Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Brexit, Krisis Inggris

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Perdana Menteri (PM) Inggris, Theresa May, berhasil lolos dari mosi tidak percaya di Parlemen Inggris, Rabu (16/1), setelah anggota House of Commons dengan selisih suara besar tidak meloloskan rencana perceraian (Brexit) Inggris dari Uni Eropa (UE).

Terdapat tiga kemungkinan yang dihadapi Inggris, yakni Brexit tanpa kesepakatan, penundaan Brexit, atau bahkan menyelenggarakan referendum baru untuk menentukan apakah London harus keluar dari Uni Eropa.

Parlemen Inggris telah melakukan pemungutan suara untuk menentukan menerima atau menolak kesepakatan Brexit yang dicapai May dengan UE. Ada 202 anggota memilih mendukung kesepakatan itu dan 432 lainnya menolak.

Hasil pemungutan suara membuat May harus menghadapi mosi tidak percaya. Hal itu jelas mengancam posisinya sebagai PM. Namun May berhasil selamat. Dengan hasil 325-306, anggota Parlemen menyatakan masih memiliki kepercayaan pada pemerintahan May.

Setelah hasil tersebut, May segera bertemu beberapa pimpinan partai. Namun, pemimpin partai oposisi utama, yakni Jeremy Corbyn dari Labour Party menolak mengadakan pembicaraan, kecuali opsi Brexit tanpa kesepakatan dikesampingkan.

Dengan tenggat waktu hengkang dari UE yang jatuh pada 29 Maret, Inggris sekarang berada dalam krisis politik terdalam selama 50 tahun terakhir. Hasil pemungutan suara itu tidak memberitahu secara jelas cara parlemen mewujudkan hasil referendum pada 2016. Tak jelas pula apakah parlemen ingin membatalkan hasil referendum 2016 yang menginginkan Inggris berpisah dari UE.

UE adalah wadah kerja sama politik dan ekonomi 28 negara Eropa. Semua negara blok ini sepakat, warga negara dengan mudah tinggal dan bekerja di semua negara anggota. UE terdiri dari Austria, Belgia, Bulgaria, Kroasia, Siprus, Denmark, Republik Ceko, Estonia, Finlandia, Prancis, Jerman, Yunani, dan Hongaria. Kemudian, Republik Irlandia, Italia, Latvia, Lithuania, Luxembourg, Malta, Belanda, Polandia, Portugal, Romania, Slovakia, Slovenia, Spanyol, Swedia, dan Inggris.

Inggris bergabung UE saat masih bernama Masyarakat Ekonomi Eropa, pada 1973. Referendum digelar pada 23 Juni 2016 dengan pertanyaan, apakah Inggris sebaiknya tetap menjadi anggota UE atau mundur? Kubu yang mendukung penarikan diri Inggris dari UE didukung sekitar 52 persen suara, setara dengan 17,4 juta.

Sementara itu, yang menginginkan tetap sebagai anggota UE didukung 48 persen suara atau sekitar 16,1 juta. Tapi, Inggris tak langsung mundur. Ada beberapa tahapan dan proses yang harus dilewati. Berdasarkan kesepakatan, Inggris dijadwalkan resmi mundur dari UE pada 29 Maret 2019.

Referendum 2016 hanyalah permulaan. Dari sini dilakukan negosiasi panjang antara Inggris dan negara-negara UE tentang syarat dan ketentuan Brexit. Beberapa hal yang telah disepakati kedua pihak, antara lain besaran dana yang harus dibayar Inggris untuk bisa mundur dari UE sekitar 39 miliar uero atau sekitar 707 triliun rupiah.

Mereka juga sudah sepakat yang akan terjadi terhadap warga UE di Inggris dan warga Inggris di negara-negara UE. Selama periode transisi, kedua pihak sepakat tidak mengganggu sektor usaha dan perdagangan. Dalam tataran praktis, tidak ada perubahan signifikan mulai 29 Maret 2019 hingga 31 Desember 2020.

Hal lain yang menjadi batu ganjalan, pengaturan perbatasan di wilayah Irlandia Utara. Jika Inggris resmi keluar UE, wajib menerapkan semacam mekanisme kontrol untuk mengecek arus barang dan orang. Sebab Republik Irlandia adalah anggota UE. Mekanisme tanpa kontrol yang selama ini otomatis berlaku berdasarkan kesepakatan UE berhenti. Ini belum disepakati dan menjadi salah satu ganjalan.

Yang perlu digarisbawahi, kesepakatan ini deklarasi politik. Maka, isinya bisa berubah berdasarkan kesepakatan kedua pihak, meski sudah ada syarat-syarat tentang dasar perundingan di masa depan.

Komentar

Komentar
()

Top