Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Cegah Risiko Kesehatan pada Perkawinan Usia Anak

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Perkawinan usia anak masih rentan terjadi di beberapa negara khususnya negara berkembang dan miskin. Realitas ini harus dihadapi oleh sebagian anak terutama oleh anak perempuan yang berpendidikan rendah dan berasal dari keluarga kurang mampu yang tinggal di pedesaan atau di daerah tertinggal.

Vice President of Life Operation Division Sequis Eko Sumurat mengatakan, kita perlu peduli menekan kematian ibu dan anak. Salah satunya dengan menentang perkawinan usia anak karena anak adalah generasi bangsa sehingga selayaknya mereka mendapatkan hak untuk bertumbuh, hak bermain, rasa aman, pendidikan terbaik, gizi yang layak serta akses pada layanan kesehatan.

Menyambut Hari Anak Nasional pada 2018 ini, Sequis mengajak masyarakat untuk berperan meningkatkan kesadaran akan bahaya perkawinan usia anak karena anak memiliki hak untuk mewujudkan hari esoknya yang lebih baik dan berkesempatan untuk berkontribusi bagi bangsa.

"Kita perlu menyadari bahwa perkawinan usia anak adalah masalah yang sangat serius karena ada berbagai risiko yang ditimbulkan. Salah satunya adalah risiko kesehatan terutama pada remaja perempuan jika melakukan hubungan seksual, hamil dan melahirkan. Juga terdapat risiko yang mengintai janin yang dikandung serta anak yang dilahirkan," tambah Eko.

Secara anatomi, tubuh remaja perempuan belum siap untuk proses mengandung dan melahirkan. "Seseorang yang sudah mengalami pubertas belum dapat disebut dewasa. Karena pubertas menandakan si anak memasuki masa remaja. Pada masa ini, organ reproduksi mulai bertumbuh dan baru berkembang menuju kedewasaan jadi sebaiknya tidak digunakan untuk melakukan hubungan seksual dan reproduksi" ujar dokter Handojo Tjandra, Spesialis Kebidanan & Penyakit Kandungan dari OMNI Hospitals Alam Sutera.

Pernyataan tersebut dikuatkan oleh Head of Health Claim Department Sequis dokter AP Hendratno. Menurutnya, masa pubertas pada remaja putri terkait dengan mendapatkan haid dan tidak berhubungan dengan dewasa secara biologis maupun mental. Organ reproduksi pun bertumbuh tidak persis sama untuk setiap orang, biasanya antara usia 16 -22 tahun. Organ intim berfungsi 100 persen biasanya ketika mencapai minimal 3-5 tahun pascahaid.

"Hubungan seksual yang dilakukan di usia kurang dari 17 tahun dan dilakukan dengan paksaan, tanpa pengetahuan dasar kesehatan reproduksi mengandung risiko terkena penyakit menular seksual, penularan infeksi HIV, dan kanker leher rahim," ujar Hendra.

Hal ini karena organ reproduksi anak perempuan belum siap untuk melakukan hubungan seksual. Ukuran rahim remaja putri pun belum siap untuk kehamilan dan ukuran panggul pun belum siap sepenuhnya untuk persalinan. Sehingga, persalinan pada masa remaja dapat meningkatkan risiko persalinan caesar dan komplikasinya.

Akibat dari hubungan seksual dan kehamilan di usia muda diantaranya komplikasi obstructed labour (Gangguan pada fungsi otot uterus karena terjadi peregangan uterus yang berlebihan) serta obstetric fistula (urin atau feses melalui vagina karena terjadi kebocoran akibat rusaknya organ kewanitaan).

Penyakit lain yang mengintai adalah carsinoma serviks (penyakit kanker leher rahim) karena semakin muda usia seseorang melakukan hubungan seksual pertama kalinya maka semakin besar risiko terkontaminasi virus pada daerah reproduksi.

Kehamilan Bermasalah pada Bayi

Selain berisiko pada ibu ketika hamil atau melahirkan, perkawinan usia anak juga berisiko pada janin atau anak yang dilahirkan seperti kelahiran prematur, kelahiran dengan berat badan bayi rendah dan stunting (tubuh kecil dan pendek serta ukuran otak kecil).

"Masa kehamilan adalah masa pertumbuhan badan bagi ibu. Pada tahap ini, terjadi persaingan nutrisi antara janin dan ibu. Hal ini dapat mengakibatkan defisiensi nutrisi. Akibatnya berat badan ibu hamil seringkali sulit naik, terkena anemia. Sedangkan pada janin, berisiko lahir dengan berat lahir yang rendah. Anak yang lahir prematur, di masa depannya akan berisiko terkena komplikasi sindroma metabolik (obesitas, diabetes mellitus, hipertensi dll)," ujar Handojo.

Risiko lainnya menurut Handojo adalah dapat terjadi kematian pada janin. "Karena anatomi panggul remaja perempuan masih dalam pertumbuhan sehingga proses persalinan dapat menjadi lama. Akibatnya bayi mengalami kekurangan oksigen, dapat tercemar air ketuban, terinfeksi bakteri, dan ritme jantung melemah. Hal ini rentan menyebabkan kematian pada bayi" imbuhnya.

Ia mengatakan bahwa kematian pada bayi juga dapat terjadi jika pada persalinan ibu dalam keadaan depresi, karena tekanan darah meningkat sehingga rentan terjadi kejang sesaat setelah melahirkan (eklamsi). pur/R-1

Sejumlah Risiko yang Membahayakan

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) melansir, Indonesia menduduki peringkat ketujuh di dunia untuk kasus pernikahan anak dan kedua di ASEAN.

Padahal peran utama bisa digawangi adanya kelekatan antara orang tua dan anak pada setiap keluarga. Ada yang kurang pada proses pendekatan, edukasi mengenai fungsi alat reproduksi, fungsi organ intim, dan pemantauan pada pergaulan anak dari orangtua.

Selain itu, banyak juga penyebab lainnya seperti kemiskinan yang membatasi pendidikan orangtua, kultur atau kebudayaan setiap suku yang berbeda-beda, dan pemahaman serta pengarahan dari pemerintah.

Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak Atas Pengasuhan Keluarga dan Lingkungan Kementerian PPPA, Rohika Kurniadi Sari, mengutarakan beberapa risiko yang bisa terjadi pada anak karena terjadinya pernikahan di usia anak. Berikut beberapa diantaranya.

1. Risiko kerugian pendidikan anak, terutama anak perempuan yang menikah muda tentu tidak bisa mengenyam pendidikan sesuai umurnya karena ia sudah disibukkan dengan kegiatan rumah tangga seperti kehamilan, persalinan, mengurus anak dan mengurus rumah tangganya.

2. Pernikahan anak menyumbang cukup banyak pada angka total penderita kanker serviks di Indonesia.

3. Tekanan finansial. Setelah menikah, tentu ia akan memiliki anak dan menjadi orangtua. Mereka akan harus mencukupi kebutuhan rumah tangga.

4. Tingginya kekerasan dalam rumah tangga. Tidak punya kemampuan yang cukup untuk mencari penghasilan yang layak, tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarga, maka terjadilah KDRT.

5. Minimnya kualitas pengasuhan anak. Menikah di usia anak, tentu mereka belum cukup matang untuk memahami konsep pengasuhan anak yang baik.

6. Anak kehilangan kesempatan bermain. Anak mungkin tidak menyadari bahwa masa kecil, masa anak-anak adalah masa yang paling indah di mana beban kehidupan belum banyak dirasakan oleh mereka. pur/R-1

Komentar

Komentar
()

Top