Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Bisakah Program Makan Bergizi Gratis Atasi ‘Stunting’ di Indonesia?

Foto : The Conversation/Shutterstock/Kevin Herbian

Bukan cuma asupan gizi, ada banyak faktor yang menyebabkan anak mengalami stunting.

A   A   A   Pengaturan Font

Iskandar Azmy Harahap, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)


Stunting atau tengkes, kondisi gagal tumbuh akibat kekurangan gizi terus-menerus (kronis), masih menjadi masalah serius di Indonesia. Status Gizi Indonesia 2023 menunjukkan bahwa 21,6% anak Indonesia mengalami stunting pada 2022.

Meskipun ada penurunan angka dari tahun-tahun sebelumnya, Indonesia masih jauh dari target penurunan tengkes yang dicanangkan pemerintah, yaitu sebesar 14% pada 2024.

Di tengah upaya ini, presiden terpilih, Prabowo Subianto menjadikan penanggulangan stunting sebagai salah satu prioritas dalam bidang kesehatan. Salah satu program kesehatan yang digadang-gadang Prabowo sebagai solusi masalah stunting adalah makan bergizi gratis.

Program makan bergizi gratis mulanya ditujukan hanya untuk anak sekolah. Pemerintah belum lama ini menambahkan ibu hamil, ibu menyusui, dan balita sebagai kelompok yang akan menerima makanan bergizi gratis. Tujuannya untuk memastikan anak dan ibu mendapatkan asupan nutrisi yang dibutuhkan demi mendukung tumbuh kembang anak yang optimal.

Program semacam ini sebenarnya bukan hal baru. Di berbagai negara, seperti India dan Brasil, program makan gratis di sekolah sudah lama diterapkan dan terbukti efektif meningkatkan status gizi anak, terutama di kalangan masyarakat miskin.

Lantas, seberapa efektif program ini untuk menyelesaikan masalah stunting yang sangat kompleks di Indonesia?

Bukan cuma soal pemenuhan gizi anak

Stunting terjadi karena kebutuhan gizi anak tidak terpenuhi, terutama pada 1.000 hari pertama kehidupannya yang dimulai sejak terbentuknya janin hingga usia dua tahun. Anak yang mengalami tengkes akan mengalami pertumbuhan fisik yang lambat dan berisiko mengalami keterlambatan perkembangan kognitif atau kemampuan berpikir. Kondisi ini bisa memengaruhi kemampuan belajar mereka di kemudian hari.

Karena itu, jika program makan bergizi gratis hanya berfokus pada anak usia sekolah, dampaknya terhadap penurunan tengkes mungkin tidak nyata (signifikan). Program ini perlu dipadukan dengan tindakan lain yang lebih menyeluruh (komprehensif), termasuk perbaikan gizi ibu hamil dan balita.

Langkah pemerintah dalam menambahkan ibu hamil, ibu menyusui, dan balita ke dalam kelompok penerima makanan bergizi gratis patut diapresiasi. Namun, proses pelaksanaannya kelak harus dikawal bersama.

Sebab, dalam penyelenggaraan program makan bergizi gratis untuk mengatasi stunting, pemerintahan mendatang akan menghadapi sejumlah tantangan berikut:

1. Faktor penyebab 'stunting' lainnya

Stunting tidak hanya disebabkan oleh kurangnya asupan gizi. Ada beragam faktor lain yang menyebabkan anak mengalami tengkes, seperti pola asuh, kesehatan, sanitasi, dan akses terhadap air bersih.

Pemerintah sebenarnya sudah menjalankan berbagai program penanggulangan stunting, termasuk edukasi gizi bagi ibu hamil dan bayi, serta peningkatan akses terhadap makanan bergizi. Namun, prevalensi tengkes masih tinggi di berbagai daerah, terutama di wilayah timur Indonesia.

Karena itu, efektivitas program makan gratis diragukan jika tidak dipadukan dengan upaya perbaikan faktor penyebab stunting lainnya.

2. Infrastruktur harus memadai

Distribusi bahan pangan yang berkualitas sering kali terhambat oleh akses jalan yang buruk, minimnya sarana transportasi, serta keterbatasan fasilitas penyimpanan. Akibatnya, pelaksanaan program ini berisiko tidak maksimal, terutama di daerah pedalaman yang infrastrukturnya tidak memadai.

Agar bisa konsisten mendistribusikan makanan bergizi ke seluruh Indonesia, terutama ke daerah-daerah terpencil, pemerintah perlu memastikan pembangunan infrastruktur yang memadai.

3. Pengawasan kualitas gizi

Pemerintah perlu memastikan makanan yang disediakan memenuhi kebutuhan gizi ibu hamil, ibu menyusui, dan anak.

Pada anak, misalnya, kandungan gizi makanan harus sesuai standar kebutuhan pertumbuhan anak yang optimal berdasarkan usianya. Karena setiap anak memiliki kebutuhan gizi yang berbeda.

Menu makanan yang kurang disesuaikan dengan kebutuhan gizi sesuai usia dan kondisi anak, bisa mengurangi efektivitas program.

4. Telan biaya besar

Program makan bergizi gratis memerlukan anggaran yang sangat besar karena mencakup anak, ibu hamil, dan ibu menyusui di seluruh Indonesia. Bank Dunia menyoroti potensi masalah anggaran yang mungkin muncul dari penyelenggaraan program ini.

Tanpa perencanaan anggaran yang matang, program ini bisa sangat membebani keuangan negara dan berisiko menyebabkan pengeluaran lebih banyak daripada pendapatan (defisit anggaran). Pemerintah perlu memastikan bahwa pendanaan program makan bergizi gratis cukup dan berkelanjutan, tidak hanya dalam jangka pendek, tetapi juga dalam jangka panjang agar manfaatnya benar-benar bisa dirasakan bersama.

