Imam Salehudin, Universitas Indonesia dan Imam Wahyudi, S.E., M.M., Universitas Indonesia
Per 1 Januari 2025, Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kementerian Keuangan menerapkan sistem pajak baru bernama Coretax. Sistem ini digadang-gadang menjadi instrumen penting bagi keuangan negara di masa depan.
Dalam kampanye Pemilihan Presiden 2024, pasangan Prabowo-Gibran menargetkan peningkatan rasio pajak dari 12% menjadi 23%. Meskipun mereka berdua tidak menyinggung Coretax saat kampanye, keberhasilan pencapaian target ini bergantung pada efektivitas sistem administrasi perpajakan seperti Coretax.
Lebih lanjut, Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan memproyeksikan bahwa penerapan Coretax dapat meningkatkan rasio pajak sebesar 2 persen dan mengurangi tax gap hingga 6,4 persen dari PDB.
Dengan memperbaiki efisiensi dan akurasi melalui sistem Coretax, Pemerintah berharap dapat mempersempit tax gap, meningkatkan pendapatan negara, dan mengoptimalkan potensi pajak hingga Rp1.500 triliun dalam lima tahun mendatang..
Tulisan ini bertujuan menjelaskan apa itu Coretax serta keluaran yang bisa dihasilkan dari sistem perpajakan yang andal. Kami juga memberikan rekomendasi tentang bagaimana menerapkan sistem pada skala nasional untuk memastikan pelayanan publik tidak terganggu.
Apa itu Coretax?
Coretax adalah pengembangan sistem administrasi layanan perpajakan lanjutan. Sistem ini merupakan bagian dari Proyek Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2018.
Implementasi Coretax diharapkan dapat memodernisasi sistem administrasi perpajakan yang sudah ada, dengan mengintegrasikan seluruh proses bisnis utama, seperti pendaftaran wajib pajak, pelaporan SPT, pembayaran pajak, hingga pemeriksaan dan penagihan.
Pemerintah memiliki harapan besar terhadap Coretax sebagai tulang punggung reformasi perpajakan di Indonesia. Sistem ini dirancang untuk meningkatkan efisiensi, transparansi, dan akurasi dalam pengelolaan administrasi perpajakan.
Dengan mengintegrasikan berbagai proses, mulai dari pendaftaran wajib pajak hingga pelaporan dan pembayaran pajak, Coretax diharapkan dapat mempermudah wajib pajak dalam memenuhi kewajiban mereka sekaligus meningkatkan kepatuhan pajak.
Selain itu, pemerintah melihat Coretax sebagai alat strategis untuk memperluas basis pajak melalui pengelolaan data yang lebih baik, memungkinkan identifikasi potensi pajak yang selama ini belum tergarap.
Melalui coretax, masyarakat memiliki akun pribadi melalui Taxpayer Portal (TP Portal). Ini memungkinkan masyarakat mengakses data lebih aman dan rahasia menggunakan teknologi pemindaian biometrik wajah dan tanda tangan digital.
Semua data perpajakan, mulai dari pelaporan SPT, surat dari kantor pajak, hingga informasi pembayaran, tersaji dalam satu portal terpadu. ini tentunya membutuhkan persiapan yang matang dan terukur, khususnya di dalam pembangunan infrastruktur teknologi informasi (TI).
Dalam jangka panjang, pelaksanaan Coretax diharapkan dapat mendukung pencapaian target penerimaan negara, memperkuat kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan, dan menjadi pondasi utama dalam transformasi digital layanan publik di bidang perpajakan.
Tradisi semrawut di awal implementasi
Setelah berjalan dua minggu (ketika tulisan ini selesai ditulis), Coretax malah menuai banyak keluhan dari masyarakat akibat fitur-fitur yang bermasalah. Akibatnya, tujuan untuk mempermudah proses administrasi dan meningkatkan kepatuhan pajak justru berpotensi berlari mundur.
Jagat media sosial dan media massa pun riuh membahas implementasi sistem pajak nasional yang terkendala. Berbagai tagar dan cuitan bermunculan, menyuarakan kekhawatiran dan kekesalan pengguna bahwa terkendalanya sistem pajak Coretax ini akan merugikan pembayar pajak akibat denda atau sanksi lain atas keterlambatan administrasi.
