Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Berapa, Kapan, dan di Mana Teknologi Energy Storage akan Dibangun di Indonesia?

Foto : The Conversation

Daerah potensial untuk pembangunan energy storage di Indonesia.

A   A   A   Pengaturan Font

Ahmad Amiruddin, Monash University

Indonesia telah berkomitmen dalam Paris Agreement untuk mencapai netral karbon pada 2060 atau lebih cepat. Target jangka pendeknya adalah mencapai bauran energi terbarukan hingga 23% pada 2025 dan mencapai 100% pada 2060. Namun, target energi terbarukan paling dekat ini pun sepertinya tidak akan tercapai.

Hingga kini baru sekitar 14% energi terbarukan di sektor ketenagalistrikan yang terwujud, dengan kapasitas terpasang hanya 8,6 gigawatt dari total 83 gigawatt. Itu pun, mayoritas juga masih bergantung pada pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP), yang memiliki waktu konstruksi lama dan rentan terkendala konflik pembebasan lahan.

Biaya listrik dari kedua jenis pembangkit ini juga cenderung naik, berbeda dengan energi surya dan angin yang semakin murah. Misalnya, biaya pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) telah turun hingga 90% sejak 2010.

Dengan fakta-fakta ini, saya ingin mengatakan bahwa energi surya dan angin memiliki potensi yang lebih besar untuk dimanfaatkan. Beberapa studi bahkan memperkirakan potensi energi surya bisa mencapai 7 terawatt-yang tersebar merata di seluruh Indonesia dengan tingkat pengunaan rata-rata 15%. Sedangkan energi angin tersebar di berbagai daerah seperti Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Aceh dan Jawa Barat.

Meski begitu, peningkatan penggunaan energi surya dan angin ini juga memiliki tantangan tersendiri karena sifatnya yang intermittent-hanya tersedia pada waktu tertentu. Misalnya, energi surya hanya dapat diproduksi di siang hari, sementara permintaan listrik terus ada sepanjang waktu. Untuk itu, kita memerlukan fleksibilitas dalam sistem kelistrikan. Di sinilah teknologi penyimpanan energi atau energy storage menjadi kunci.

Peran penting energy storage

Energy storage memungkinkan listrik dari sumber energi terbarukan bisa disimpan dan digunakan saat diperlukan. Teknologi ini sangat penting untuk mengatasi fluktuasi produksi energi dari surya dan angin.

Namun, belum banyak penelitian yang memetakan konfigurasi optimal teknologi penyimpanan energi yang dibutuhkan Indonesia.

Saya dan beberapa rekan peneliti mencoba memetakannya lewat sebuah penelitian. Kami membagi analisis ke dalam dua skenario, yakni: skenario super optimis capaian 100% energi terbarukan pada 2045 dan skenario capaian 100% energi terbarukan pada 2060-sesuai target pemerintah.

Walhasil, untuk skenario pertama, kami menemukan perhitungan bahwa untuk mencapai 100% energi terbarukan pada 2045, Indonesia membutuhkan kapasitas penyimpanan energi sebesar 207 GW/1.517 GWh. Ini setara 50% dari total kapasitas PLTS dan PLTB yang diperlukan.

Sementara itu, untuk skenario kedua, Indonesia membutuhkan kapasitas penyimpanan 54 GW pada 2045 atau 30% dari kapasitas PLTS dan PLTB yang dibutuhkan.

Lokasi-lokasi utama yang bisa dipakai untuk pembangunan penyimpanan energi ini adalah daerah-daerah yang dekat dengan sumber konsumsi listrik, seperti Banten, Jawa Tengah, Jakarta, Jawa Barat, dan Sumatra Selatan.

Dalam tahap awal, kita bisa menggunakan teknologi penyimpanan berdurasi 2 jam dengan daya 100 megawatt dan selanjutnya bisa ditingkatkan menjadi 4 hingga 10 jam seiring peningkatan kapasitas energi terbarukan.

