Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Keuangan Negara I Ruang Fiskal yang Terbatas karena Beban dan Bunga Utang Meningkat

Belanja Negara dari Utang Harus Sasar Program Ekonomi Masyarakat Bawah

Foto : Sumber: Bank Indonesia – Litbang KJ/and - KJ/ONES
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Bank Indonesia (BI) mencatat utang luar negeri (ULN) Indonesia pada triwulan I-2024 tercatat sebesar 403,9 miliar dollar Amerika Serikat (AS) turun dibandingkan dengan triwulan IV-2023 yang tercatat sebesar 408,5 miliar dollar AS.

Kepala Departemen Komunikasi BI, Erwin Haryono, dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (15/5), mengatakan penurunan posisi ULN itu bersumber dari ULN sektor publik maupun swasta. Dengan perkembangan tersebut, ULN Indonesia secara tahunan mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar 0,02 persen (yoy), setelah tumbuh 3 persen (yoy) pada triwulan sebelumnya.

Erwin mengatakan ULN pemerintah pada triwulan I-2024 mencapai 192,2 miliar dollar AS, turun dibandingkan dengan posisi triwulan sebelumnya sebesar 196,6 miliar dollar AS.

"Secara tahunan, ULN pemerintah terkontraksi sebesar 0,9 persen (yoy), setelah tumbuh 5,4 persen (yoy) pada triwulan sebelumnya," katanya.

Penurunan posisi ULN pemerintah itu terutama dipengaruhi oleh perpindahan penempatan dana investor nonresiden pada Surat Berharga Negara (SBN) domestik ke instrumen investasi lain seiring dengan peningkatan ketidakpastian pasar keuangan global.

"Pemerintah berkomitmen tetap menjaga kredibilitas dengan memenuhi kewajiban pembayaran pokok dan bunga utang secara tepat waktu, serta mengelola ULN secara fleksibel dan oportunistik dalam aspek timing, tenor, currency, dan instrumen untuk mendapatkan pembiayaan yang paling efisien dan optimal," katanya.

Sebagai salah satu komponen dalam instrumen pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), pemanfaatan ULN terus diarahkan untuk mendukung pembiayaan sektor produktif serta belanja prioritas pemerintah yang utamanya mencakup sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial dengan porsi 21,1 persen, administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial wajib sebesar 18,3 persen, jasa pendidikan 16,9 persen, konstruksi 13,7 persen serta jasa keuangan dan asuransi 9,6 persen.

Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti, mengatakan pemerintah dan BI harus menyadari kalau rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sekitar 38 persen. Kondisi itu sebagai pertanda harus aware karena ruang fiskal makin sempit, kecuali bisa menaikkan penerimaan negara.

"Ruang fiskal yang terbatas ini karena beban utang dan bunganya meningkat, sementara penerimaan pajak (tax ratio) terus berkurang," tegas Esther.

Oleh karena itu, pembiayaan pembangunan harus dialokasikan kepada program-program prioritas yang bermanfaat bagi banyak kalangan dan benar-benar mengungkit pertumbuhan ekonomi.

Anggaran yang bersumber dari utang juga harus lebih banyak menyasar program-program yang menggerakkan ekonomi masyarakat bawah. Tujuannya agar utang tersebut produktif, tidak konsumtif.

Selain itu, investasi juga harus diarahkan ke sektor padat karya. Investasi, jelas Esther, harus mendorong penciptaan lapangan pekerjaan sehingga meningkatkan income per capita. Dengan meningkatnya pendapatan maka akan memperbesar peluang untuk memperoleh pendapatan negara dari pajak karena pendapatan masyarakat naik.

Asing Tinggalkan SBN

Pada kesempatan yang berbeda, Guru Besar Fakultas Bisnis dan Ekonomi (FBE) Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Aloysius Gunadi Brata, mengatakan kondisi itu bisa menjadi indikasi bahwa ada ketidakyakinan asing untuk berinvestasi di SBN. Kalau itu berlanjut, merupakan sinyal tergerusnya kepercayaan investor asing. Setidaknya, investor asing mengalihkan portofolionya ke instrumen investasi lain yang lebih prospektif atau yang memberikan hasil lebih tinggi.

"Hal ini realistis di tengah meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global," kata Aloysius.

Kecenderungan itu terjadi seiring dengan melemahnya rupiah. Sebab itu, harus pula dilihat implikasi dari gejala pelepasan SBN tersebut terhadap nilai tukar rupiah.

Upaya menjaga kurs rupiah tentu dapat lebih berat dengan risiko lanjutannya adalah menggerus cadangan devisa. Hal ini setidaknya menjelaskan turunnya cadangan devisa dengan laju yang makin cepat sejak beberapa bulan terakhir.

"Berkaitan dengan itu, otoritas moneter perlu kalkukasi yang cermat dalam menjaga kurs rupiah, apalagi hendak membawanya kembali ke level di bawah 16.000 per dollar AS. Satu-satunya pilihan adalah dengan kebijakan menaikkan suku bunga acuan, meskipun akan memberatkan dunia usaha yang belum benar-benar pulih setelah pandemi," tutup Aloysius.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top