Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Krisis Pangan Akut I Produsen Harus Untung agar Ada Kelanjutan Produksi

Benahi Kebijakan yang Merugikan Petani

Foto : Sumber: FAO - KORAN JAKARTA/ONES
A   A   A   Pengaturan Font

» Bila produsen berhenti berproduksi maka negara akan terus terjebak dengan impor.

» Pertanian agroekologis, diversifikasi pangan serta solidaritas internasional yang akan selamatkan dunia.

JAKARTA - Dalam laporan global tentang krisis pangan terbaru yang dirilis oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) baru-baru ini menyebutkan pada 2022 lalu, sekitar 258 juta orang di 58 negara menghadapi krisis kerawanan pangan akut atau tingkat yang lebih buruk.

Lembaga tersebut juga memperkirakan pada 2023, sebanyak 153 juta orang akan menderita kerawanan pangan akut pada tingkat krisis atau lebih buruk.

Menanggapi laporan tersebut, pengamat pertanian dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Surabaya, Zainal Abidin, mengatakan sektor pertanian harus diperkuat dengan meningkatkan kesejahteraan petani agar bencana kelaparan tidak sampai merambah Indonesia.

"Kesejahteraan petani sebagai produsen lini terdepan pertanian harus terjamin. Kebijakan-kebijakan yang menyebabkan petani rugi atau hanya untung tipis harus dibenahi karena mereka yang harus bekerja dan menghadapi masalah," kata Zainal.

Petani, kalau terus merugi tentu tidak berminat lagi untuk menanam, jika mereka benar-benar berhenti berproduksi, masyarakat juga yang rugi, karena pemerintah mau tidak mau pasti mengimpor kebutuhan pokok.

"Harus ada surplus atau instentif yang cukup bagi produsen agar ada kelanjutan produksi. Bila produsen berhenti berproduksi maka kita akan terjebak impor, dan akibatnya perekonomian desa akan mandeg, kesenjangan makin lebar," katanya.

Pemerintah pun akan menghadapi masalah kesenjangan ekonomi dan potensi krisis pangan.

Secara terpisah, pengajar Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti, Saptarining Wulan, mengatakan kerawanan pangan itu terjadi karena fenomena perubahan iklim, pertumbuhan jumlah penduduk dan juga maraknya alih fungsi lahan pertanian sehingga produksi pangan turun.

Melihat ancaman tersebut, dia mengatakan sudah saatnya bagi pemerintah untuk kembali ke spesies tanaman pangan asli lokal, seperti sagu, sorgum atau umbi-umbian yang merupakan makanan nenek moyang sejak dahulu.

"Pangan asli ini sudah cocok dengan iklim di daerah-daerah tempat ia tumbuh. Mau hujan, mau kering tetap tumbuh. Namun selama ini tidak dilirik, baru dilirik saat ada emergency saja, misalnya saat pandemi Covid-19 lalu," kata Saptarining.

Supaya pangan asli diminati kembali maka dia meminta pemerintah agar pangan asli tersebut disosialisasikan kembali dari dari hulu sampai hilir, dari pengadaan hingga pengolahan.

"Sosialisasi itu penting, karena lidah kita juga tergantung kebiasaan. Kalau lidahnya dibiasakan dengan sorgum maka sampai tua pun akan cari sorgum," paparnya.

Perbaikan Sistem Pangan

Pada kesempatan lain, Kepala Pusat Pengkajian dan Penerapan Agroekologi Serikat Petani Indonesia (SPI), Muhammad Qomarunnajmi, mengatakan kalau melihat sistem pangan sekarang, data kerawanan pangan ini menunjukkan perlunya memperbaiki sistem pangan.

Menurut Qomar, data kerawanan pangan juga perlu dilengkapi dengan data kejadian obesitas yang juga menunjukkan tren kenaikan.

"Karena itu diversifikasi pangan, terutama pangan lokal dan distribusi pangan dengan prioritas pemenuhan kebutuhan lokal akan menurunkan risiko kerawananan pangan," kata Qomar.

Selain produksi, kerawanan pangan juga terjadi karena pangan yang tersedia tidak terjangkau dan distribusi yang tidak merata.

Deputi Asisten Utusan Kerja Presiden (UKP), Ahmad Yakub, mengatakan bahwa kelaparan akut dunia dalam beberapa tahun ini terjadi karena berbagai sebab seperti konflik dan perang, perubahan iklim dan kegagalan ekonomi.

Penyebab-penyebab itu gagal diantisipasi karena salah satu latar utamanya adalah selama ini kebutuhan pangan di-support terutama oleh mekanisme pasar. Sementara petani-petani kecil terus dikalahkan oleh logika pasar sehingga impor lebih diandalkan oleh banyak negara, termasuk Indonesia, untuk memenuhi kebutuhan pangan warganya.

"Dari situ, kita belajar bahwa kedaulatan pangan yang dimulai dari satuan masyarakat terkecil, pertanian keluarga, agroekologis, serta solidaritas akan menyelamatkan dunia dari kelaparan dan kemiskinan," kata Yakub.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top