Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Keuangan Negara I Proyeksi Utang pada 2022 Mendatang 43,1% terhadap PDB

BPK Diminta Awasi Ketat Rencana Pemerintah Menarik Utang

Foto : Sumber: Kementerian Keuangan – Litbang KJ/and - KJ
A   A   A   Pengaturan Font

» Batasan rekomendasi utang IMF atau rekomendasi eksternal di luar pemerintah harus tetap dipatuhi.

» Utang jangan digunakan untuk membayar utang dan membiayai kegiatan yang tidak produktif.

JAKARTA - Badan Pengawas Keuangan (BPK) diminta melakukan pengawasan ketat terhadap rencana pemerintah menarik utang pada tahun 2022 mendatang untuk membiayai defisit anggaran. Pengawasan diperlukan karena BPK sebelumnya sudah memperingatkan pemerintah karena utang yang membengkak pada 2020 telah melampui indikator batas kerentanan utang.

Pakar Ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya), Bambang Budiarto, yang diminta pendapatnya, Senin (13/12), mengatakan rencana pemerintah untuk menambah utang jelas berisiko sehingga dibutuhkan peran pengawasan BPK di awal guna mengantisipasi risiko yang mungkin timbul.

"Lebih dari 973 triliun rupiah, tentu jumlah yang besar. Apa pun sumber untuk menarik utangnya, risiko utang tetap sama," kata Bambang.

Batasan rekomendasi utang IMF ataupun rekomendasi eksternal di luar pemerintah harus tetap dipatuhi. Jangan sampai muncul kesan, kabinet yang ada sekarang menarik utang hanya untuk kebutuhan saat ini, tanpa memikirkan kemampuan membayar kelak.

"Peran dari BPK harus ditunjukkan, sebagai upaya penyelamatan finansial dan ancaman kemampuan membayar kembali di masa yang akan datang," tegas Bambang.

Secara terpisah, Pakar Ekonomi dari STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko, mengatakan pemerintah menyatakan rasio utangnya aman karena tidak lebih dari 60 persen dari PDB sesuai dengan UU. Masalahnya, jika dilihat, komponen PDB-nya masih bruto. Kondisi tersebut berbeda jika berdasarkan likuiditas keuangan, di mana yang dilihat adalah IDR rasionya 46,77 persen, sudah melampaui rekomendasi IMF.

"Akan lebih parah lagi kalau kita melihat standar yang diterapkan di bank dengan analisa IDIR/ disposable income to income ratio tidak lebih dari 33 persen, maka penarikan utang di atas itu semakin tidak direkomendasikan," kata Aditya.

Sebaiknya, utang jangan ditarik untuk menutup utang dan digunakan membiayai sektor yang kurang produktif. Pemerintah harus membiayai sektor unggulan untuk membangkitkan ekonomi dan meningkatan pendapatan rakyat.

Biayai Defisit

Sementara itu, Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Riko Amir, menyatakan pemerintah akan menarik utang 973,6 triliun rupiah untuk membiayai defisit tahun depan sebesar 868 triliun rupiah.

"Selama 2022, kita akan melakukan pembiayaan utang melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) 991,3 triliun rupiah ataupun pelaksanaan pinjaman dengan target 973,6 triliun rupiah," kata Riko dalam media briefing di Jakarta, Senin (13/12).

Dia mengatakan penarikan utang sebesar 973,6 triliun rupiah itu, mayoritas bersumber dari pembiayaan domestik dengan porsi 80-82 persen, sedangkan pembiayaan dari valuta asing memiliki porsi 18 persen sampai 20 persen.

Untuk SBN bruto sendiri akan ditawarkan melalui lelang maupun nonlelang dengan porsi, meliputi Surat Utang Negara (SUN) sebanyak 69-72 persen dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dengan persentase 28 hingga 31 persen.

"Untuk SBN brutonya dapat dilakukan melalui lelang dan nonlelang yaitu pasar perdana dan adanya SBN ritel, private placement, serta pelaksanaan SKB III dengan Bank Indonesia," kata Riko.

Ia pun berharap rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tahun depan lebih rendah dari proyeksi yang sebesar 43,1 persen seperti pada yang terjadi pada 2021 ini. Hal itu bisa terealisasi jika penggunaan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) 2021 dimaksimalkan.

"Proyeksi pada 2022 mendatang 43,1 persen, namun kita harapkan turun dibandingkan 2021. Rasio utang terhadap PDB 2021 tertera 41,4 persen ini dapat turun karena jumlah utangnya berkurang dan PDB sebagai pembaginya meningkat," jelasnya.

Dalam pengelolaan pembiayaan, Riko mengatakan akan mengedepankan fleksibilitas guna memitigasi risiko melalui pemanfaatan pinjaman program sesuai ketersediaan kapasitas pemberi pinjaman dan memilih instrumen SBN yang paling favorable.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top