Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Bulan Bung Karno

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Anwar Ilmar

"Tidak seorang pun di zaman sekarang ini yang seperti Soekarno, selain menjadi sumber ilham, juga menimbulkan banyak perdebatan. Aku dikutuk seperti bandit dan dipuja seperti dewa," (Ir Soekarno, 1966). Meski kalimat di atas digubah puluhan tahun silam, masih relevansi untuk mengilustrasikan kontroversi publik seputar sosok presiden pertama ini. Jika kontroversi ekstrem ini tetap dibiarkan, bukan saja melanggengkan deru debat yang kontraproduktif, tapi juga memelihara sikap ahistoris terhadap pemikiran dan perjuangannya.

Kini, sejumlah upaya telah dilakukan seperti menjadikan Juni sebagai "Bulan Bung Karno" sebagai bentuk penghormatan atas kepahlawanan Bungnya dalam sejarah bangsa dan negara. Meski demikian, kontroversi Bung Karno yang bersifat ekstrem dan cenderung kontraproduktif masih menyeruak di ruang publik. Perlu ada terobosan wacana untuk menggeser hegemoni kontroversi ekstrem tersebut yang telah langgeng.

Lihat saja beberapa waktu lalu, seorang pimpinan ormas dilaporkan ke polisi oleh salah seorang putri kandung Bung Karno. Pernyataan pimpinan ormas tersebut dalam suatu ceramah dianggap telah melecehkan Bung Karno sebagai pahlawan dan Pancasila sebagai dasar negara.

Di ekstrem lain, masih jamak ditemui orang pergi ke makam Bung Karno untuk sekadar mencari "wangsit." Tidak sedikit orang meyakini, Bung Karno memiliki kekuatan magis. Maka, tidak hanya semasa hidup dianggap memiliki aura gaib, dalam persemayamannya pun banyak orang meyakini makam Bung Karno bertuah.

Selain itu, kita juga sangat akrab melihat dan mendengar kata-kata yang pernah diucapkan dilantunkan ulang. Motivasinya berbeda-beda, banyak yang merasa terinspirasi dan termotivasi, namun tidak sedikit juga yang tertarik menjadikannya sebagai jargon belaka. Berbagai kontroversi tadi sejak lama telah menjadi perhatian sejumlah akademisi untuk diteliti. Beberapa di antaranya menyebut sikap dan tindakan publik yang ahistoris dan kontroversial terhadap Bung Karno dengan konsep-konsep seperti desoekarnoisasi (Lay, 2013), mitologisasi (Dahm, 1987), dan fosilisasi (Anderson, 2002).

Kontroversi pertama terkait desoekarnoisasi yang disebut Cornelis Lay (2013) sebagai bentuk proyek politik Orde Baru. Desoekarnoisasi merupakan suatu upaya mendiskreditkan karakter, pemikiran, dan peran Bung Karno dalam proses kesejarahan Indonesia. Pertama, diawali dengan munculnya berbagai spekulasi terkait keterlibatannya dalam peristiwa Gerakan 1 Oktober 1965. Kemudian dilanjutkan dengan deideologisasi pemikiran-pemikiran Bung Karno seperti menciptakan polemik mengenai Pancasila. Terakhir berbagai upaya pembunuhan karakter Soekarno lainnya sejak awal kiprahnya dalam perjuangan nasional.

Kontroversi kedua terkait mitologisasi yang dilakukan dengan menarasikan Bung Karno dalam kepercayaan yang tidak dapat dijelaskan secara inderawi. Hal ini ditandai dengan sikap pengkultusan terhadap Bung Karno yang kian menjauhkannya dari bumi manusia. Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, sosoknya kerap digambarkan sebagai orang pilihan Tuhan. Dia dianggap sebagai jelmaan Ratu Adil (Dahm, 1987). Sejak kelahiran sampai wafatnya, ayah Megawati ini diselubungi hal-hal yang bersifat adiduniawi. Inilah yang menyebabkan hingga kini tidak sedikit orang berziarah ke makamnya.