5. Berisiko timbulkan ketergantungan

Alih-alih mendorong keluarga untuk mandiri dalam menyediakan makanan bergizi di rumah, program ini dikhawatirkan bisa membuat sebagian orang tua terlalu bergantung pada bantuan pemerintah.

Dalam jangka panjang, hal ini bisa mengurangi kemandirian masyarakat dalam menangani masalah gizi dan kesehatan anak di rumah tangga.

Menjawab tantangan ke depan

Menyiasati sederet tantangan di atas, pemerintah perlu berpikir secara matang dan menyeluruh dalam merancang, melaksanakan, serta mengevaluasi program makan bergizi gratis untuk pengentasan masalah stunting.

Sejumlah langkah strategis berikut bisa dipertimbangkan pemerintahan Prabowo-Gibran:

1. Prioritaskan ibu hamil, ibu menyusui, dan balita

Program makan bergizi gratis berpotensi meningkatkan status gizi anak usia sekolah. Namun, untuk mengatasi tengkes, pemerintah perlu memprioritaskan penyaluran bantuan untuk ibu hamil, ibu menyusui, dan balita berusia 1.000 hari pertama. Ini adalah masa kritis ketika asupan gizi berperan besar dalam pencegahan tengkes.

Pemerintah harus lebih gencar memberikan suplemen gizi, edukasi gizi bagi ibu hamil, serta pendampingan dalam pemenuhan kebutuhan gizi balita di rumah.

2. Pembangunan, pengawasan, dan evaluasi ketat

Pemerintah harus memastikan bahwa makanan yang diberikan sesuai dengan standar gizi yang dibutuhkan ibu hamil, ibu menyusui, dan anak.

Variasi makanan bagi ibu hamil sangat diperlukan. Pemerintah perlu memastikan ibu hamil menerima makanan bergizi makro, seperti vitamin A dan D, folat, zat besi, zink, kalsium, dan iodium untuk mendukung tumbuh kembang anak dan mencegah tengkes.

Adapun bagi ibu menyusui, perlu disediakan variasi makanan berupa sayuran hijau, biji-bijian, kacang-kacangan, buah alpukat, dan ikan.

Untuk anak, menu yang disajikan harus beragam dan memperhitungkan kebutuhan gizi spesifik sesuai usia dan kondisi mereka.

Menu makanan yang monoton dan kurang bervariasi dapat membuat asupan gizi anak tidak optimal. Contohnya, anak menerima makanan yang cukup kalori, tetapi minim kandungan zat gizi mikro (mikronutrien) penting, seperti zat besi, kalsium, atau vitamin A. Dalam jangka panjang, hal ini bisa membatasi dampak positif dari program makan bergizi gratis untuk mendukung pertumbuhan anak.

Agar proses distribusi makanan berjalan baik, pemerintah juga perlu membangun infrastruktur yang memadai hingga daerah terpencil.

Pemantauan dan evaluasi yang ketat juga harus dilakukan secara berkala untuk menjamin kualitas makanan tetap terjaga dan tepat sasaran. Jika tidak, program ini bisa kehilangan fokus dan gagal memberikan dampak yang nyata terhadap penurunan angka stunting.

3. Edukasi yang menyeluruh

Selain memberikan makan bergizi gratis, pemerintah harus gencar mengedukasi masyarakat secara menyeluruh, termasuk mengenai pentingnya pemenuhan gizi seimbang, kebiasaan makan sehat, serta menjaga kebersihan dan sanitasi di lingkungan keluarga.

Studi di sejumlah negara, termasuk yang diterbitkan pada Maternal and Child Nutrition, menunjukkan bahwa pemberian edukasi kepada orang tua dan komunitas sangat penting dalam mendukung keberhasilan program gizi dan pengentasan masalah stunting di masa depan.

4. Kerja sama lintas sektor

Pemerintahan Prabowo-Gibran harus serius dalam mewujudkan janjinya mengenai penanggulangan stunting, termasuk dalam meningkatkan kualitas sanitasi dan akses terhadap air bersih. Akses terhadap air bersih dan sanitasi yang buruk bisa memicu penyakit infeksi, seperti diare yang mengganggu tumbuh kembang anak dan berisiko menyebabkan tengkes.

Karena itu, kerja sama lintas sektor, seperti kesehatan, pendidikan, pertanian, dan sanitasi, sangat diperlukan untuk mengatasi berbagai faktor masalah stunting.

5. Penganggaran yang cermat

Pemerintahan Prabowo harus berhati-hati dalam menyeimbangkan pemenuhan manfaat program ini dengan risiko keuangan yang mungkin terjadi. Bank Dunia dan berbagai pihak telah menyoroti potensi masalah anggaran, terutama jika program ini tidak direncanakan secara matang.

Mencari sumber pendanaan yang berkelanjutan melalui kerja sama internasional atau pengalihan anggaran dari program yang kurang mendesak dapat menjadi solusi agar program makan bergizi gratis dapat berlanjut tanpa membebani keuangan negara.

Sejumlah langkah strategis di atas bisa dipertimbangkan pemerintah untuk mendukung efektivitas program makan bergizi gratis dalam mengatasi masalah tengkes. Tanpa pendekatan yang menyeluruh-mulai dari memprioritaskan penerima manfaat, mendorong keterlibatan keluarga, edukasi menyeluruh, pengawasan gizi, pembangunan infrastruktur, serta pendanaan yang cukup-program makan bergizi gratis mungkin tidak akan memberikan dampak yang nyata terhadap upaya pengentasan stunting di Indonesia.The Conversation

Iskandar Azmy Harahap, Early Career Researcher, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.


Redaktur : -
Penulis : -

Komentar

Komentar
()

Top