Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Mata Uang - Bank Sentral Akan Prioritaskan Stabilitas ketimbang Pertumbuhan

BI Jangan Tunda Lagi Naikkan Suku Bunga Acuan

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

>>Menahan suku bunga rendah hanya untungkan segelintir kreditur spekulan properti.

>>RI jangan sampai mencontoh kasus Argentina yang kembali minta bantuan IMF.

JAKARTA - Bank Indonesia (BI) kembali berupaya meyakinkan pasar dengan menyatakan siap menaikkan tingkat suku bunga acuan, BI-7 Day Reverse Repo Rate, pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) pertengahan bulan ini.

Sementara itu, sejumlah kalangan mengingatkan agar BI tidak menunda-nunda lagi penaikan bunga acuan untuk meredam tekanan depresiasi rupiah. Sebab, jika timing kebijakan tersebut tidak tepat akan berdampak lebih besar pada perekonomian nasional.

Pada perdagangan di pasar spot, Jumat (11/5), rupiah ditutup menguat 0,88 persen menjadi 13.960 rupiah per dollar AS. Secara year to date (ytd) per 11 Mei 2018, mata uang RI terdepresiasi 2,99 persen.

Terkait dengan kebijakan suku bunga, Gubernur BI, Agus Martowardojo, mengungkapkan penyesuaian bunga acuan oleh bank sentral tidak akan besar. "Opsi penyesuaian BI 7-Day RR akan dilakukan secara hati-hati dan terukur," kata Agus, di Jakarta, Jumat.

"BI memiliki ruang yang cukup besar untuk menyesuaikan suku bunga. Penetapan di RDG bulanan pada 16-17 Mei 2018," lanjut dia.

Agus mengakui merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS hingga mencapai level 14 ribu rupiah per dollar AS belakangan ini sudah tidak realistis. BI menilai hal itu disebabkan gejolak ekonomi global. "Melemahnya nilai tukar tidak sejalan dengan nilai fundamentalnya.

Terkait hal tersebut, ini kondisi global, dan bisa mengganggu stabilitas ekonomi," jelas dia. BI, menurut Agus, kini akan lebih memprioritaskan stabilitas daripada pertumbuhan ekonomi.

Pengamat ekonomi dari Universitas Surabaya, Wibisono Hardjopranoto, mengingatkan agar BI tidak menunda-nunda lagi untuk menaikkan suku bunga acuan demi mencegah kurs rupiah semakin jatuh.

"Menaikkan suku bunga adalah langkah paling masuk akal di antara pilihan lain yang memiliki dampak lebih berisiko, seperti intervensi pasar yang akan menguras devisa," jelas dia.

Menurut Wibisono, BI terlalu lama menahan bunga acuan, sementara Bank Sentral Amerika Serikat (AS) dan negara-negara lain sudah lebih dulu menaikkan bunga, seiring dengan berakhirnya era bunga murah.

"Jika sampai terlambat menaikkan bunga, bisa berakibat lebih fatal pada perekonomian kita. Seolah-olah BI tak sanggup menentukan timing," jelas dia.

Sebelumnya, pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga Surabaya, M Nafik, juga mengemukakan tidak ada pilihan lain, pemerintah mesti mengubah atau reformasi total struktur keuangan dan perdagangan negara.

Hampir semua negara emerging market, termasuk negara Amerika Latin, akhirnya menaikkan suku bunga untuk menjaga stabilitas kurs mata uang, misalnya Argentina, yang menaikkan bunga hingga 40 persen.

"Tapi, BI terus pertahankan suku bunga. Ini sebenarnya malah melindungi kreditur yang telah memboroskan kredit untuk kegiatan nonproduktif seperti properti dan konsumsi. Mereka malah dibantu dengan bunga rendah," ungkap dia.

Oleh karena itu, untuk membuat aset investasi dalam rupiah tetap menarik, BI tak ada cara lain selain menaikkan suku bunga. "BI nggak punya cadangan devisa untuk lawan arus balik dana di Indonesia. Sudah terbukti, lelang SUN (surat utang negara) di bawah target," lanjut dia.

Krisis Argentina

Direktur Pusat Studi Masyarakat (PSM) Yogyakarta, Irsad Ade Irawan, juga mengingatkan jika BI terlambat menaikkan bunga acuan maka kurs rupiah berpotensi merosot lebih tajam.

"Krisis keuangan di Argentina akibat anjloknya mata uang peso, harus jadi peringatan untuk tidak dicontoh," tegas dia.

Akhir pekan lalu, Bank Sentral Argentina dikabarkan telah menaikkan suku bunga untuk ketiga kalinya dalam delapan hari menjadi 40 persen, setelah nilai tukar mata uang negara itu, peso, terus turun tajam.

Analis mengatakan krisis tengah meningkat dan kemungkinan besar terus berlanjut. Akhirnya, Argentina resmi meminta bantuan kepada Dana Moneter Internasional (IMF) untuk mengatasi tekanan terhadap neraca pembayaran.

Pekan ini, Presiden Argentina Mauricio Macri meminta bantuan IMF setelah mata uang peso Argentina anjlok parah. Sejak awal tahun, mata uang Negeri Tango itu melemah 17,9 persen terhadap dollar AS.

Kehadiran IMF ini seakan mengingatkan kembali kepada luka lama krisis ekonomi 1997-1998. Seperti halnya Argentina, Indonesia saat krisis 20 tahun silam juga meminta bantuan IMF.

Kreditur internasional itu memaksakan "pil pahit" berupa program reformasi dan pengetatan anggaran sebagai persyaratan bantuan.

Kebijakan penerbitan obligasi rekapitalisasi perbankan untuk mengganti utang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) juga merupakan salah satu resep yang direkomendasikan IMF.

Kebijakan ini sama saja mengubah utang swasta harus ditanggung oleh negara atau rakyat Indonesia yang tidak menikmati utang tersebut. ahm/SB/YK/WP

Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top