DJP mau tidak mau harus meminta maaf atas kekisruhan yang ditimbulkan akibat implementasi Coretax. Sebagai kompensasi, Kementerian Keuangan berjanji tidak akan mengenakan sanksi keterlambatan administrasi pajak selama masa transisi sistem coretax.
Eror pada hal yang paling penting
Ketidaksiapan sistem Coretax justru menerpa persoalan yang paling penting dalam urusan perpajakan yakni fitur sertifikat digital dan e-faktur. Gangguan pada fitur-fitur utama seperti sertifikat digital dan e-faktur menyebabkan keterlambatan pembuatan faktur pajak, pelaporan SPT, serta sinkronisasi data.
Banyak perusahaan mengalami kesulitan operasional yang dapat memengaruhi kepatuhan pajak mereka. Ketidakstabilan sistem juga meningkatkan beban kerja dan biaya administratif, memperburuk pengalaman wajib pajak.
Akibatnya, kepercayaan publik terhadap Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai penyelenggara layanan perpajakan dapat menurun. Masyarakat yang sudah tidak antusias dalam membayar pajak berisiko bertambah enggan untuk membayar.
Kesulitan ini menghambat pembuatan faktur pajak, penagihan pelanggan, dan pengelolaan administrasi penting lainnya.
Banyak pengguna melaporkan gagal login, data yang tidak terunggah otomatis, serta ketidakakuratan pada pengisian Dasar Pengenaan Pajak (DPP).
Perubahan teknis, seperti transisi ke format NPWP 16 digit, menambah kompleksitas masalah ini. Meski DJP menyediakan dukungan teknis, banyak perusahaan tetap menghadapi kesulitan operasional yang signifikan.
Masalah klasik yang berulang pada Coretax
Kendala utama dalam implementasi Coretax yang diungkapkan oleh Dirjen Pajak adalah tingginya volume akses pengguna secara bersamaan, baik dari wajib pajak maupun pemangku kepentingan lainnya. Sistem yang baru diperkenalkan ini menghadapi lonjakan aktivitas yang melampaui kapasitas awal.
Selain itu, terdapat masalah teknis terkait infrastruktur, seperti gangguan pada pengiriman token yang tidak sampai ke tujuan. Ini melibatkan keterhubungan dengan pihak vendor dan penyedia jaringan telekomunikasi.
Aspek lalu lintas kunjungan sebenarnya bukanlah hal baru bagi DJP. Tentu kita mengetahui bagaimana masyarakat berbondong-bondong mendatangi kantor pajak setiap akhir Maret untuk melaporkan SPT. Keramaian yang luar biasa juga terjadi di setiap kantor perwakilan pajak di akhir era implementasi program Pengampunan Pajak beberapa tahun lalu.
Tantangan ini semakin kompleks karena Coretax terhubung dengan sistem dari 89 entitas lain, termasuk BUMN dan kementerian, sehingga sinkronisasi menjadi krusial. Coretax juga mengintegrasikan seluruh sistem perpajakan yang ada, seperti e-Bupot, e-Filing, e-PBK dan e-Riset menjadi satu portal yang memudahkan pegawai DJP maupun Wajib Pajak.
Selain persiapan infrastruktur TI yang matang, pengujian menyeluruh dibutuhkan untuk memastikan kesiapan implementasi sistem coretax, khususnya pada pengujian kapasitas, responsivitas dan sinkronisasi data. Harapannya, Kementerian Keuangan dapat mengidentifikasi dan membenahi kendala teknis sebelum meluncurkan Coretax.
Hal krusial lainnya adalah prosedur mitigasi ketika terjadi kendala tak terduga saat peluncuran Coretax. Ini melibatkan sistem manual dan kesigapan SDM sebagai solusi sementara dan praktis.
Enam pembelajaran dari Coretax
Implementasi Coretax seharusnya dilakukan secara bertahap melalui beberapa langkah strategis pembangunan infrastruktur teknologi informasi yang solid. Tujuannya untuk menghasilkan layanan publik yang lebih efisien, transparan, cepat dan terintegrasi.
