Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2024 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Rabu, 22 Nov 2017, 01:00 WIB

Bisnis Potensial yang Membutuhkan Tata Kelola Serius

Salah satu waralaba kuliner (ayam goreng) tengah sibuk mempersiapkan sejumlah pesanan untuk konsumen. Waralaba kuliner belakangan semakin diminati masyarakat, hanya saja perlu diwaspadai terkait tata kelolanya.

Foto: foto-foto: istimewa

Berwirausaha kini banyak dipilih masyarakat Indonesia. Dukungan pemerintah dalam menggiatkan pertumbuhan ekonomi kerakyatan pun semakin memberikan andil positif dalam geliat pertumbuhan wirausaha di Indonesia.

Tak dipungkiri menjadi entrepreneur atau wirausahawan tidaklah mudah, butuh perjuangan serta usaha keras dalam membangun dan menciptakan sebuah brand sekaligus produk yang mampu melekat di benak para para konsumennya.

Belakangan mudah sekali kita temui sebenarnya, brand baru bermunculan dengan membawa produk khasnya masing-masing. Umumnya entrepreneur ini banyak ditemui pada lapak digital yang tersebar di banyak sosial media, seperti Instagram contohnya.

Dan menariknya, geliat berwirausaha ini mulai merambah kaum muda. Produk usaha yang kental akan nuansa kreativitas di era modern tumbuh pesat. Perlu diketahui, industri ekonomi kreatif tercatat berkontribusi positif dengan pertumbuhan 5,6 persen sejak 2010 hingga 2013. Sumbangsihnya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tercatat mencapai 7,1 persen, serta menyerap 10,7 persen atau sekitar 12 juta total tenaga kerja.
Industri ekonomi kreatif ini pun tumbuh 5,76 persen di tahun sebelumnya atau di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi Nasional sebesar 5,74 persen, dengan nilai tambah sebesar 641,8 triliun rupiah atau tujuh persen dari PDB Nasional.

Kualitas produk atau layanan yang diberikan oleh entrepreneur kepada konsumen ternyata tidak menjamin keberlanjutan usaha yang dijalankan.
Menurut Ketua Asosiasi Franchise Indonesia (AFI) Anang Sukandar jumlah business opportunity (BO) baru bisa meningkat 8-10 persen per tahunnya, padahal Indonesia sangat potensial untuk menjadi ladang pertumbuhan waralaba baru atau usaha franchise.

Menurut Anang, saat ditemui Koran Jakarta di sela-sela acara Franchise & Business Concept (IFBC) 2017, di Balai Kartini, Jakarta Selatan menuturkan, jumlah BO yang berhasil menjadi usaha franchise nyatanya masih sangat sedikit. "Dari ratusan BO baru tiap tahunnya, yang bisa bertahan dan akhirnya berubah menjadi waralaba diperkirakan hanya 2 persen," terangnya.

Indonesia sendiri tercatat ada 2.000 usaha waralaba yang beroperasi di berbagai daerah. Namun dari 2.000 usaha waralaba yang ada di Indonesia, 70 persen di antaranya merupakan merek dagang asing. Sedangkan dalam skala global, merek dagang waralaba Indonesia masih berada pada posisi 10 besar, masih kalah dengan Malaysia yang berada di ranking 5 dunia.

Anang menjelaskan memang dari segi pertumbuhan wirausaha sangat banyak, namun yang 'mati' tidak sedikit ini dikarenakan faktor kesiapan mental para pelaku bisnisnya. "Kalau sudah terima uang langsung dipakai untuk hal-hal yang di luar usaha, misalnya beli mobil pribadi, senang-senang. Para BO ini perlu juga memperbaiki tata kelola manajemanya dengan baik, apalagi banyak bidang yang bisa diusahakan di Indonesia, tentu apabila pemanfaatannya sempurna bisa potensial," sambung Anang. ima/R-1

Potensi di Kuliner Terbuka

Yang bisa menjadi basis kekuatan dalam bisnis franchise di Indonesia adalah kuliner. Tentu jika membahas soal kuliner, Indonesia bisa dibilang 'rajanya', keberagaman kuliner ini tersebar di setiap daerah, soal cita rasa jelas tidak diragukan kelezatannya. Masing-masing memiliki keunikan serta karakter rasa yang berbeda, jika ditelisik melalui kaca mata bisnis tentu ini sangat potensial.

Anang menegaskan, dirinya melalui ajang IFBC 2017 ingin menggugah para anak muda untuk memanfaatkan potensi kuliner Indoneisa. "Generasi penerus perlu memikirkan sekaligus menyempurnakan bisnis unggulan yang kita miliki ini. Jangan sampai, saya ambil contoh, masak roti bakar saja musti impor dari negara lain, kenapa bukan kita yang membawanya ke sana," tegasnya.

Di samping kekayaan kuliner Indonesia, Anang merasa sedih karena bisnis franchise kuliner asing lebih sukses di dalam negeri. "Yang terjadi makanan asing, mulai dari Korea, Jepang, Eropa lebih mendominasi. Bahkan minuman dari Taiwan pun mulai populer belakangan. Padahal untuk bahan baku minuman, kopi dan teh jelas kita lebih unggul, perikanan apalagi," ungkap Anang.

Kemudian dari sisi bisnis pun kuliner tidak ada matinya, ditambah teknologi turut membantu melancarkan bisnis kuliner, seperti contohnya layanan grab food (grab bike) dan go food (go-jek) yang memanjakan konsumen untuk mendapatkan makanan secara online. "Kalau ritel tentu akan kegeser online, tapi untuk bisnis kuliner selagi orang perlu makan akan terus tumbuh, dan digitalisasi kian mempermulus bisnis ini," paparnya.

Tokoh waralaba Nasional itu melanjutkan, Indonesia dapat mengembangkan usaha di luar negeri, khususnya usaha kuliner. "Jadi tidak hanya usaha-usaha asing saja yang dikembangkan di Indonesia," terangnya. Hanya saja jika ke luar para pengusaha ini harus tahu aturan di negara terkait, termasuk mengenai higienitas. "Bisa jadi di negara tujuan lebih ketat. Tenaga kerja dan karakteristik pasar juga harus dipahami dengan baik," papar Anang.

Tetapi, lanjut dia, faktor lain yang membuat pelaku usaha tidak mau ke luar negeri adalah karena pasar domestik masih sangat besar untuk digarap.
ima/R-1

Perlu Dukungan Pemerintah

Menurut hitungan Anang, waralaba asing yang ada di Indonesia jumlahnya bisa mencapai 450 merek. Adapun data Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyebutkan terdapat sekitar 700 franchise yang telah terdaftar di Tanah Air. Waralaba lokal yang sudah menembus pasar global diperkirakan hanya 10-15 merek. Sebagian besar di antaranya berupa jasa salon dan spa.

Untuk memajukan industri ini, Anang menyarankan agar pemerintah mendukung penuh potensi ini. Di Malaysia, Thailand, Jepang, Korea Selatan, menurut ceritanya para business opportunity telah mendapatkan dukungan kuat dari pemerintahnya masing-masing.

Malaysia misalnya, menjalankan program penguatan waralaba lokal dengan dana 100 juta ringgit dalam periode 2003-2008. Sekarang, Negeri Jiran sudah mempunyai franchise di lebih dari 50 negara. Sedangkan Thailand menurut keterangannya sudah memiliki program pengembangan 1.000 restoran di seluruh dunia. ima/R-1

Redaktur:

Penulis:

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.