasilkan tenaga kerja dalam jumlah besar ini menghasilkan output yang lebih relatif sedikit dibanding sektor jasa. "Sektor riil seharusnya menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi," tegasnya.

Sebelumnya, ekonom senior Indef, Faisal Basri, mengungkapkan ada hal penting yang terlupakan di tengah keriuhan pembicaraan soal unicorn di Indonesia. Dia menilai sebagai perusahaan teknologi, mereka tidak akan bisa bergerak tanpa ada pelaku usaha lain di sektor rill, dan ini yang dilupakan pemerintah.

"Kita bicara unicorn, tapi sektor produksi tak dibereskan. Kalau sektor produksi tidak dibereskan maka barang impor semua yang akan masuk," tegas Faisal dalam diskusi "Economic Outlook 2018", di Jakarta, Kamis (28/2).

Saat ini, Indonesia memiliki empat unicorn, yakni GO-JEK, Tokopedia, Bukalapak, dan Traveloka. Bahkan, Grab Holding sudah menyandang status decacorn atau perusahaan startup yang memiliki valuasi di atas 10 miliar dollar AS (sama dengan 140 triliun rupiah). Artinya, valuasi decacorn setara dengan 10 unicorn.

Terkait dengan bukti bahwa pemerintah lupa memberikan perhatian serius pada sektor riil, Faisal memaparkan hal itu terlihat dari melambatnya pertumbuhan penjualan industri makanan dan minuman dalam negeri. "Makanan-minuman yang biasa tumbuh 9-10 persen, tahun lalu (2018) hanya tumbuh tujuh persen," ujar dia.

Menurut Faisal, perlambatan penjualan itu disebabkan oleh membanjirnya produk impor yang sebenarnya masih produk dalam negeri juga. Akibat kesulitan membangun industri manufaktur di dalam negeri, pelaku usaha industri manufaktur Indonesia akhirnya memilih membangun pusat produksinya di luar negeri, kemudian menjualnya ke Indonesia.

"Luwak White Coffee punya orang Semarang, pabriknya di Korea. Ting-Ting punya Pak Sudhamek (pemilik GarudaFood), pabriknya di Guangzhou (Tiongkok). Kenapa? Karena makin susah orang Indonesia bikin pabrik manufaktur," tukas dia.

Bahkan, dia pun mengaku pesimistis dengan masa depan industri manufaktur nasional, karena masih maraknya impor barang konsumsi baik pangan maupun produk manufaktur lainnya. "Lama-lama saya berpikir, memang barangkali kita nggak pernah bisa beres kalau berbasis barang," kata dia.

Meski begitu, bukan berarti Indonesia tidak memiliki harapan di masa depan. Faisal justru melihat ada peluang lain bagi ekonomi Indonesia, yakni pengembangan industri kreatif berbasis jasa. "Saya lihat ada geliat yang luar biasa di sektor jasa. Penerimaan dari tenaga kerja kita itu mencapai 11 miliar dollar AS," ungkap dia.ahm/AR-2

Komentar

Komentar
()

Top