Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Berpikir Maju Tanpa Gelar Palsu

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

oleh irma suryani

Isu ijazah dan gelar palsu kembali mencuat menyusul penangkapan komedian dan politikus, Nurul Qomar, oleh jajaran kepolisian Resor Brebes, Selasa (25/6) lalu. Nurul Qomar diduga telah menggunakan ijazah palsu S-2 dan S-3 untuk kepentingan pencalonan Rektor Universitas Muhadi Setiabudi (Umus) Brebes, Jawa Tengah.

Berita ijazah dan gelar palsu sesungguhnya bukan cerita baru. Praktik tersebut sudah cukup lama berlangsung mewarnai jagat pendidikan nasional. Sejumlah media, beberapa waktu silam, bahkan pernah ramai-ramai menurunkan laporan khusus tentang praktik dan alur jual beli ijazah dan gelar palsu negeri ini.

Di zaman segalanya cenderung diukur lewat uang, ijazah dan gelar pun dengan mudah diperjualbelikan baik ijazah/gelar S-1, S-2 ataupun S-3. Semua bisa diperoleh dengan cara membeli. Asal ada uang, ijazah dan gelar mentereng siap disandang.

Praktik penggunaan ijazah dan gelar sebenarnya bisa berhenti dengan sendirinya jika orientasi pendidikan sebagian besar rakyat tidak lagi melulu demi raihan ijazah dan gelar. Sepanjang masih banyak pihak yang lebih mementingkan ijazah dan gelar, praktik-praktik jual beli ijazah dan gelar bakal tetap ada. Singkatnya, sepanjang masih ada permintaan, bakal selalu muncul penawaran.

Harus ada perubahan pola pikir masyarakat dalam soal pendidikan. Ironinya, justru semakin banyak orang kian pragmatis dalam masalah pendidikan. Faktanya, alih-alih dijadikan sarana untuk membentuk karakter, mengembangkan potensi, dan melahirkan kreativitas, pendidikan hanya dipandang untuk mendapat prestise berupa nilai ujian yang tinggi, ijazah, serta gelar.

Pragmatisme pendidikan semacam ini bukan hanya membelenggu pendidikan tinggi, tetapi juga jenjang-jenjang pendidikan di bawahnya, dasar dan menengah. Dengan kondisi seperti ini, esensi pendidikan untuk menciptakan peserta didik yang berkarakter, mampu mengembangkan rasa ingin tahu, kreatif, dan mampu belajar sepanjang hayat pun sangat sulit tercapai.

Yang terjadi kemudian, sebagian besar anak-anak berubah menjadi individu-individu yang tidak pernah berani mengambil risiko. Mereka takut salah, takut mengungkapkan pikiran dan perasaan. Anak-anak tidak percaya diri dan tidak mandiri. Mereka lebih suka menghindari masalah dan tidak mampu mencari pemecahan. Pelajar lebih menghargai hasil dan pengakuan ketimbang proses.

Pada titik ini, lembaga-lembaga pendidikan tidak lebih hanyalah sebagai tempat mencari nilai dan selembar surat tanda kelulusan atau gelar. Anak-anak dengan segala potensi dan talenta besar akhirnya cuma menjadi barang mati (objek) yang dicetak sesuai dengan selera atau tuntutan pasar. Ini sungguh tragis. Lembaga-lembaga pendidikan agaknya telah ikut menjadi salah satu tempat ampuh bagi proses dehumanisasi

Miris memang, sebagian besar institusi pendidikan dari tingkat dasar hingga tinggi kini justru berhasil menanamkan keyakinan bahwa belajar adalah alat untuk mengejar nilai dan surat tanda kelulusan serta penghargaan-penghargaan lain seperti hadiah, pujian, ataupun gelar. Nilai, gelar maupun surat tanda kelulusan kemudian dipakai untuk syarat menggapai jabatan dan kekuasaan.

Parahnya, karena sejak duduk sebagai siswa hingga mahasiswa pola pikir mereka telah berorientasi kepada hasil akhir nanpragmatis, maka tatkala jabatan dan kekuasaan telah mereka genggam, lantas hanya sebatas menjadi alat untuk mendulang keuntungan materi. Itu semata-mata untuk mengejar ambisi dan kepentingan pribadi, tidak lebih dari itu.

Lebih parahnya lagi, orientasi hasil akhir nanpragmatis berupa keuntungan materi dibarengi dengan budaya yang maunya ingin serbacepat. Kedua faktor inilah yang kemudian mendorong sebagian pemegang jabatan dan kekuasaan cenderung mengambil jalan pintas dalam meraih kekayaan. Salah satu jurusnya melakukan praktik korupsi dan manipulasi.

Tak Malu

Jadi, tak perlu heran, meski mereka berpendidikan tinggi, memiliki sederet gelar, mengerti hukum, baik hukum negara maupun agama, tidak banyak berguna. Mereka sama sekali tidak segan-segan, tidak malu-malu, bertindak korup lantaran dorongan ingin serbacepat kaya. Itulah ingin cepat kaya, ingin cepat mapan, ingin cepat terpandang.

Karena itu, mereka yang skeptis langsung menuding bahwa institusi pendidikan pada hakikatnya memang telah menjadi lembaga yang menyumbang lahirnya insan-insan korup. Kasarnya, budaya korup sebenarnya telah dicangkokkan lewat sistem pendidikan kepada anak-anak sejak dini.

Pada konteks inilah agaknya perlu ada semacam reorientasi sistem pendidikan yang kini lebih memberat kepada hasil akhir secara instan. Dia diukur dengan raihan nilai dan selembar ijazah serta gelar. Hal itu harus diubah agar lebih memberat kepada proses serta menekankan pada pembentukan karakter, pengembangan potensi, dan lahirnya berbagai kreativitas para peserta didik.

Bagaimanapun, orang-orang yang berkarakter, memiliki potensi dan kreativitaslah sesungguhnya sangat dibutuhkan negeri ini. Apa artinya ijazah dan gelar-gelar mentereng jika mereka tidak memiliki karakter, tidak memiliki potensi, dan tidak memiliki kreativitas. Karakter, potensi, dan kreativitaslah yang akan menyumbang kemajuan negeri ini. Rakyat mesti disadarkan bahwa ijazah dan gelar bukan segala-galanya. Tujuan menempuh pendidikan bukan untuk meraih ijazah dan gelar.

Sejarah kehidupan umat manusia dari dulu hingga sekarang telah membuktikan bahwa ada banyak orang besar yang berjasa dan berprestasi di berbagai bidang kehidupan. Namun, ternyata mereka bukan penyandang ijazah dan gelar yang mentereng. Mereka memiliki karakter, mampu mengembangkan potensi, serta kreativitas. Adam Malik, Ajip Rosidi, Bill Gates, Hamka, Mark Zuckerberg, Steve Jobs serta Susi Pudjiastuti adalah beberapa contoh. Orientasi pendidikan yang hanya mengejar raihan ijazah dan gelar harus secepatnya disudahi karena hanya membuat dunia pendidikan kian terpuruk. Penulis meminati masalah pendidikan

Komentar

Komentar
()

Top