Cara Pikir Pemerintah Patok Tarif PPN 12% Dipertanyakan
Direktur Eksekutif Center of economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudisthira,
Foto: AntaraJAKARTA– Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan akan tetap memberlakukan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari saat ini 11 persen menjadi 12 persen. Meskipun mendapat banyak penentangan, namun Kemenkeu berdalih kalau tarif 12 persen sesuai dengan undang-undang (UU).
Jika pemerintah bersikukuh menerapkan kebijakan tarif PPN baru itu maka tarif PPN di Indonesia pada 2025 mendatang akan menjadi rekor tertinggi di kawasan negara-negara Asia Tenggara.
Kondisi tersebut dinilai sangat ironis karena di sisi lain kenaikan tarif pajak tidak memperhitungkan kenaikan pendapatan masyarakat. Upah minimum regional (UMR) pekerja di Indonesia berkisar saat ini masih berkisar 4–5 juta per bulan atau yang terendah kelima di dunia.
Menanggapi polemik itu, Direktur Eksekutif Center of economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudisthira, meminta pemerintah untuk membatalkan kenaikan tarif PPN karena tidak diimbangi dengan kenaikan pendapatan rumah tangga.
“PPN sangat berisiko tinggi berdampak ke penurunan daya beli karena tidak diimbangi oleh kenaikan upah yang signifikan,”tegas Bhima.
Bahkan sebelum tarif PPN naik awal Januari 2025, sudah terjadi pre-emptives inflasi atau kenaikan inflasi mendahului kebijakan pemerintah. Pengusaha terutama retail dipastikan akan langsung menyesuaikan harga barang sebelum tahun baru.
“Kondisi seperti itu bakal semakin menekan pekerja, sementara makin banyak pekerja yang tergolong kelas menengah rentan, yang konsumsi rumah tangganya bisa merosot tajam,” kata Bhima.
Dihubungi dalam waktu lain, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, mempertanyakan cara berpikir pemerintah yang tetap pada pendirian menaikkan tarif PPN jadi 12 persen dalam kondisi ekonomi yang sedang tidak baik.
Menurut Anthony, ekonomi yang melemah terlihat dari deflasi yang berlangsung selama tujuh bulan berturut-turut, karena daya beli masyarakat anjlok. Jumlah penduduk kelas menengah menyusut 9,48 juta orang selama lima tahun terakhir, dari 57,33 juta orang pada 2019 menjadi 47,85 juta orang pada 2024 atau turun sekitar 16,5 persen. Penurunan tersebut sungguh signifikan.
“Ekonomi sedang tidak baik.Sebaliknya, jumlah penduduk miskin juga naik dari 25,15 juta pada 2019 menjadi 25,22 juta pada 2024. Meskipun secara persentase turun dari 9,41 persen menjadi 9,03 persen. Artinya, tingkat kemiskinan hanya turun 0,4 persen dalam lima tahun menandakan adanya kegagalan dalam pemberantasan kemiskinan,” terangnya.
Belum Tiga Tahun
Menurut Anthony,semestinyapemerintah berkaca dari kenaikan PPN dari 10 ke 11 persen padan tahun 2022 lalu di tengah gejolak harga komoditas global yang melonjak tinggi yang memicu suku bunga global naik tajam.
Belum genap tiga tahun, tarif PPN akan dinaikkan lagi, dari 11 persen menjadi 12 persen, yang akan berlaku efektif pada 1 Januari 2025 atau tepat pada hari pertama, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran pertama, pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
“Ini akan menjadi catatan sejarah pemerintah baru di mana di tengah kondisi ekonomi sedang tidak baik dan memburuk, serta daya beli yang masih terus melemah, tepat di hari pertama tahun anggarannya, kebijakannya justru membebani rakyat dengan menaikkan tarif PPN,” kata Anthony.
Selain itu, indeks aktivitas produksi di zona kontraksi selama empat bulan berturut-turut yang menyebabkan jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) terus bertambah.
“Karena itu, tidak ada alasan apa pun dari pemerintah yang bisa membenarkan mereka menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen,” katanya.
Kenaikan pajak, termasuk PPN, merupakan instrumen kebijakan fiskal yang bersifat kontraksi. “Kenaikan PPN akan membuat aktivitas ekonomi turun. Artinya, di tengah ekonomi sedang melemah, kebijakan menaikkan PPN merupakan blunder besar. Pertumbuhan Ekonomi akan anjlok. Jumlah penduduk miskin bisa naik lagi, dan sebaliknya jumlah penduduk kelas menengah akan menyusut lebih dalam,”pungkasnya.
Pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga, Surabaya, Rossanto Dwi Handoyo, menambahkan, kalau kenaikan PPN secara umum akan menurunkan konsumsi masyarakat karena mereka menahan belanja seiring dengan kenaikan harga.
Redaktur: Vitto Budi
Penulis: Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Kampanye Akbar, RIDO Bakal Nyanyi Bareng Raja Dangdut Rhoma Irama di Lapangan Banteng
- 2 Dharma-Kun Berjanji Akan Bebaskan Pajak untuk Pengemudi Taksi dan Ojek Online
- 3 Kasad Hadiri Penutupan Lomba Tembak AARM Ke-32 di Filipina
- 4 Cegah Jatuh Korban, Jalur Evakuasi Segera Disiapkan untuk Warga Sekitar Gunung Dempo
- 5 Masyarakat Perlu Dilibatkan Cegah Gangguan Mental Korban Judol