Langkah-langkah strategis tersebut, antara lain:
Pertama, memastikan integrasi sistem layanan publik memiliki masa transisi yang memadai. Menurut Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan, dibutuhkan masa transisi tiga sampai empat bulan agar implementasi Sistem Inti Administrasi Perpajakan (SIAP) atau Coretax berjalan mulus.
Luhut mengusulkan adanya integrasi coretax dengan layanan digital pemerintah atau government technology (govtech) yang ditargetkan terealisasi pada Agustus 2025. Ini dapat membantu meningkatkan kepatuhan masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakan.
Kedua, memperhatikan aksesibilitas koneksi internet. Saat ini koneksi internet di Indonesia masih belum tersebar merata. Infrastruktur internet yang merata di seluruh wilayah Indonesia menjadi fondasi untuk menghubungkan 89 entitas pusat dan daerah, termasuk BUMN dan kementerian, secara terpusat. Infrastuktur internet yang cepat dan stabil akan memastikan sistem pelayanan Coretax secara daring dapat berjalan dengan efisien, cepat dan aman.
Ketiga, mengembangkan data center yang andal, aman dan memadai untuk menyimpan data-data sensitif, khususnya milik Wajib Pajak. Pengembangan pusat data ini akan mengurangi ketergantungan pada pihak ketiga, serta memastikan bahwa data Wajib Pajak tetap aman dan terlindungi dari ancaman keamanan siber.
Keempat, seiring dengan meningkatnya ancaman siber, penting bagi DJP untuk meningkatkan keamanan siber dalam sistem Coretax. Implementasi firewall, sistem enkripsi, dan pelatihan keamanan bagi pegawai adalah langkah-langkah yang perlu diambil untuk memastikan bahwa data perpajakan dan data wajib pajak tetap aman.
Integrasi teknologi blockchain dalam sistem Coretax juga dapat menjadi solusi untuk meningkatkan transparansi dan keamanan data perpajakan. Blockchain memungkinkan setiap transaksi perpajakan dicatat secara permanen dan tidak dapat diubah, mengurangi risiko manipulasi data, serta meningkatkan kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan yang baru.
Kelima, pemanfaatan artificial intelligence (AI) dan machine learning (ML) dalam sistem Coretax. Teknologi ini memungkinkan analisis data perpajakan secara langsung, sehingga pola anomali seperti potensi penghindaran pajak atau pelaporan tidak akurat dapat terdeteksi dengan cepat.
AI juga dapat digunakan untuk memberikan rekomendasi berbasis data guna menyusun kebijakan yang lebih tepat sasaran, seperti mengidentifikasi sektor ekonomi dengan tingkat kepatuhan pajak rendah untuk intervensi lebih lanjut.
Terakhir, meningkatkan kapasitas sumber daya manusia (SDM) perpajakan sebagai prioritas malui kemitraan antara DJP dan institusi pendidikan seperti universitas. Tujuannya untuk membantu menciptakan program pelatihan berbasis teknologi digital.
Program ini dapat mencakup pelatihan dalam pengoperasian sistem Coretax, analisis data menggunakan teknologi canggih, dan pengelolaan keamanan siber. Dengan demikian, SDM perpajakan akan lebih siap menghadapi tantangan transformasi digital sekaligus mampu mengatasi kendala teknis yang mungkin muncul.
Ketika terjadi kegagalan sistem validasi wajah dan tanda tangan digital, pengiriman token, atau tidak bisa diterbitkannya faktur pajak dan selainnya, maka Kementerian Keuangan perlu segera menerapkan sistem manual dan menjalankan sistem hotline pengaduan konsumen.
Jika Coretax tidak berfungsi optimal, masalah teknis seperti gangguan e-faktur dan sertifikat digital dapat merusak kepercayaan wajib pajak.
Pembelajaran dari implementasi Coretax di atas dapat menjadi refleksi penting untuk mendukung keberhasilan transformasi digital layanan publik Indonesia di masa depan.
Imam Salehudin, Associate professor, Universitas Indonesia dan Imam Wahyudi, S.E., M.M., Dosen Keuangan dan Bisnis Islam, Universitas Indonesia
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.