Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kepastian Hukum I Pemerintah akan Longgarkan Aturan TKDN Untuk PLTS

Butuh Target 1 Gigawatt PLTS untuk Bangun Rantai Pasok TKDN

Foto : ISTIMEWA

TARGET 1 GIGAWATT PLTS UNTUK BANGUN TKDN I Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dengan kapasitas terpasang 1.000 Megawatt (1 Gigawatt) di tambak garam di Tiongkok. PLTS ini bernama Huadian Tianjin Haijing. Indonesia membutuhkan PLTS raksasa seperti ini untuk membangun supply chain kandungan lokal.

A   A   A   Pengaturan Font

» Kebijakan TKDN justru akan mendorong peningkatan produksi komponen lokal industri dalam negeri yang masif.

» Indonesia lambat mencapai bauran energi karena Pemerintah kerap membuat aturan yang berubah-ubah.

JAKARTA - Pemerintah baru-baru ini dilaporkan akan melonggarkan aturan dengan menghapus ketentuan persyaratan bahwa proyek tenaga surya harus menggunakan mayoritas bahan yang diproduksi di dalam negeri atau Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) sekitar 60 persen hingga 2025.

Pertimbangan menghapus ketentuan tersebut karena oleh Pemerintah dan PLN dianggap menghambat pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT). Seperti diketahui, PLN sudah memberikan proyek tenaga surya kepada swasta dengan TKDN sekitar 60 persen tapi memang belum ada yang bisa memenuhi.

Peneliti Pusat Riset Pengabdian Masyarakat (PRPM), Institut Shanti Bhuana, Bengkayang, Kalimantan Barat, Siprianus Jewarut mengatakan, upaya pemerintah mengeluarkan kebijakan TKDN merupakan terobosan yang perlu didukung, bukan sebaliknya malah mau diganti.

Kebijakan TKDN katanya justru akan mendorong peningkatan produksi komponen lokal industri dalam negeri yang masif. Kebijakan ini perlu untuk di laksanakan agar keberadaan komponen lokal dalam negeri dapat mampu bersaing dengan kelompok global.

"Memang harus ada critical mass, harus ada proyek tenaga surya kapasitas besar, satu gigawatt misalnya, supaya supply chain TKDN bisa berjalan. TKDN sulit dipenuhi kalau proyek pembangkitnya kecil-kecil," katanya.

Kalau sekarang syarat itu dihapus sementara, maka patut diduga ada kesengajaan untuk mempermudah peserta yang sudah menang tetapi tidak bisa memenuhi TKDN.

"Ini kan hanya untuk beberapa orang tertentu. Perubahan peraturan itu jangan untuk orang per orang tapi seharusnya untuk membuka kapasitas baru secara adil. Bagaimana sudah menang dengan syarat TKDN tapi karena tidak bisa memenuhi syarat terus dihapus. Ini kan main-main dan melanggar aturan," katanya.

Kalau terus-menerus seperti itu, maka pembangunan tidak akan pernah benar. Pembangunan EBT dinilai tidak transparan, tidak adil dan banyak hambatan. "Semua syarat harus ditegakkan karena sudah menjadi kontrak. Syarat baru menghapus TKDN boleh saja, tapi untuk proyek baru. Kalau pemenang tidak bisa memenuhi syarat bisa dilepas tapi harus tender ulang. Masa dilepas hanya untuk sementara. Sampai kapan? Harusnya ada tahunnya yang jelas karena nanti setelah kawannya yang pemenang tender itu selesai membangun, aturan ditutup lagi," kata Siprianus.

Seperti dilansir oleh Bloomberg, pemerintah akan menghapus persyaratan bahwa proyek tenaga surya harus menggunakan mayoritas bahan yang diproduksi di dalam negeri hingga 2025, ketika pabrik panel surya pertama di Indonesia diharapkan mulai berproduksi.

Dengan perkiraan konservatif, Indonesia dapat menghasilkan lebih dari 4.000 kali keluaran matahari saat ini. Upaya mempercepat transisi energi telah menjadi prioritas utama Presiden Joko Widodo, dan salah satunya mencabut persyaratan "konten lokal" untuk tenaga surya adalah salah satu dari lebih selusin reformasi kebijakan yang dituangkan dalam rancangan rencana investasi senilai 20 miliar dollar AS oleh Just Energy Transition Partnership (JETP) yang dirundingkan Jokowi dengan Presiden AS, Joe Biden, dan negara kaya lainnya.

Rugikan Industri Pendukung

Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Dadan Kusdiana, membenarkan bahwa pemerintah sedang berdiskusi untuk melonggarkan aturan proyek pembangkit listrik tenaga surya. Rencana tersebut menunjukkan beberapa tantangan signifikan bagi JETP, termasuk tidak cukupnya hibah atau pinjaman berbiaya rendah dari negara-negara kaya, dan keengganan lembaga keuangan swasta untuk mendanai apa pun yang terkait dengan batu bara, termasuk pensiun dini pembangkitnya.

Untuk bagian Indonesia, mengubah persyaratan tenaga surya mungkin merupakan reformasi hukum yang paling mudah. Saat ini, Indonesia menghasilkan lebih sedikit tenaga surya daripada Norwegia, dan banyak dari yang mereka hasilkan dikirim ke negara tetangga Singapura.

Menurut rencana investasi, pemerintah ingin meningkatkan kapasitas tenaga surya lima kali lipat dalam lima tahun ke depan, tetapi akan membutuhkan hampir 2,4 miliar dollar AS untuk melakukannya.

Peneliti Ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda mengatakan, TKDN ini merupakan upaya pemerintah untuk meningkatkan industri pendukung dalam negeri. Kalau dihapus justru akan merugikan industri pendukung dalam negeri.

"Tidak ada insentif bagi investor untuk membangun industri pendukung PLTS dalam negeri. Insentif TKDN ini kan juga dilihat peluang investor untuk membangun industrinya di dalam negeri," papar Nailul.

Pengamat energi dari Universitas Brawijaya, Malang, Suprapto, mengatakan, kelambanan Indonesia mencapai target bauran energi disebabkan aturan pemerintah yang kerap berubah-rubah, membuat kalangan investor EBT berada dalam ketidakpastian.

"Sejak beberapa tahun lalu aturan soal surplus PLTS atap yang dibeli PLN berubah-rubah, sampai akhirnya yang terakhir tidak dibeli sama sekali. Keadaan semacam ini membuat investor maju-mundur. Pemerintah sebaiknya tetap mengacu pada aturan karena akan menggambarkan konsistensi pemerintah menerapkan aturan," kata Suprapto.

Ekonom STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko mengatakan rencana penghapusan kewajiban TKDN berpotensi merugikan ekonomi Indonesia dalam jangka panjang. Sebab, akan menghambat industri dalam negeri yang memasok berbagai komponen-komponennya.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top