Kapan Indonesia mulai butuh penyimpanan energi?

Saat ini, penyimpanan energi belum diperlukan dalam skala besar. Sebab, kebutuhan listrik baru diperkirakan akan meningkat mulai 2035. Artinya, masih ada waktu bagi Indonesia untuk mempersiapkan sumber daya manusia, riset, dan kebijakan yang mendukung.

Opsi teknologi penyimpan energi paling umum saat ini antara lain pumped hydro storage atau PHS dan baterai litium-ion.

Berdasarkan studi yang kami lakukan, pumped hydro memang memiliki keunggulan biaya yang lebih rendah dalam jangka panjang. Namun, pembangunan pumped hydro storage membutuhkan waktu hingga 6 tahun atau bahkan bisa lebih lama.

Sebagai contoh, pembangunan pumped-storage Cisokan, Bandung Barat, kapasitas 1.040 MW yang telah dimulai sejak 2010, sampai saat ini masih dalam tahap pembangunan. Padahal, awalnya proyek ini akan ditargetkan beroperasi pada 2014.

Berbeda dengan pumped storage, baterai litium-ion memiliki waktu pembangunan yang lebih cepat, hanya sekitar 2-3 tahun. Oleh karena itu, saya lebih merekomendasikan baterai litium-ion sebagai opsi teknologi penyimpanan energi di masa depan.

Teknologi pumped storage juga mungkin dapat menjadi pilihan untuk dikombinasikan dengan baterai lithium-ion untuk keperluan jangka panjang. Namun dibutuhkan kajian lebih mendalam untuk pembangunan ini. Kedua jenis teknologi ini dapat digunakan
untuk menyangga listrik dari PLTB dan PLTS sehingga meningkatkan kestabilan sistem.

Biayanya dari mana?

Perhitungan kami, untuk membangun kapasitas penyimpanan energi guna mencapai kebutuhan energi terbarukan 100% pada 2060, Indonesia memerlukan investasi sekitar US$22 miliar atau sekitar Rp338 triliun, jika menggunakan baterai litium-ion. Apabila target 100% energi terbarukan ingin dicapai lebih cepat pada 2045, biaya ini akan meningkat menjadi sekitar US$185 miliar atau setara dengan Rp2.849 triliun.

Di samping itu, Indonesia juga perlu membangun pembangkit surya dan angin dengan total kapasitas 416-646 GW. Ini membutuhkan investasi antara US$82-247 miliar atau setara dengan Rp1.263-3.804 triliun.

Lantas dari mana biaya untuk membangun energy storage ini bisa kita dapatkan?

Indonesia mendapatkan komitmen bantuan pendanaan untuk transisi energi sebesar US$20 miliar melalui program Just Energy Transition Program, tapi ini tentu masih jauh dari cukup.

Kita memerlukan tambahan dana dari sektor swasta dan pemerintah untuk mencapai target ini.

Menurut saya, bukanlah hal yang mustahil mendatangkan dana besar untuk pendanaan sektor energi hijau. Salah satu kendala terbesar selama ini adalah kurangnya proyek yang layak dibiayai, kelemahan institusi, dan minimnya sumber daya manusia yang kompeten.

Oleh karena itu, pemerintah perlu segera mengidentifikasi proyek-proyek yang potensial dan bekerja sama dengan swasta seraya meningkatkan kapasitas sumber daya manusia di semua stakeholder ketenagalistrikan. Saat ini ada banyak peluang beasiswa dan pendanaan yang bisa dimanfaatkan untuk mempelajari green energy.

Selain itu, edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya penyimpanan energi bagi integrasi energi terbarukan juga sangat diperlukan, karena isu ini terbilang relatif baru di Indonesia.The Conversation

Ahmad Amiruddin, PhD Candidate and Teaching Assistant, Monash University

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.


Redaktur : -
Penulis : -

Komentar

Komentar
()

Top