Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pengembangan EBT I Revisi Aturan Patokan Harga Energi Baru dan Terbarukan Sangat Adil

Butuh Insentif dari Pemerintah

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

Guna mempercepat pengembangan EBT di Tanah Air, pemerintah harus berani memberikan insentif bagi investor dan mengalokasikan dana besar untuk riset.

JAKARTA - Pemerintah diminta tidak lagi menganaktirikan pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT). Karena itu, pemerintah harus lebih berani lagi memberikan insentif kepada investor EBT.

Upaya stimulasi melalui pemberian insentif ini dinilai tepat untuk menggenjot pengembangan EBTdi Tanah Air. Sebab, saat ini pengembangan EBT nasional masih jauh tertinggal dari negara lainnya. Padahal, RI kaya akan potensi sumber daya alam untuk mendukung EBT.

Pengamat Energi dari Energi Watch, Mamit Setiawan, menyampaikan tertinggalnya RI terkait dengan pemanfaatan EBT karena minimnya terobosan, termasuk menyangkut pemberian fasilitas bagi investor EBT. "Persepsi ini yang perlu diubah agar bisa mengejar target bauran EBT sebesar 23 persen pada 2025," tegasnya, di Jakarta, Kamis (3/8).

Selain insentif, menurut Mamit, pemerintah harus berani mengucurkan dana besar untuk riset-riset terkait pengembangan EBT. Hal itu mengingat riset sektor EBT selama ini masih sangat rendah.

Menanggapi kebijakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang merevisi aturan patokan harga EBT, menurut Mamit, hal ini sangat adil dan fair. Format yang telah disiapkan sangat jelas membantu investor dalam memberikan kepastian terkait ke PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).

Dalam permen lama, investor benar-benar dibatasi sehingga membuat iklim usaha sektor EBT tidak kondusif. "Dengan adanya perubahan pada revisi Permen 12/2017, semakin banyak investor yang tertarik untuk berinvestasi di sektor EBT," paparnya.

Ke depan, Mamit berharap pemerintah tidak lagi menerbitkan aturan yang justru menghambat pengembangan EBT. Aturan harus benar-benar mendukung investasi karena EBT saat ini membutuhkan arus investasi yang tak sedikit.

Revisi Permen

Seperti diketahui, Menteri ESDM, Ignasius Jonan, bakal menerbitkan revisi kedua terhadap Permen ESDM Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Itu dilakukan seusai menerbitkan Permen ESDM Nomor 43 Tahun 2017.

Jonan menjelaskan apabila dalam Permen ESDM 43/2017 yang direvisi hanya batas maksimum harga pembelian listrik dari tenaga air kapasitas di bawah 10 megawatt (MW) oleh PLN, maka Permen baru nanti yang direvisi adalah patokan harga pembelian listrik dari tenaga surya, angin, biomassa, dan biogas.

"Revisi kedua atas Permen ESDM 12/2017 juga menambahkan patokan harga pembelian listrik dari tenaga arus laut," paparnya.

Dilanjutkanya bahwa di Permen ESDM 12/2017 nanti, harga pembelian listrik dari surya, angin, air, biomassa, dan biogas maksimal 85 persen dari Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik di daerah tempat pembangkit tersebut beroperasi.

Dalam permen baru nanti, batas maksimum adalah 100 persen BPP setempat, bukan lagi 85 persen BPP setempat. "Jadi, kalau BPP setempat 2.900 rupiah per kilowatt hour (kWh), maka IPP dapat menjual listrik ke PLN dengan harga paling tinggi 2.900 per kWh,"terangnya.

Untuk daerah yang memiliki BPP sangat rendah atau lebih rendah dari BPP nasional, Permen ESDM 12/2017 menetapkan tarif maksimalnya sama dengan BPP secara nasional. Sebagai gambaran, saat ini BPP secara nasional sekitar 983 rupiah per kWh maka harga listrik energi terbarukan di Jawa bisa mencapai angka itu. ers/E-10


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top