Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Mata Uang - Bank Sentral Segera Putuskan Nasib Bunga Acuan

BI: Era Bunga Murah Berakhir

Foto : Sumber: Bloomberg – Litbang KJ/and/ones
A   A   A   Pengaturan Font

>>Sepanjang tahun ini kinerja rupiah terlemah ketiga di antara mata uang Asia lainnya.

>>Peluang rupiah melemah lebih besar dibandingkan kemungkinan berbalik menguat.

JAKARTA - Bank Indonesia (BI) mengungkapkan era suku bunga murah atau rendah sudah selesai. Saat ini, sistem moneter dunia terus berkembang dan kondisi ekonomi global mempengaruhi kebijakan moneter secara keseluruhan.

"Dunia sudah semakin yakin sistem moneter tengah berkembang. Dunia juga memahami era bunga murah sudah ditinggalkan," ujar Gubernur BI, Agus Martowardojo, di Jakarta, Kamis (3/5).

"Sekarang eranya bunga tinggi. Apalagi kenaikan bunga acuan AS bisa lebih dari tiga kali," imbuh Agus. BI saat ini masih mempertahankan suku bunga acuan, BI-7 Day Reverse Repo Rate, di posisi 4,25 persen sejak September tahun lalu.

Di sisi lain, Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau Federal Reserve pada Maret lalu menaikkan suku bunga acuan, Fed Fund Rate, sebesar 0,25 persen menjadi 1,5- 1,75 persen.

Namun, The Fed pada sidang kemarin masih mempertahankan posisi FFR. Terkait rupiah, Gubernur BI mengatakan bank sentral akan memastikan ada likuiditas rupiah dan valas yang cukup di pasar di tengah volatilitas yang terjadi saat ini.

"BI akan terus memantau pergerakan rupiah serta mendiskusikan masalah volatilitas dalam rapat kebijakan dewan gubernur pada 16-17 Mei untuk memutuskan suku bunga acuan," tegas Agus.

Pada perdagangan Kamis, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS masih cenderung tertekan. Namun, pelaku pasar menduga BI melakukan intervensi untuk menyelamatkan mata uang RI dari pelemahan tajam.

Akibatnya, pada perdagangan di pasar spot kemarin, rupiah ditutup berbalik menguat meski hanya 9 poin atau 0,06 persen ke level 13.939 rupiah per dollar AS, setelah dibuka dengan depresiasi 7 poin atau 0,05 persen ke level 13.955 rupiah per dollar AS.

Di sisi lain, kurs tengah BI mencatat, rupiah masih melemah 0,20 persen menjadi 13.965 rupiah per dollar AS.

Sepanjang perdagangan kemarin, rupiah bergerak pada rentang 13.939 -13.977 rupiah per dollar AS. Menurut Agus, tren penguatan dollar AS terhadap hampir semua mata uang dunia belakangan ini disebabkan oleh membaiknya kondisi ekonomi AS.

"Kita tahu ada The Federal Open Market Committee (FOMC) meeting, dan di FOMC itu membahas ekonomi Amerika, dan ekonomi Amerika kondisinya membaik, employment (kesempatan kerja) membaik.

Jadi semua pasar bereaksi dan itu pengaruh kepada dunia termasuk rupiah," papar dia. Agus menilai sejauh ini pelemahan atau depresiasi rupiah masih wajar.

"Kalau terjadi depresiasi kami menganggap itu hal yang wajar tetapi jangan hanya dilihat nominalnya tapi juga persentasenya," ujar dia.

Sepanjang tahun ini (hingga Kamis, 3 Mei), kurs rupiah terdepresiasi 2,83 persen atau ketiga terburuk di antara mata uang Asia lainnya.

Mata uang RI itu hanya lebih unggul dari peso Filipina dan rupee India yang masing-masing terdepresiasi 3,67 persen dan 4,34 persen. (Lihat infografis)

Minim Katalis

Analis pasar modal, Reza Priyambada, mengungkapkan hingga kini belum ada katalis atau sentimen positif yang mampu memperkuat kurs rupiah.

"Jadi peluang pelemahannya masih lebih besar dibanding pembalikan arah positif," kata Reza.

Menurut dia, apabila pasar masih diliputi ketidakpastian dan kekhawatiran maka tidak menutup kemungkinan nilai tukar rupiah menembus level psikologis 14 ribu rupiah per dollar.

"Rupiah melemah hingga ke level 13.900-an itu karena orang panik dan khawatir karena The Fed mau naikin suku bunga. Tapi anehnya, ketika The Fed nggak jadi naikin suku bunga, rupiah tetap melemah.

Berarti ada something wrong," papar Reza. Selama ini, kata Reza, pengelolaan rupiah lebih banyak dilakukan dari sisi moneter atau BI lebih banyak melakukan intervensi.

Di sisi lain, fiskalnya belum terlihat. Neraca perdagangan masih defisit, dan utang terus meningkat. "Jadi data-data makro perlu dibenahi.

Contohnya, kemarin inflasi April dibilang rendah yakni 0,1 persen. Tapi begitu melihat per item ternyata bahan pangan dan makanan jadi malah turun.

Itu secara nggak langsung pelaku pasar akan melihat jangan-jangan ada penurunan daya beli," jelas dia. ahm/Ant/WP

Penulis : Antara

Komentar

Komentar
()

Top