Kawal Pemilu Nasional Mondial Polkam Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Otomotif Rona Telko Properti The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis Liputan Khusus
Ancaman Ekonomi

“Bubble" Properti di Indonesia Akan Lebih Bermasalah

Foto : ISTIMEWA

Manajer Riset Seknas Fi­tra (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran), Ba­diul Hadi.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Pemerintah perlu mengantisipasi terjadinya gelembung (bubble) pembangunan properti di kota-kota besar di Indonesia, terutama di wilayah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) yang jauh melebihi kebutuhan.

Manajer Riset Seknas Fitra (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran), Badiul Hadi, di Jakarta, Minggu (24/9), mengatakan Indonesia harus belajar dari Tiongkok yang saat ini kelebihan pasokan dan juga Amerika Serikat dan Jepang yang pernah dilanda bubble properti.

Seperti diberitakan Cable News Network, sektor properti Tiongkok, yang pernah menjadi pilar perekonomian, telah merosot sejak 2021 ketika raksasa real estat Tiongkok, Evergrande Group, gagal membayar kewajiban utangnya menyusul pembatasan pinjaman baru.

Seorang mantan pejabat Tiongkok, pada Sabtu (23/9), mengatakan bahkan populasi Tiongkok yang berjumlah 1,4 miliar jiwa tidak akan cukup untuk mengisi semua apartemen kosong yang tersebar di seluruh negeri itu, sebuah kritik publik yang jarang terjadi terhadap pasar properti yang sedang dilanda krisis.

Pengembang ternama seperti Country Garden Holdings terus terhuyung-huyung mendekati default bahkan hingga saat ini, membuat sentimen pembeli rumah tetap tertekan.

Menurut data terbaru dari Biro Statistik Nasional (NBS), pada akhir Agustus, total luas lantai rumah yang tidak terjual mencapai 648 juta meter persegi (7 miliar kaki persegi). Jumlah tersebut setara dengan 7,2 juta rumah, menurut perhitungan Reuters, berdasarkan rata-rata ukuran rumah sebesar 90 meter persegi (970 kaki persegi).

Para ahli memperkirakan jumlah itu belum termasuk sejumlah proyek perumahan yang telah terjual, namun belum selesai karena masalah arus kas, atau beberapa rumah yang dibeli oleh spekulan pada kenaikan pasar terakhir di 2016 yang masih kosong, yang secara keseluruhan merupakan sebagian besar rumah yang tidak terpakai.

"Berapa banyak rumah kosong yang ada saat ini? Masing-masing ahli memberikan angka yang berbeda-beda, dan yang paling ekstrem percaya bahwa jumlah rumah kosong saat ini cukup untuk tiga miliar orang," kata He Keng, mantan wakil kepala biro statistik.

"Perkiraan itu mungkin agak berlebihan, namun 1,4 miliar orang mungkin tidak dapat memenuhinya," katanya di sebuah forum di Kota Dongguan, Tiongkok Selatan.

PDB Perkapita Rendah

Badiul menambahkan, potensi masalah akibat gelembung properti di Indonesia sangat besar, selain faktor PDB (produk domestik bruto) perkapita yang rendah, juga karena faktor spekulasi para investor. "Jika terjadi bubble properti, kita akan lebih bermasalah karena pendapatan perkapita Indonesia hanya seperempat Tiongkok," katanya.

Ekonom Universitas Islam Indonesia (UII), Suharto, mengatakan otoritas mesti benar-benar memperhatikan portofolio penyaluran kredit properti. Jangan sampai mengumpul hanya di kota-kota besar seperti di Jakarta. Pertumbuhan properti di Jakarta sesungguhnya tidak mencerminkan adanya hubungan langsung antara permintaan dan penawaran.

"Yogya misalnya, kurang sekali pasokan rumah murah, tapi di Jakarta super block dan mal terus dibangun. Kan ini kurang tepat," kata Suharto.

Pengamat ekonomi dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Dian Anita Nuswantara, mengatakan untuk antisipasi risiko bubble properti, perlu dicari cara agar kredit perumahan tersalur hanya untuk masyarakat yang membutuhkan hunian.

"Memang perlu dicari cara karena sampai terjadi keterlambatan atau macet, maka masalah bagi perbankan. Maka dari pihak perbankan sendiri yang harus selektif dalam menyalurkan, seperti kepada masyarakat yang belum punya rumah atau pembatasan yang lain, supaya kredit itu produktif. Selain itu, bunga kredit yang terlalu tinggi juga akan memberatkan peminjam sehingga berisiko dikemudian hari," tuturnya.

Ekonom Universitas Islam Indonesia (UII), Suharto mengatakan setiap bubble property di negara-negara besar harus menjadi perhatian utama Indonesia karena kemungkinan untuk merembet menjadi krisis dunia sangat besar. Hal itu seperti yang terjadi di Amerika Serikat pada 2008 lalu di mana sektor keuangan nyaris ambruk gara-gara bubble property dan menyebar ke sektor lain.


Redaktur : Marcellus Widiarto
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top