Kawal Pemilu Nasional Mondial Polkam Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Otomotif Rona Telko Properti The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis Liputan Khusus
RUU EBT I Penurunan Pelanggan Menyebabkan Kelebihan Pasokan Listrik

Bebani APBN, Skema "Power Wheeling Dicabut" dari RUU EBT

Foto : Sumber: PLN – Litbang KJ/and - KJ/ONES/AND
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Setelah sempat tarik ulur dan menuai polemik, pemerintah akhirnya mencabut skema power wheeling dari Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT). Pencabutan skema tersebut karena berpotensi menambah beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan juga merugikan masyarakat sebagai konsumen listrik.

Skema power wheeling merupakan pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik, dimana produsen listrik swasta (independent power producer/IPP) bisa menjual listrik ke masyarakat secara langsung dengan jaringan transmisi dan distribusi yang dimiliki dan dioperasikan PLN.

Pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Fahmy Radhi, menyambut baik keputusan pemerintah itu karena power wheeling akan menggerus permintaan pelanggan organik PLN hingga 30 persen dan pelanggan non-organik hingga 50 persen.

"Penurunan jumlah pelanggan PLN itu selain dapat memperbesar kelebihan pasokan PLN, juga menaikkan harga pokok penyediaan (HPP) listrik," kata Fahmy.

Dengan demikian, beban APBN akan membengkak karena harus membayar kompensasi kepada PLN sebagai akibat tarif listrik PLN di bawah HPP dan harga keekonomian. Power wheeling juga berpotensi merugikan rakyat sebagai konsumen karena penetapan tarif listrik yang diserahkan pada mekanisme pasar.

"Dengan power wheeling, pihak swasta leluasa memanfaatkan infrastruktur listrik milik negara dan kemudian menjual listrik langsung kepada masyarakat, maka berpotensi membuat tarif listrik yang dibayar masyarakat akan mahal. Apalagi, belum ada skema kontrol terkait pengenaan tarif ini. Penetapan tarif listrik ditentukan demand and supply, pada saat demand tinggi dan supply tetap, tarif listrik pasti akan dinaikkan," jelasnya.

Lebih lanjut, Fahmy menilai skema tersebut merupakan liberalisasi kelistrikan yang melanggar Pasal 33 Ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa, "Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara".

Power wheeling, jelasnya, sebenarnya merupakan pola unbundling yang diatur dalam UU No 20/2002 tentang Ketenagalistrikan dan sudah dibatalkan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) karena tidak sesuai dengan UUD 1945.

Dia juga berharap semua pihak agar ikut mengawal proses pembahasan RUU EBT agar sesuai dengan daftar inventarisasi masalah (DIM) yang diserahkan pemerintah ke DPR, sehingga tidak ada lagi penyelundupan pasal siluman serupa dengan power wheeling yang tidak sesuai dengan DIM.

Liberalisasi Kelistrikan

Sebelumnya, Wakil Ketua MPR, Syarief Hasan, juga meminta pemerintah dan DPR untuk menghapus skema power wheeling dalam draf RUU EBT karena skema itu meliberalisasi sektor kelistrikan yang justru bisa merugikan negara.

Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Study (IRESS), Marwan Batubara, mengatakan meskipun disebutkan telah dihapus dalam pokok bahasan, rakyat harus waspada dan tetap menolak dimasukkannya skema power wheeling.

"Skema ini prinsipnya hanya akan menguntungkan para investor/IPP, atas nama dan alasan absurd, namun di sisi lain akan sangat merugikan negara/APBN, dan juga rakyat konsumen listrik," kata Marwan.

Pengamat energi hijau dari Universitas Brawijaya, Malang, Adi Susilo, mendukung pencabutan skema power wheeling kalau merugikan negara dan melanggar UUD 1945.

"Kalau bertentangan UUD 1945, tidak bisa ditawar lagi, karena bumi, air, termasuk listrik yang ke depan akan dihasilkan oleh energi terbarukan, pada dasarnya dari alam, dan pada prinsipnya harus dikuasai negara," katanya.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top