Sedangkan kontroversi yang ketiga terkait ― meminjam istilah Ben Anderson (2002) ― fossilization of Soekarno's thought atau pemosilan pemikiran menjadi sebuah endapan yang membatu di dasar sungai sejarah. Hal ini juga ditandai dengan sikap pengkultusan terhadap Bung Karno yang melihat ajarannya sebagai dogma-dogma beku. Pemikirannya oleh para kaum nasionalis-soekarnois dirapalkan seperti ayat-ayat suci yang sakral. Kadangkala kata-katanya tak ubahnya seperti mantra yang dapat meningkatkan kharisma dan pesona.

Dengan demikian, berbagai kontroversi tersebut menyiratkan bahwa sikap publik terhadap tokoh bangsa seperti Proklamator belumlah berpijak pada kesadaran kritis yang menyejarah. Kontroversi ini tidak hanya menjauhkannya dari kenyataan historis, namun juga tidak menghasilkan diskursus yang progresif bagi peradaban.

Mengurai

Momentum peringatan "Bulan Bung Karno" seyogianya dibarengi dengan ikhtiar mengurai kontroversi sejarah. Dia harus dihadirkan dalam realitas zaman sekarang secara historis dan logis, bukan lagi dalam bentuk perayaan wacana ahistoris dan kontroversial. Misalnya, dengan mengaktualisasikan pemikirannya sebagai sebuah wacana praksis. Upaya ini akan mendorong dialog antara Bung Karno lewat pemikirannya dan setiap insan sejarah untuk menafasirkan serta mengubah berbagai fenomena.

Menurut Paulo Freire (1972), dialog merupakan kebutuhan eksistensial yang secara praksis memadukan refleksi dan tindakan antarsesama manusia untuk mengubah dunia. Ini bukan sebagai bentuk transfer gagasan dari manusia ke manusia lainnya. Dengan demikian, sosok dan pemikiran Soekarno tidak lagi sekadar disimpan dan diperdebatkan dalam keranda masa lalu, tapi secara dialektis dijadikan sebagai kaca benggala untuk bertindak menuju masa depan.

Contoh mempraksiskan pemikiran Bung Karno terkait dengan demokrasi Indonesia yang belum juga mewujudkan keadilan sosial. Dalam pemikirannya, demokrasi model ini hanya terjadi pada sistem liberalisme yang pincang. Dia hanya menjamin persamaan politik, namun melanggengkan penindasan ekonomi. Maka, Bung Karno merumuskan suatu kreasi model demokrasi yang relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia saat itu, yakni tentang demokrasi politik dan demokrasi ekonomi, atau sering disebut sosio-demokrasi.

Melalui diskursus dialogis ini, bangsa dapat merefleksikan demokrasi lewat aksara pemikirannya. Ini akan menjadi sebuah kesadaran kritis bila rakyat mempraksiskannya dalam tindakan untuk perubahan. Demikian seterusnya warga dapat membincang tema kebangsaan lainnya dengan menghadirkan Soekarno sebagai wacana praksis untuk menafsirkan dan mengubah keadaan bangsa.

Dengan demikian, maksud untuk memperingati "Bulan Bung Karno" haruslah melampaui peringatan yang bersifat seremonial belaka. Semua menjadi pilihan rakyat sebagai pemegang mandat sejarah bangsa saat ini. Apakah bangsa tetap merayakan desoekarnoisasi, mitologisasi, dan fosilisasi yang bersifat ahistoris dan kontraproduktif? Atau menjadikannya sebagai wacana praksis untuk menghasilkan tindakan perubahan?

Menjadikan Soekarno sebagai wacana praksis tentu saja mengalirkan pemikirannya sejauh sejarah bermuara. Tugas kita menimba air pemikirannya yang relevan untuk menyuburkan bumi manusia di zaman sekarang yang tandus akan kebijaksanaan.


Penulis Dosen Ilmu Politik Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta

Komentar

Komentar
()

Top